Berbaring, meluruskan pinggang yang telah menopang badan sepanjang hari merupakan meditasi tersendiri untuk beristirahat sejenak. Kasur yang lebih besar dari ukuran single memungkinkanku untuk merentangkan tangan dengan leluasa ke kiri dan kanan. Ukuran kasur 'nomor dua' istilahnya, aku ingat pernah mendengar ibu berkata demikian. Sudah beberapa hari aku, Ares dan Trisna mengerjakan materi festival makanan, batas waktu penyerahannya hanya sepuluh hari sejak acara berakhir. Ini sudah hari ke-enam, tersisa empat hari sebelum penyerahan hassil kepada Bu Mariska. Bu Mariska hanya pernah sekali menelepon selama proses pengeditan, pada hari ke-empat, setelah aku mengirimkan sebuah email berisi satu contoh hasil akhir video yang akan menjadi materi untuk di publish pada situs brand tersebut nanti. Respon Bu Mariska sangat positif; dari suaranya di telepon—yang sengaja aku loudspeaker agar Ares dan Trisna bisa ikut mendengar—terdengar jelas bahwa ia puas dengan hasilnya. Satu-satunya permintaannya adalah menambahkan narasi di akhir beberapa video nanti. Awalnya, dia meminta narasi berbentuk teks, tetapi kami menyarankan bahwa narasi tersebut akan lebih baik disampaikan melalui suara selama video berputar—menggunakan voice over. Video yang akan dipublikasikan terbagi menjadi enam bagian, masing-masing sesuai dengan subtemanya. Mulai dari video pembukaan acara hingga video penutupan. Dari enam video tersebut, tiga di antaranya membutuhkan voice over. Dia setuju, bahkan sangat setuju. Untuk itu, hari ini, di hari keenam, dan besok, di hari ketujuh, kami akan mengerjakan teks narasi tersebut dan segera merekam suara. Kami sepakat menggunakan suara Trisna saja agar pekerjaan ini bisa cepat selesai sebelum batas akhir, mengantisipasi jika nanti ada revisi. Trisna dan Ares masih saja terlihat kikuk, lebih banyak diam, dan Trisna memilih duduk berjauhan dari Ares saat kami di kampus mengerjakan pengeditan. Namun mereka masih mampu profesional.
Di tengah segala kesibukan ini, aku menjalani perkuliahan sambil menangani tugas-tugas pekerjaan lainnya serta merencanakan karya tugas akhir untuk meraih kelulusan semester depan. Aku mencatat semua agenda di sebuah buku bersampul cokelat. Di antara jadwal-jadwal pekerjaan dan catatan akademis lainnya, Aruna adalah satu-satunya nama perempuan yang ada di buku itu. Saat itu, aku baru saja kembali dari Bogor setelah Bapak meninggal, duduk di meja kerja, menuliskan proyek-proyek desain dari teman-teman dan pekerjaan lainnya. Tanpa sadar, aku menulis nama Aruna, dengan catatan: “bilang terima kasih ke Aruna.” Saat itu, dia belum kembali dari panti ketika aku ingin menemuinya setelah memberi tahu kabar duka kepada Ares, Bu Dewi, dan Pak Yahya.
Kemudian, setelah beberapa kali bertemu dengannya, aku mulai mencatat lebih banyak hal tentang Aruna. Aku bahkan mencatat jadwal kuliahnya yang sudah aku ketahui, termasuk berbagai hal kecil yang aku amati, seperti aroma tubuhnya yang selalu berbau strawberry-vanilla. Aku juga menuliskan sikap-sikapnya yang pernah dia tunjukkan. Memang, ada beberapa kejanggalan yang sempat aku perhatikan, tapi menurutku itu masih wajar; misalnya, ponselnya yang katanya jatuh dari genggaman dan tidak bisa menyala, namun ternyata masih berfungsi dengan baik, atau raut wajahnya yang tiba-tiba berubah ketika kami pulang dari coffee shop.
Layar handphone menunjukkan pukul tujuh. Dan ini Sabtu malam. Harusnya ini waktu yang tepat untuk mengajak Aruna keluar—mungkin makan malam atau sekadar duduk di kafe favoritnya. Tapi aku ragu. Sudah berapa kali aku mengirim pesan atau menelepon hanya untuk diabaikan atau menunggu lama untuk balasan yang singkat? Kali ini, aku putuskan untuk bertindak berbeda: datang langsung ke kamarnya. Maka Aku bergegas mandi dan bersiap. Beberapa kali bolak-balik di depan cermin, mendekat dan menjauh, memastikan penampilanku benar-benar sempurna. Aku mengendus tiga pilihan parfum yang kumiliki, mencari aroma yang paling lembut dan tidak terlalu mencolok. Setelah merasa cukup puas, aku melihat diriku sekali lagi—kemeja abu-abu polos, celana jeans, dan wangi yang tidak terlalu kuat. Aku bahkan tersenyum geli pada pantulan diri sendiri di cermin. “Gini-gini amat!” ujarku mencibir diri sendiri yang berusaha lebih demi seorang gadis. Sejujurnya kemeja ini bukan gaya berpakaian biasanya. Ini baru kedua kalinya aku kenakan sejak diberikan oleh Marwa sebelum aku pindah ke Jakarta. Kemeja ini tergantung di lemari begitu lama. Marwa pernah mengatakan aku terlihat lebih tampan saat mengenakan kemeja ini. Aku tidak tahu apakah itu sebuah candaan atau kenyataan, tapi saat memilih-milih pakaian yang akan kukenakan, aku justru mempertimbangkan apa yang pernah Marwa ucapkan.
-oOo-
“Gam? Rapi banget, mau kemana?” Aruna membuka pintu setelah aku ketuk dua kali. Dia menatapku dari atas ke bawah, senyum tipis menghiasi wajahnya yang kini terlihat lebih bulat sebab dia mengikat rambutnya. Dan, astaga, beberapa helai rambut yang lolos dari ikatannya jatuh di sekitar lehernya, membuatnya terlihat semakin memikat. Ada sesuatu yang berbeda malam ini, sesuatu yang membuatku lupa sejenak kenapa aku datang ke sini.
“Gam?” panggil Aruna lagi.
“O-oh?” jawabku sedikit terkejut karena sempat tertegun.
“Ada apa?”
“Kita keluar, yuk! Makan. Kamu belum makan?” tanyaku.
“Belum makan karena belum lapar,” ujar Aruna, lalu dia tersenyum usil, “tapi kamu udah rapi begini, ya?
Aku merasa malu saat dia menyatakan hal itu begitu jelas, seakan mampu membaca pikiranku. Rasa malu itu tiba-tiba berubah menjadi tawa yang lepas, spontan. Aku ketahuan, dan tidak ada cara untuk menyembunyikannya lagi. “He-he-he. Iya, nih …,” aku menjawabnya dengan canggung setelah tertawa.
“Kamu laper banget emang?” tanya Aruna lagi.
“Gin, deh. Kita bisa jalan-jalan dulu, ntar pas kamu mulai laper, kita makan”
Aruna tidak menjawab kemudian dia membuka pintu lebih lebar dengan keengganan, memperlihatkan lantai kamarnya yang penuh kertas-kertas dan buku-buku di sekitar laptop yang menyala. Lalu senyuman itu seolah mengatakan, aku sibuk, tidak bisa pergi keluar.
“Oohh.” Aku mengangguk dan memahami situasi Aruna yang juga sedang berada di tahun-tahun terakhir kuliahnya. Dia sempat bercerita bahwa dia sedang mempersiap karya tulis ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan.
Aku diam.
Aruna juga diam saja.
Kami berdua diam dan seolah sama-sama berusaha keras untuk menemukan kata-kata selanjutnya.
“Naaahh, ini dia orangnya. Kebetulan…” Bu Dewi tiba-tiba muncul dari kamarnya. Dia berjalan mendekati kami dengan tergopoh-gopoh, tampak ceria dalam balutan rok span yang ketat. Di tangannya, ada dua bungkusan makanan. Pak Rully mengikuti dari belakang, tak kalah rapi dengan kemeja batik yang warnanya senada dengan rok Bu Dewi. Ia memberikan senyuman kepada kami, membuat aku serta Aruna secara bersamaan mengangguk dan membalas senyumannya.
“Mau kemana nih, Bu?” tanya Aruna.
“Lho? Bude jamu di gang depan nikahin anaknya, kalian gak datang?” jawab Bu Dewi sambil bergantian melihat kami.
Aruna menggeleng kebingungan.
“Gak diundang, Bu,” jawabku.
“Oalah? Padahal kemarin dia nanyain kamu loh, Gam,” jelas Bu Dewi lagi, “nah, ini buat Gamma, ini buat Aruna,” Bu Dewi menyerahkan masing-masing bungkusan yang dipegangnya, “ini isi nya sama kok. Tahu gitu tadi gak saya pisahin kalau kalian lagi bareng gini,” ujar Bu Dewi lagi dengan tawa, bola matanya bergerak usil ke arah Aruna.
“Makasi banyak, Bu,” aku dan Aruna secara kompak mengucapkan terima kasih kepada Bu Dewi.
Bu Dewi menatap kami dengan senyum jahil, seolah tahu sesuatu yang sedang aku usahakan ini. Aruna tersenyum sambil menunduk, malu. Sementara itu, aku terkejut, tanpa peduli, Bu Dewi menyikutku dengan penuh semangat. Ya ampun! Bu Dewi!
“Runa, makan bareng aja. Anggap malam mingguan!” ujar Bu Dewi lagi, “masa anak muda malam mingguan belajar!” Bu Dewi melongok ke kamar Aruna dan melihat kertas-kertas berantakan itu. “I-iya, Bu.” Aruna menjawab dengan canggung.
“Dah, ya. Dimakan loh itu. Mumpung masih anget!” ucap Bu Dewi sambil tergesa-gesa pergi. Badannya yang sedikit berisi itu kesusahan berjalan dengan rok span dan sepatu hak tinggi. Pak Rully yang sedari tadi menunggu di depan pintu.
Untuk wanita yang usianya hampir sebanding dengan ibuku, Bu Dewi termasuk ibu-ibu yang ceria dan penuh semangat. Suaranya yang lantang selalu mengisi ruangan dengan energi positif. Aku dan Aruna melihat Bu Dewi yang tampak mesra menggandeng lengan suaminya. Mereka berdua kemudian menuruni anak tangga hingga tak tampak lagi dari pandangan kami.
“Yuk! Masuk,” ajak Aruna.
Aku menoleh segera, “Bukannya kamu mau belajar?”
Aruna tertawa, “Masa anak muda malam minggu malah belajar?” Aruna, dengan sengaja, mengulang sindiran Bu Dewi tadi. “Sayang juga, kamu udah rapi begini.”
Aku terkekeh.
“Lagi pula, aku cuma gak bisa keluar. Kalau kamu mau, kita bisa makan bareng aja di kamar aku. Aku juga bisa sambil lanjutin tugas akhir.” Jelas Aruna lagi kini dengan nada bicaranya yang biasa.
Mendengar itu aku tersenyum puas, “Yuk!”
Masuk ke kamar ini lagi membuatku mengingat kejadian enam hari lalu saat mengganti lampu. Saat itu aku mabuk dengan segala yang dia lakukan terhadapku, mulai dari pakaiannya hingga rasa kecewa yang dia selipkan di akhir cerita. Aruna tengah menuang bungkusan makanan yang ternyata berisi soto lamongan ke mangkuk, dia juga menyiapkan sendok, tidak lupa air minum. Aku menyusulnya ke pantry untuk membantu. Meskipun dapur ini kecil, peralatan masak Aruna cukup lengkap. Penanak nasi dan microwave mini tertata rapi di atas meja yang panjangnya hanya dua meter, sementara beberapa alat masak lain, seperti sendok memasak dan gunting dapur, menggantung dengan teratur. Rak penyimpanan bumbu juga terlihat bersih dan rapi. Berbeda dengan dapur di kamarku, yang hanya memiliki kulkas kecil dan alat makan yang cukup untuk satu orang.
“Kamu masak tiap hari, ya?” tanyaku yang masih kesusahan membuka karet pengikat bungkusan soto.
“Lebih sering masak daripada pesan atau makan di luar,” ujarnya sambil menuangkan kecap ke dalam mangkuknya. “Kamu bisa nggak buka bungkusan ini? Sini, aku saja,” tambahnya dengan melirik jari-jemariku yang kesulitan membuka bungkusan. Aku tertawa malu sambil menyerahkan bungkusan itu padanya. Dalam satu gerakan, bungkusan itu terbuka tanpa Aruna terlihat kesusahan. Aku ternganga, merasa benar-benar tak bisa melakukan apa-apa, sementara Aruna tersenyum bangga dengan kemampuannya. “Ini ada triknya, jam terbang harus tinggi,” katanya dengan puas hati sambil terkekeh. Asap dari soto yang masih panas mengepul tinggi saat Aruna menuangkan ke mangkuk milikku.
“Aku kurang jam terbang apa, coba? Hampir tiap hari pesan makan, datangnya selalu dalam bungkusan,” jawabku.
“Yaa, kalau gitu, berarti kamu sengaja supaya aku yang bukain. Iya?” tukasnya cepat. Aruna mendelik sejenak, membuatku merasa geram ingin menggodanya. Jawabannya sungguh tidak terduga.
“Iya, kayak aku yang sengaja datang ke sini untuk mengajakmu makan,” godaku sambil menunggu respons Aruna dengan tidak sabar. Namun, Aruna hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
Sejurus kemudian, kami sudah duduk di lantai, menghadapi mangkuk masing-masing. Banyak hal yang kami bahas, namun tidak ada yang melewati batas. Hanya berputar pada perbincangan akademis saja seperti Aruna menceritakan karya tulis ilmiah yang sedang dia kerjakan atau ujian demi ujian yang harus dia lewati,dan juga menceritakan sertifikasi keperawatan yang akan dia urus untuk bisa bekerja di rumah sakit.
Dari penjelasan Aruna, aku baru mengetahui bahwa dia tidak langsung melanjutkan kuliah setelah lulus SMA. Selama setahun, dia membantu ibu panti—bukan Bu Sarah seperti yang ku kira. Itulah mengapa, meskipun kami seumuran, Aruna kini berada di semester lima. Dia terburu-buru menyelesaikan karya tulis ilmiahnya karena kampusnya hanya memberikan waktu hingga enam semester saja; jika tidak selesai dalam waktu tersebut, dia akan dinyatakan gagal dan tidak lulus. Aku jadi sangat memahami situasi Aruna dan seketika merasa bersalah karena sudah mengajaknya jalan-jalan tanpa mempertimbangkan kesibukannya. Saat giliranku, dia mulai bertanya tentang semua hal, mulai dari kuliah, kesibukan, bahkan Ares. Aruna mengatakan dia bertemu Ares saat aku pulang ke Bogor karena bapak meninggal. Menurut Aruna, Ares terlihat gusar setelah mendengar berita itu lalu segera berlari turun dengan wajah panik. “Wajahnya tegang pas aku ceritain kamu pulang karena bapak meninggal. Langsung balik badan, lari. Mungkin nyusulin kamu,” ujar Aruna. Ya, aku tahu temanku itu, walau terlihat acuh tak acuh, cenderung serampangan tapi dia memiliki perasaan yang halus. Kami terus bercerita tanpa membahas lagi panti asuhan karena topik itu sepertinya tidak menyenangkan bagi Aruna. Mungkin nanti, jika saatnya sudah tepat, Aruna akan menceritakan lebih banyak tanpa perlu diminta. Aku hanya berharap bisa membuat saat itu datang lebih cepat.
Aku bercerita sedikit tentang tugas akhir yang sedang kukerjakan—sebuah proyek motion graphic tentang kemacetan di Jakarta.
“Aku harus keluar di jam-jam macet untuk ngambil footage.” Kataku.
“Kapan-kapan aku boleh lihat kamu?” tanya Aruna penuh rasa penasaran.
“Jangan dong! Panas. Debu juga,” jawabku cepat.
Aruna merengut.
“Tapi....,” sambungku. Rengut pada wajahnya memudar, dia menungguku dengan mata berbinar, “kamu boleh ikut kalau aku lagi kerja di dalam ruangan, kayak di mall atau di studio,” tawarku. Dan kemudian aku setengah berharap dia berkata akan menyetujuinya.
Aruna tertawa, "Gini. Tadi aku tanya, boleh lihat nggak? Bukan, boleh ikut nggak. Itu beda lho maksudnya."
Jawabannya benar-benar mencengangkan.
“Yaa, kalau sekadar lihat kan nggak harus ikut. Bisa aja aku pulang kuliah, ketemu kamu lagi fotoin jalanan, lihat sebentar, terus pulang,” sambungnya sambil menampilkan senyum usil. Dia jelas tahu bahwa dia berhasil mengerjaiku. Sementara dia tertawa kecil di sana, duduk menatap layar laptopnya dengan jari-jemarinya menari di atas keyboard, sedang aku entah sudah berapa kali menyorakkan dalam hati betapa menggemaskannya dia ini.
Dia senang karena merasa telah menang. Namun, nyatanya, aku lah pemenang sebenarnya. Aku hanya berpura-pura, membiarkan dia larut dalam kebanggaan atas keberhasilannya. Malam ini, aku yang berhasil mencairkan suasana, mendapatkan tawanya, dan perlahan mengetahui bahwa dia bukan sosok yang kaku. Aku menatapnya yang sedang merayakan kemenangan. Lantas, aku menyembunyikan perayaan untuk diriku sendiri, menyembunyikan senyuman dari sebalik cangkir teh yang menempel pada bibirku. Sejujurnya, aku tidak terlalu suka teh, namun malam ini, aku tahu aku tengah menikmati teh terbaik sepanjang hidup.
-oOo-
“Akhirnya selesai juga!” Ares langsung berdiri tegak pinggang lalu bergerak cepat memutar badan kiri dan kanan, terdengar derakkan tulangnya. “Argh..!” Teriak Ares setelah terdengar bunyi tulang yang seolah mampu menanggalkan lelahnya. Saat ini kami sedang berada di halaman kampus, pada sebuah pelataran. Aku, Ares dan Trisna sudah empat jam duduk di sini, menyelesaikan pengeditan terakhir materi festival kuliner. Ini sudah hari ke-sembilan, sehari sebelum batas akhir penyerahan. Aku masih duduk bersama Trisna yang tengah sibuk mengemas barang-barang masuk ke dalam tasnya, sedangkan aku memeriksa ulang video-video yang siap kirim. Ares masih sibuk meregangkan tubuhnya, sesekali dia melemas-lemaskan pergelangan tangannya. Di antara kami bertiga, Ares memang lebih menguasai grafis. Sejak awal Ares sudah membuat animasi-animasi untuk kepentingan materi ini. Dia banyak menggambar pada tablet, memperhatikan detail-detail kecil. Sedangkan aku lebih menguasai ilmu warna, template pada color grading seringkali tidak sesuai dengan materi, untuk itu aku menyesuaikannya secara manual. Trisna lebih memilih untuk menyusun visual agar terlihat menarik; memilih materi-materi yang cocok, mengatur durasi video, memastikan materi ini sesuai dengan tujuan dan tema, membuat narasi dan memetakannya menjadi alur yang solid agar pesan dari video tersampaikan dengan baik.
“Gua mau beli minum, pada nitip gak?” tanya Ares.
“Tolong kopi, Nyet!” aku menyahut seadanya, masih tetap terpaku pada layar laptop.
Trisna diam saja. Dia masih sibuk mengemas buku-buku dan tabletnya, bersiap pulang.
“Tris?” Ares memanggil ragu. Sudah sepuluh hari berlalu, tapi suasana di antara mereka belum juga membaik.
“Gak.” Jawab Trisna cepat, tanpa menoleh. Jawaban yang memang sudah kuduga. Aku melirik Ares sebentar, dia menghela napas panjang sebelum akhirnya berbalik pergi, meninggalkan pelataran dengan langkah berat.
“Temen lu tuh! Gila!” tiba-tiba Trisna angkat bicara setelah Ares sudah jauh pergi. Dia yang selama ini tidak mengungkit masalah itu kini entah kenapa mulai membahasnya. Aku tahu Trisna akan bicara apa, namun kuputuskan untuk pura-pura tidak mengetahui apa-apa yang sudah terjadi di antara mereka. “Ares? Kenapa emang?”
“Udah salah, gak minta maaf! Ck!” Trisna berdecak kesal. Raut wajah masam.
“Lah?” tanyaku pura-pura penasaran.
“Ya gitu, deh!” Trisna bangkit, duduk di kursi beton yang sudah kosong yang sedari tadi diisi oleh mahasiswi lain, “besok-besok kalau ada kerjaan lagi gua gak ikut…,” Trisna diam sebentar, “eh! Dia aja yang gak usah ikut!” sambungnya lagi sambil merengut.
Aku tertawa melihat sikap Trisna. “Dia naksir kali ama lu, Tris. Udah lama, sejak awal kuliah malah.”
“Idih, si Ares? Semua perempuan dia pacarin, ya. Lu inget, kan? Semester kemarin pacarnya yang anak teater datang nanyain Ares ke Cindy, yang jelas-jelas lagi pacaran sama dia juga waktu itu. Dua cewek itu sampai berantem. Tuh anak malah kemana? Cuek aja tuh! Kabur dia,” kata Trisna sambil bergidik ngeri, seolah mengingat kembali drama yang waktu itu sempat heboh untuk beberapa minggu.
“Dia ke kost gua, main PES.”
“Nah, tuh! Ogah deh gua ama yang begituan. Gak tanggung jawab, kekanak-kanakan. Sok kecakepan segala,” raut Trisna seolah sedang membicarakan setan. Takut dan patut dihindari.
“Kali ama lu beda, Tris. Jadi jinak,” bujukku.
“Dih? Enggak! Emang gua apaan? Penjinak satwa liar?” semburnya kesal.
“Bisa aja. Penjinak buaya!” Aku tertawa, dan itu membuat Trisna semakin dongkol dan bersungut-sungut.
Tidak lama Ares datang dengan membawa dua minuman, satu kopi pesananku dan satu lagi jus kemasan, “Nih, minum. Gak seret lu dari tadi?” katanya sambil mengulurkan jus itu kepada Trisna. Trisna bahkan tidak menoleh, dia berpura-pura sibuk dengan handphone.
Sambil meneguk kopi, aku mencuri pandang ke arah mereka. Anehnya, meskipun suasana masih dingin, ada sesuatu yang tampak manis ketika mereka bersama. Ares tetap mengulurkan jus itu, menunggu dengan sabar meskipun Trisna sama sekali tidak berniat mengambilnya. Malah, dia dengan sengaja memutar badannya, membelakangi Ares. Ares hanya menggelengkan kepala, menarik kembali tangannya, lalu, tanpa kuduga, membuka sedotan yang menempel di belakang kemasan jus itu. Dengan satu gerakan cepat, dia menusukkan sedotan itu dan kemudian duduk tepat di samping Trisna. Dia menunduk, mendekatkan wajahnya ke arah Trisna, sambil tersenyum dan menunjukkan jus yang sudah siap diminum.
Aku terkejut melihat sikap Ares yang tiba-tiba begitu manis. Keahliannya dalam bersikap di depan perempuan sungguh luar biasa. Tapi yang lebih mengejutkan lagi—dan membuatku nyaris tersedak untuk kedua kalinya—adalah ketika Trisna tiba-tiba tersenyum! ASTAGA! Aku terus mengumpat dalam hati melihat kejadian ini. Apa benar-benar bisa begitu? Baru saja Trisna menggerutukan kekesalannya terhadap Ares. Tidak hanya menggerutu, dia bahkan dengan lantang menyatakan ketidaksukaannya. Lantas sekarang apa? Bisa-bisanya dia tersipu malu begitu. Aku benar-benar tidak habis pikir; apakah Ares yang memang pandai merayu, atau Trisna yang gampang terbawa suasana? Walaupun pada akhirnya dia tidak mengambil minuman pemberian Ares, tetap saja, bagiku ini sungguh kontradiktif. Trisna memutuskan untuk pulang setelah susah payah menahan senyuman. Langkahnya tergesa-gesa, menjauhi aku dan Ares yang kini saling bertatapan. Aku menggelengkan kepala, sementara Ares menaik-naikkan alisnya, menandakan rasa puas diri akan perilakunya.
“Bisa gitu, ya?” tanyaku lagi pada Ares sambil tertawa. Kami sedang berjalan bersama menuju parkiran.
“Bisa lah! Lu aja yang lemot!” Ares menjawab seadanya sambil menghisap rokok.
“Lu kali ilmu kodok,” cecarku.
“Maaf, Bung. Itu pragmatis!”
“Taik!” seruku.
Ares cengar-cengir. Tapi dalam sisi lain diriku menyetujuinya tentang pragmatis itu.
Sore itu, sebelum pulang, aku dan Ares menghabiskan sekitar dua jam untuk duduk pada sebuah bar yang jaraknya tidak jauh dari kampus. Banyak anak-anak dari kampus kami yang berkumpul di sana, melewati petang dengan bercerita banyak hal. Suasana disana cukup hangat. Ruangan yang bergaya Britania lama, didukung oleh alunan musik brit-pop yang tidak terlalu kuat juga sesekali anak jurusan musik melantunkan karya mereka pada bar tersebut, membuat bar ini seolah tempat berkumpul kami.
Aku dan Ares memesan satu pitcher bir untuk berdua, disertai dengan beberapa camilan. Beberapa teman yang kami kenal menyapa, dan kami akhirnya duduk bersama anak-anak dari jurusan yang sama. Kami berbincang santai, membicarakan banyak hal secara acak, namun tidak ada satu pun topik yang benar-benar serius dibahas. Ada yang bercerita mengenai pekerjaan, rencana bisnis bersama, hingga keluhan Ares tentang betapa sulitnya mendapatkan izin dari pengelola klub malam untuk pengambilan materi tugas akhirnya. Pembahasan ini akhirnya menjadi topik serius. Sejak awal, sudah kuperingatkan Ares bahwa dia mungkin akan kesulitan fokus mengerjakan tugas akhirnya dengan objek yang dia pilih. Ares awalnya yakin dan percaya diri bisa mengatasinya, namun ternyata dia sering kali dikalahkan oleh situasi yang tidak terduga.
“Udahlah ganti judul aja,” kataku saat Ares mulai berkeluh.
“Iya juga, ya? Mana mami ribut banget di rumah nanyain kapan lulus ….” Ares memukul meja, membuat teman-teman lain yang sedang sibuk bercerita menoleh ke arahnya sebentar.
“Emang Pak Sam oke ama judul lu yang itu?” tanyaku lagi. Pak Sam adalah dosen pembimbing Ares.
“Oke kok dia. Suka malah. Yaah, lu tahu juga kan dia gimana. Orang dia sempat bilang ke gua, kalau gua mulai kumpulin footage dia bilang mau ikut.” Ares terdengar sedikit kesal. “Lu jangan lulus duluan, ya?” pintanya dengan wajah memelas.
“Dih? Ngajak-ngajak!”
Aku meneguk bir dan kuputuskan ini gelas terakhir, “Balik deh, gua. Takut ketinggian!” Tubuhku mulai terasa lebih rileks. Untuk menghindari gejala lain akibat bir, lantas aku memutuskan untuk berhenti.
“Halah! Segitu doang!” Ares menyusul. Meraih ranselnya, “Balik, yak!” Ujar Ares pada teman-teman lain yang masih di sana.
-oOo-
Aku melihat Aruna duduk dengan seorang laki-laki yang tidak pernah aku lihat sebelumnya tepat saat aku baru masuk halaman kost. Laki-laki itu bukan salah satu penghuni kost. Biasanya sore menjelang malam penghuni kost, terutama laki-laki berkumpul, duduk sambil merokok dan bercengkrama, terkadang Pak Yahya ikut serta. Silaturahmi seadanya. Namun malam ini, hanya ada Aruna dan laki-laki itu duduk di bawah lampu sambil bercerita, raut wajah mereka masing-masing tampak bahagia. Terlebih si laki-laki.
Awalnya, aku berpura-pura tidak peduli pada mereka. Dari sudut mataku, aku mengamati laki-laki yang duduk di samping Aruna, mungkin usianya tidak jauh berbeda denganku. Dia mengenakan kacamata, seakan ingin memamerkan kecerdasannya. Pakaiannya rapi: kemeja polos dengan kancing terpasang sempurna, berlengan pendek tanpa tambahan kaos dalam. Dan rambutnya? Astaga! Benar-benar mengganggu pandangan. Rambutnya ditata sangat rapi, entah dengan gel rambut atau sejenisnya, hingga berkilauan di bawah sorot cahaya lampu—benar-benar menyilaukan. Dia terlihat sangat… entahlah? Retro? Juga akhirnya membuatku bertanya-tanya, apakah tipe pria seperti ini yang disukai Aruna?
Yang membuatku semakin kesal adalah si retro ini tampak begitu bersemangat dan matanya berbinar-binar saat mendengar Aruna bercerita. Meskipun Aruna tidak menunjukkan antusiasme yang sama, pria itu terus memberikan tanggapan yang berlebihan, seolah-olah setiap kata yang diucapkan Aruna adalah bagian dari adegan film aksi terkenal. Sungguh berlebihan.
“Gam? Udah pulang?” Aruna menghentikan obrolannya dengan laki-laki ini saat melihatku melewatinya.
“Iya, nih. Mau naik bareng?” tanyaku. Itu bukan basa-basi belaka. Aku memang ingin Aruna menyudahi percakapannya dan segera pergi bersamaku meninggalkan laki-laki ini. Perasaanku tidak nyaman tiap kali kulihat laki-laki ini menatap Aruna terlalu lekat. Juga setelah kuperhatikan, pada jarak sedekat ini dia bukan bergaya retro. Dia justru terlihat culun.
“Duluan aja,” ujar Aruna sambil tersenyum. Si culun melihatku dengan wajah kemenangan. Dan karena itu pula aku tahu dia memunculkan suasana persaingan. Maka dengan sinis, aku membalas tatapannya, memberikan senyuman yang tajam pula. Aku merasa puas melihat ketidaknyamanan yang tersembunyi di balik wajahnya yang tiba-tiba canggung itu, lalu dia membuang wajahnya segera untuk melempar keresahan.
“Ya udah, kalau gitu aku duluan, ya,” aku kembali melihat Aruna.
Tidak ada lagi percakapan mereka sampai aku hilang dari pandangan mereka. Lalu saat aku sudah berbelok akan menaiki tangga, aku masih bisa mendengar si culun itu bertanya pada Aruna, “Siapa dia?”
Ini bukan jarak yang aman, bahkan meski kamu hanya berbisik. Gedung ini tidak terlalu besar, dan jarak antara belokan menuju tangga dan tempat mereka duduk hanya sekitar empat meter. Aku diam di tempat, bersembunyi dengan bersandar pada dinding yang menutupi tubuhku, dan dengan sabar menunggu jawaban dari Aruna.
“Kamar kami depan-depanan.” Hanya itu yang Aruna katakan.
Aku tersenyum mendengar jawabannya, seolah sudah tahu itu yang akan keluar dari mulutnya. Sebenarnya, aku bahkan tidak mengharapkan jawaban yang lebih baik dari itu. Aku lanjutkan melangkah, menaiki tangga satu per satu. Belum sampai sepuluh anak tangga, handphone-ku berdering. Aku buru-buru merogoh ransel, mencoba menemukan handphone yang sepertinya terjepit di antara laptop dan buku-buku.
Tiba-tiba, kakiku terpeleset. Aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh, berguling menuruni beberapa anak tangga dan terhempas keras di lantai lebar di belokan tangga. Handphone yang tadi berdering sekarang diam. Dengan gemetar, aku meraih ransel. Segera memeriksa laptop untuk mengetahui apakah ada kerusakan akibat benturan. Aku langsung teringat pada materi yang belum sempat kukirimkan kepada Bu Mariska. Jantungku berdegup kencang saat layar menyala perlahan. Saat itulah Aruna muncul dari arah bawah, diikuti si culun. Aruna berlari menghampiriku, padaa matanya tampak jelas kilat kekhawatiran. Dia berlutut di depanku, tepat di samping laptop yang terbuka, “Gam! Kamu habis jatuh malah buka laptop!”
Pertanyaannya membuatku tertawa. Biasanya suaranya lembut, tapi kali ini terdengar lebih tinggi dan juga tegang. Dia tampak setengah cemas setengah kesal, dan entah bagaimana, aku suka melihatnya begitu. Aku menutup laptop yang ternyata tidak mengalami kerusakan apa-apa, lalu memasukkannya kembali ke dalam ransel dan mengambil handphone yang masih tergeletak di lantai. Layar menunjukkan panggilan tak terjawab dari Kak Ami. Ternyata, dia yang menelepon tadi.
“Ayuk, berdiri! Bisa nggak?” Aruna meraih pangkal lenganku. Sebenarnya, aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuan, tapi pikiran nakalku muncul. Aku memutuskan untuk berpura-pura kesakitan di depan Aruna. “Aduh!” keluhku pelan, berusaha meyakinkan.
“Sini, aku saja yang bantu, Run. Kamu nggak kuat. Mas ini besar,” kata si culun itu pada Aruna. Ucapannya menusuk telingaku. Saat dia duduk tadi, aku tidak menyadari bahwa dia sedikit lebih pendek dariku. Aku tidak lebih besar, aku hanya lebih tinggi darimu. Sial!
“Ah! Enggak!” Aku mencoba menepis tangannya yang hendak membantu.
"Gak apa-apa, Gam. Daripada kamu jatuh lagi,” Aruna bersikeras. Aku menghela napas, berusaha menerima bantuan yang terasa palsu ini. Wajar saja. Kesakitan palsu mendapatkan bantuan palsu pula. Saat aku mulai melangkah, rasa nyeri di pergelangan kaki kananku membuatku sadar bahwa ternyata ini tidak sepenuhnya palsu. Nyeri itu nyata, pergelangan kakiku terasa kaku dan perih.
Aruna mengikuti di belakang, memanggul ranselku di bahunya. Tepat seperti dugaanku, aroma gel rambut tercium dari si culun. Meskipun sudah banyak bergerak, rambutnya tetap kaku, tidak bergeser satu sentimeter pun. Aku tergelak pelan, tidak bisa menahan geli. Si culun mendelik ke arahku. Lalu, dengan suara rendah, dia berbisik, “Otak lu cedera, ya?” Tatapannya kali ini penuh sindiran. Aku terdiam sejenak, menyadari dia mungkin sudah menangkap arti tatapan sinisku saat di ruang penerimaan tamu tadi. “Iya, karena temen lu itu," jawabku, memberikan cengiran tajam sambil melirik ke arah Aruna yang masih berdiri beberapa anak tangga di bawah kami. Aku menekankan kata "teman" padanya.
Aruna, yang tak tahu ketegangan kecil telah terjadi di antara kami, hanya terus dari bawah sana.
“Reza, makasih, ya,” ujar Aruna saat kami sudah sampai tepat di depan pintu kamarku, “hm, gini, kamu pulang dulu aja, gimana? Bukunya tadi masih di bawah. Jum'at kita bahas lagi di kampus,” sambung Aruna. Kemudian mengambil alih posisi Reza untuk menopangku. Begitu dia menggantikan Reza, aku langsung merasa jauh lebih nyaman.
“Oke. Jum'at, ya?” nada bicara si Reza ini terdengar agak mendesak. Membuatku geram sendiri dan kembali menatap sinis pada si Reza ini. Aruna menyikutku, memberikan isyarat agar aku mengucapkan terima kasih. Aku melihat Aruna sebentar, memelas dengan enggan. Lantas dia menggerakkan matanya ke arah Reza. Aku menghembuskan napas malas-malasan, “Makasih …,” Si Reza diam, melangkah menjauhi kami. Sebelum menuruni anak tangga, Reza menoleh sekali lagi. Aruna tidak melihatnya karena sedang sibuk mencari kunci di dalam ranselku. Aku memanfaatkan momen itu, membalas tatapan Reza dengan cibiran jenaka, mengeluarkan ujung lidahku seolah-olah mengejeknya. Mata Reza menyipit, jelas dia tidak senang, tapi aku hanya tersenyum puas, menikmati kemenangan kecilku.
“Kamu duduk dulu, aku ambilkan minum,” kata Aruna. Dia memintaku duduk di kursi kerja. Setelah aku duduk, dia segera ke pantry dan kembali dengan membawa segelas air, “Kamu pusing?”
Aku menggeleng.
“Kepala kena benturan?” Aruna mengulurkan gelas.
Aku menggeleng lagi.
“Jangan geleng aja, jawab yang bener,” Aruna mulai kesal.
“Enggak, Runa. Kepala aman.”
Hati yang enggak. Sambungku dalam hati.
Aruna mengangguk, pandangannya turun ke arah kakiku. “Kaki kanan ya, yang masalah...,” ujarnya, memperhatikan posisi kakiku yang agak canggung.
“Iya, kaku,”
Tanpa banyak bicara, Aruna dengan cepat setengah berjongkok di depanku, meluruskan kaki kananku dengan sambil memeriksanya. Aku terperangah, tidak menyangka dia akan bertindak sedemikian cepat. Tangannya cekatan menggulung celana jeansku hingga batas betis, dan tanpa ragu dia bangkit dan melangkah menuju kulkas. “Aku izin buka kulkas, ya?” katanya sambil melirik ke arahku, menunggu persetujuan.
“Iya, buka aja,” jawabku. Aku tak tahu apa yang Aruna cari di sana.
Dia kembali dengan membawa dua minuman kaleng. Lalu berlutut kembali, bergantian menempelkan dengan hati-hati minuman kaleng dingin itu ke pergelangan kaki. Mengompres. Dia sangat teliti memperhatikan tiap centi apa yang ada dikerjakannya kini. Jari - jemari lembutnya menekan-nekan mencari titik yang menjadi pusat rasa sakit. Sesekali, dia memutar-mutar pergelangan kakiku untuk melemaskan sendi yang tegang. Aku terus memperhatikannya. Tertegun dan terpesona. Aku selalu tahu dia pintar, tapi melihatnya begini, ada sesuatu yang menarikku jatuh semakin dalam. Lalu tanpa sadar, aku sudah terjerembab dalam perasaan ini, dan tak tahu bagaimana cara bangkit lagi.
“Gimana? Masih sakit?” Aruna mendongak melihatku sebentar.
“Masih, coba lagi…,” ucapku datar, menyembunyikan degupan jatung yang kurang ajar.
Lalu Aruna mencoba sekali lagi, melemaskannya. “Gak kaku lagi. Udah lemes, kan?”
“Iya, udah. Udah lemes.”
Aku-nya.
Kini aku yakin benar bahwa aku tengah mengalami penurunan pengendalian diri akibat beer tadi. Tapi ini justru membantu situasi yang tengah aku hadapi menjadi lebih menarik.
“Nanti, kalau terasa sakit lagi, atau ternyata bengkak, kamu bisa kompres air hangat,” jelasnya lagi sambil berdiri dan kembali ke pantry, untuk mencuci dua minuman kaleng itu sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam kulkas lagi.
“Bukan kompres dingin lagi?” tanyaku heran.
“Kalau baru aja kejadian, kompres dingin. Kalau udah lumayan lama dan bengkak, kompres hangat,” jelasnya singkat.
Alisku bertaut menunjukkan raut tak paham. Meminta penjelasan lebih dalam.
“Gini aja, deh. Kalau ternyata membengkak, kabarin aku, ya?” Aruna terlihat resah sebab dia merasa aku tidak akan menuruti.
“Kalau gak bengkak? Gak boleh kabari?” Aku membalasnya dengan tatapan berharap.
“Boleh…”
“Chat?”
“Boleh…”
“Telpon?”
“Iya. Boleh…”
"Dateng langsung?:
“Boleh, Gam. Boleh...,” Aruna diam sebentar kemudian menyadari sesuatu, “gak boleh! Kalau bengkak, kurangi gerakannya. Kamu gak boleh jalan ke kamarku,” ujarnya berseru.
Melihatnya begitu aku malah semakin berusaha untuk menggodanya, “Oh, berarti kamu yang ke sini?”
Aruna menghela napas, namun senyum di wajahnya masih bertahan, “Iya. Nanti aku yang datang,” ujarnya pelan namun meyakinkan.
Kami berdua saling tatap sebentar, sebelum aku akhirnya teringat sesuatu yang tadi cukup mengganggu pikiran. “Jadi si Reza itu teman yang bikin kamu seneng di kampus?” tanyaku dengan tatapan usil sekaligus menekan kepada Aruna.
“Maksudnya?”
“Iya. Kan kamu pernah cerita kalau kamu seneng di kampus bareng temen-temen.”
“Oh, jadi kamu penasaran?” Aruna menantang dengan senyum usil yang justru terlihat menawan.
“Hm, tetangga depan kamar ini cuma nanya…” jawabku dengan nada jahil, menyindirnya dengan menyebutkan label ‘tetangga’ yang sebelumnya dia utarakan pada Reza si culun.
Mendengar itu, tawa Aruna pecah seketika, suaranya yang renyah memenuhi gendang telinga. Tawa yang tulus dan ceria itu begitu menyenangkan, membangkitkan kebahagiaan sehingga membuatku lupa kaki kananku cedera.
“Ada yang nguping, nih?” tanya Aruna sambil duduk di sofa, wajahnya menunjukkan rasa penasaran.
“Tolong Nona, bedakan antara nguping dan memang terdengar,” ujarku dengan wajah serius, mencoba membuatnya tertawa lagi.
“Oh, jadi kedengaran, ya?” Aruna membalas, matanya berkilat penuh humor.
Aku mengangguk yakin.
“Apa lagi namanya kalau bukan tetangga?” tanya Aruna mendesak, dagunya sedikit terangkat dengan senyuman penuh kepuasan. Bagiku ini bukan sekadar pertanyaan—ini sebuah tantangan. Sejak kecil, bapak selalu mengajari hal baru bahkan pada usiaku yang belum memasuki batas wajar dan memadai untuk tantangan itu. Sekalipun kesusahan hingga menangis karena kesal, tidak pernah terlintas olehku untuk mundur atau berhenti sampai di situ. Aku terus mencoba sampai aku puas akan hasilnya. Itu semua telah melatihku untuk selalu berani menghadapi tantangan. Dan kini? Lihatlah apa yang tengah aku hadapi. Seorang wanita bertubuh mungil sedang mencoba mengujiku yang saat ini bahkan di bawah pengaruh minuman.
“Banyak sebutan lain, kan?” kataku, memberikan Aruna waktu untuk mempertimbangkan pilihan lain.
“Teman?” jawabnya cepat, tanpa ragu.
“Menurut kamu?” Aku menatapnya lekat.
“Hm? Teman lebih masuk akal, sih…,” Aruna akhirnya manggut-manggut, tampak puas dengan jawabannya.
Aku menggelengkan kepala sambil tertawa. Dengan cepat, aku menggerakkan tubuhku, mengayuh roda kursi ini maju menuju Aruna yang duduk di ujung sofa. Lima poros roda berputar dengan mulus, mendekatkan aku padanya.
Aruna terlihat terkejut, matanya beralih ke pergelangan kaki kananku. Dia ingin berseru mengeai kakiku, tapi dia tahan kemudian sebab aku sudah sampai di hadapannya.
“Lihat aku,” bisikku. Hidung kami nyaris bersentuhan, hanya berjarak satu jengkal. Aku menahan tubuhku dengan satu tangan yang ku rentangkan di sofa.
“Apa ada seseorang yang di sebut sebagai teman malah terang-terangan mendekati begini?” tanyaku lagi, menatap hanya pada sepasang matanya yang kini tampak membesar karena terkejut. Pada jarak ini aku dapat melihat warna matanya yang ternyata cokelat. Dalam keheningan ini, aku mendengar sendiri liar degup jantungku. Aku tahu bahwa tindakan ini mungkin di luar kendali. Minuman beralkohol, seperti bir yang aku konsumsi, mempengaruhi fungsi otak dengan menekan area-area tertentu yang mengatur kendali diri. Dampaknya berbeda-beda bagi setiap orang. Tapi bagiku, pada jumlah alkohol tertentu, justru membuatku merasa lebih rileks, lebih terbuka dan menjadi lebih percaya diri dalam mengungkapkan apa yang ada di kepala bahkan yang terpendam di hati. Jika memang waktu bisa di ulang kembali, aku akan tetap meminum bir tadi agar bisa menaklukan situasi hingga menjadi seperti ini. Aku tidak menyesal sama sekali, bahkan mungkin bir tadi adalah suatu keputusan tepat.
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)