Bulan santai pada semester ganjil tahun ini sudah selesai. Bulan November, bulan dimana ujian tengah semester sudah terlewati namun belum mempersiapkan diri untuk ujian akhir semester pada pertengahan Desember, sebelum libur Natal dan Tahun Baru. Dulu saat masih di tahun-tahun pertama kuliah, berada pada bulan santai begini memang sangat menyenangkan. Aku hanya menjalani perkuliahan dan pekerjaan yang juga tidak menuntut banyak hal. Aku, Ares dan teman-teman lain lebih banyak berkumpul saat itu, sambil saling bercerita konyol bahkan tidak jarang perbincangan serius sekalipun. Memang benar apa yang dikatakan kebanyakan orang bahwa rencana-rencana hanya akan bertahan di awal, saat masih antusias, lalu secara perlahan waktu akan menggerusnya hingga sebagian besar dari rencana-rencana itu terlupakan. Teman-teman di kampus, termasuk aku, banyak merencanakan hal besar untuk dilakukan di masa depan, kalimat klise nya adalah ingin menaklukan mimpi. Terdengar lugas dan congkak sekali, namun memang itulah keadannya saat semangat yang kami pikir tidak ada lunturnya. Seiring waktu dan kami yang terus dimakan oleh putaran rutinitas, semakin menunjukkan alasan kenapa kalimat itu disebut sebagai kalimat klise. Secara perlahan mimpi asa kini berubah menjadi mimpi belaka, mimpi pelengkap tidur. Target-target yang aku tuangkan dalam buku bersampul coklat itu memang tidak ada yang dicoret, aku tetap membiarkannya tertulis rapi walau beberapa diantaranya terasa sudah tidak mungkin untuk aku kejar. Proyek Anamorphic, masih menjadi salah satu proyek impian.
Kuingat-ingat lagi, ternyata pada November ini banyak hal yang terjadi dalam jarak yang berdekatan sehingga membuatku mendahulukan perasaan daripada akal. Segala hal yang terjadi tanpa aba-aba membuatku tidak memiliki kesiapan apa-apa. Tanpa aba-aba bapak meninggal, sebuah kejadian dimana aku mengesampingkan akal, satu momen yang terpahat begitu dalam, duka yang meluluhlantakkan. Hari itu langit biru berubah menjadi kelabu, mendung tanpa belas kasihan. Sebelumnya lagi, tanpa aba-aba kamar 301 terisi kembali, oleh sosok yang sejak awal sudah menarik, seiringan dengan waktu kini menjadi gadis favorit.
Saat ini, aku sedang mengulang itu semua dalam ingatan sambil memperhatikan jalanan, berdiri di pinggir jalan, mengambil video dan foto-foto untuk materi tugas akhir, motion graphic. Sudah hampir dua semester aku mengerjakan ini, dimulai sejak pertengahan semester enam. Sejak judul tugas akhir ini sudah mendapat persetujuan oleh dosen pembimbing, mungkin sudah sekitar lima atau enam kali aku berdiri di jalanan pada jam-jam macet Jakarta. Banyak cara yang kulakukan untuk mendapatkan materi yang maksimal, hingga terkadang aku menggunakan drone untuk pengambilan video atau foto sudut pandang dari atas. Malam ini sepertinya menjadi shooting terakhir. Dengan materi dasar yang sudah ada, aku siap mengolahnya menjadi karya tugas akhir. Aku akan memusatkan perhatian pada penggunaan perangkat lunak pendukung untuk menciptakan hasil terbaik yang mengantarkanku pada kelulusan. Aku memeriksa layar ponselku dan melihat jam menunjukkan pukul 07.30 malam. Sudah hampir tiga jam aku berdiri di sini. Aku mulai mengemas peralatanku lalu pulang.
Hari ini sudah Selasa lagi, tepat seminggu setelah kejadian aku terjatuh dan berakhir dengan menggoda Aruna. Setelah kejadian itu, Aruna memang jadi lebih dekat, tapi hanya sebatas memeriksa pergelangan kaki yang ternyata sembuh lebih cepat. Aku berharap pembengkakan itu bertahan sedikit lebih lama, tidak masalah bahkan juga tidak begitu sakit. Tanpa menyentuh topik yang rumit, Aruna hanya lebih fokus pada perawatan kaki daripada membahas apa yang kukatakan padanya secara terang-terangan pada malam itu. Jumat sore minggu lalu, Aruna datang saat pembengkakan kaki sudah jauh berkurang, mengatakan bahwa dia akan ke Tangerang, menghabiskan akhir pekan bersama adik-adiknya di panti asuhan dan akan kembali pada Minggu malam. Dia menekankan pentingnya menjaga cedera kakiku agar sembuh sesuai perkiraan. Tanpa memberikan kesempatan bicara, Aruna pergi dengan tawa kecil di bibirnya. “Selama aku pergi, kamu jaga kaki, biar cepat sembuh.” Begitu ucapnya. Lalu Senin dan Selasa berlalu begitu saja. Selain karena memang jadwal kuliah Aruna, aku juga sudah sibuk sana-sini, bekerja dan mengumpulkan materi hingga malam hari. Kami belum bertemu lagi, bahkan Aruna juga tidak mengabarkan apakah dia akan memeriksa kaki yang benar-benar sudah sembuh ini atau tidak lagi. Aku bisa saja menelepon atau mengirimkan pesan seperti yang pernah kami bicarakan waktu itu, tapi dalam hubungan kami, itu sesuatu yang sangat jarang terjadi, sepertinya kami saling sungkan, tidak mau mengganggu kesibukan masing-masing. Bahkan ketika Aruna datang untuk memeriksa keadaan, dia selalu langsung saja mengetuk pintu tanpa mengirim pesan, “Yah, aku kan juga tinggal datang. Kalau kamu bukain pintu, berarti kamu ada di dalam. Kalau ternyata aku ketuk pintu terus gak ada yang bukain, yaa, aku balik lagi ke kamar.” Begitu sederhana jawabannya saat aku menanyakan kenapa tidak mengirim pesan dulu. Aku akui itu benar, dia memang tidak salah. Hanya saja aku ingin rasa saling sungkan itu sedikit berkurang.
"Huft…,"
-oOo-
“Gam!” Ares memanggilku yang baru saja sampai di kelas. Aku berjalan ke arahnya dan duduk pada kursi tepat di belakangnya.
“Gua gak jadi ntar ikut ke studio,” ujar Ares setelah aku duduk. Kak Ami menelepon Selasa lalu, saat aku tak bisa menjawab teleponnya karena terjatuh. Aku kembali meneleponnya malam itu juga setelah Aruna keluar dengan wajah memerah. Kak Ami mengatakan bahwa ia butuh satu orang lagi untuk memfoto produk baru. Sebelumnya mereka fokus memproduksi pakaian wanita, sekarang mencoba menambahkan lini produk baru berupa kemeja pria. Katalog untuk kedua produk ini harus selesai dalam waktu yang sama.
“Lah! Kemana lu? Mendadak banget,” aku melihatnya ketus.
“Ketemu ketua komunitas skateboard,” Ares diam sebentar,“tenang ... santai … gua udah cari orang buat gantiin.”
“Siapa?”
“Galih,” Ares menyebut nama salah satu teman kami. Aku hanya mengangguk sambil mengingat sepertinya aku tidak pernah bekerja dengannya. Tapi Galih dikenal cukup pintar, terbukti dari konsistensinya mempertahankan IPK di atas angka 3.50.
“Ngapain lu? Belajar skateboard?”
Ares menggeleng cepat.
“Kenal dari mana?” tanyaku lagi.
“Trisna, dong!” Wajah Ares terlihat puas. Dia melihatku dengan senyuman merekah. Senyum keberhasilan.
“Lu jangan aneh-aneh! Udah baikan emang?” tanyaku memastikan.
“Udah, dong! itu juga karena dia tuh gua ntar gak bisa ke studio,” jawab Ares lagi, kali ini dia berpindah ke kursi tepat di sampingku. Aku menatapnya heran.
“Iya. Gua ntar ketemu sama ketua komunitas skateboard. Abang nya Trisna, kan anak skateboard,” terang Ares lagi dengan suara pelan namun penuh semangat. Kilat-kilatan matanya itu tidak mampu dia sembunyikan.
“Oh … jadinya bikin dokumenter?" Aku mulai menyadari bahwa sepertinya Ares telah mendapatkan proyek untuk tugas akhirnya, menggantikan proyek sebelumnya, club malam.
“Profil sih, bukan dokumenter. Biar enak ulik visualnya. Menurut lu?” jawab Ares cepat.
“Bagus. Lagi anget juga komunitas itu,” aku mengangguk perlahan.
“Gua kemarin udah nelpon ketuanya, katanya baru-baru ini Gubernur ajak mereka ketemu buat lihat penataan taman hijau yang mau di bangun, bakalan dibuatkan juga lintasan untuk skateboard,” jelas Ares lagi.
"Wih…”
“Ntar gua ketemuan ama mereka bareng Trisna dan calon ipar gua.” Ares terkekeh.
“Wiss, sedaappp!” ujarku seraya tersenyum lebar dan menepuk punggungnya.
Setelahnya, Ares menceritakan bahwa dia berupaya mendekati Trisna setiap hari. Dimulai dengan permintaan maaf, lalu berusaha mencari alasan agar pesannya mendapat balasan dari Trisna. Awalnya, Ares iseng dan tidak menyangka ternyata percakapan mengenai tugas akhir telah membawa Ares sampai ke rumah Trisna pada Minggu malam. Dia datang dengan alasan ingin bertemu dengan abang Trisna untuk memperoleh informasi terkait tugas akhirnya. Sambil menyelam minum air, sambil mengayuh dua-tiga pulau terlampaui. Begitulah kira-kira keadaannya.
“Cepet banget lu kalau urusan cewek, baru juga minggu lalu dia masih kesel ama lu,” ucapku pada Ares.
“Harus sat set, Nyet! Lu kali! LELET!” Seru Ares.
“Lu inget, kan Trisna punya pacar?” Kami sama-sama tahu bahwa pacar Trisna adalah seorang dokter muda.
“Halah! Pacar doang, masih bisa digeser. Lagian cakepan gua,” jawab Ares penuh percaya diri.
“Dih!”
Selama mengikuti kelas, aku menyadari keberanian yang dimiliki Ares, kepercayaan dirinya yang kuat atau mungkin bisa disebut sebagai rasa tidak kenal takut. Sifat-sifat seperti itu, yang tanpa perlu dipertimbangkan secara khusus, mampu membawanya menuju apa yang diinginkannya.
Aku mulai merenung apakah benar aku lamban? Jika aku mengingat kembali, sepertinya tidak begitu. Aku dan Aruna hanya saja baru saling mengenal satu sama lain. Namun, ada momen-momen berlawanan yang telah terjadi dan pada akhirnya mengakibatkan kebingungan. Kadang kami terlihat begitu dekat, namun pada hari lain, seolah-olah menjadi jauh lagi. Aku merekam kembali memori-memori itu. Ketika dia mengusap air mataku, kami begitu dekat. Ketika dia memeriksa tekanan darahku, kami begitu dekat. Di coffee shop, dekat. Saat kami menikmati mie instan dan soto dari Bu Dewi di kamarnya, begitu dekat. Ketika aku mengganti lampu di kamarnya, juga dekat. Ketika dia membantuku saat terjatuh dan merawat cedera yang kualami, ia mendekat. Kemudian aku sadar bahwa Aruna sebenarnya tidak terlalu sulit untuk didekati, tapi rumit. Meskipun terasa dekat, ada hal-hal yang masih mengganjal dalam pikiranku hingga saat ini, hal-hal itu yang terkadang membuatku lebih berhati-hati, atau seperti yang Ares sebut, lelet. Saat Aruna berbohong mengenai ponselnya yang mati, saat dia menatapku dengan sudut mata dan mengalihkan pandangannya ketika aku berada di ambang pintunya, saat dia mengubah ekspresinya dengan cepat setelah kami berjalan-jalan, saat Aruna terlihat enggan mendekatiku, padahal sepertinya dia tahu aku sedang mencarinya di festival kuliner waktu itu, bahkan saat dia tidak pernah menyebutkan apa pun tentang kejadian sebelumnya. Itulah hal-hal yang membuat semuanya terasa rumit, lebih rumit lagi menentukan apakah ini kesalahanku atau bukan.
-oOo-
Kamis, pukul 11.00 siang. Aku terlambat bangun karena kemarin akhirnya terjaga hingga larut malam. Aku langsung ke studio bersama Galih untuk bekerja saat selesai kelas. Ternyata pekerjaan kami lebih banyak dari biasanya, ditambah lagi Galih belum akrab dengan tim Kak Ami. Beberapa kali aku harus membantunya. Kak Ami orang yang tegas. Dengan jelas mengungkapkan apakah dia puas atau tidak terhadap sesuatu. Kemarin Kak Ami mengkritik bahwa Galih kurang responsif dan lambat dalam bekerja. Aku tidak menyalahkan Galih karena kami belajar fotografi hanya sebagai dasar untuk pengumpulan materi yang akan diolah secara visual. Kami bukan dilatih sebagai fotografer karena itu bukan fokus jurusan kami. Galih terutama, terlihat tidak terbiasa bekerja dengan tim yang bukan dari lingkungannya. Meski prestasi akademiknya nyaris sempurna, Galih tidak mampu bekerja dengan baik di lapangan. Pekerjaan ini membutuhkan keahlian yang didapat dari pengalaman, ketahanan fisik maupun mental, dan kadang-kadang insting. Terkadang aku lupa bahwa Galih adalah anak yang lahir dengan sendok emas di mulutnya, jadi baginya bekerja mungkin bukan suatu keharusan, karena dia sudah pasti akan mewarisi perusahaan multimedia milik ayahnya yang cukup terkenal di kota.
Galih dengan perasaan berat menyampaikan permintaan maaf kepadaku saat kami mampir pada salah satu minimarket untuk istirahat dan minum kopi. Aku hanya bisa bisa mengangguk karena sejujurnya sudah lelah. Sesampainya di rumah aku memindahkan data-data dari kamera ke komputer dan mengedit, tidak terasa ternyata aku hanyut dalam pekerjaan hingga pukul 02.00 dini hari, saat itu juga aku memutuskan untuk istirahat. Tidur.
Aku bangun mendekati jam makan siang. Saat memeriksa handphone, ternyata sudah ada dua panggilan tidak terjawab dari ibu. Aku segera menelepon ibu kembali.
“Bu? Maaf tadi aku masih tidur.”
Ibu terdengar tertawa kecil dari seberang sana.
“Ibu apa kabar? Sarapan apa tadi?”
“Ibu baik. Seharusnya ibu yang nanya. Kamu udah makan?”
“Udah, Bu.” Jawabku
“Kapan coba? Orang baru bangun.”
Aku terkekeh pelan, “Ntar lagi aku makan, sekalian makan siang.”
“Kamu kemarin ngapain kok bangunnya kesiangan?”
“Biasa, Bu. Kerjaan, keterusan,” ucapku santai.
Ibu terdengar menghembuskan nafas.
“Ibu kan udah bilang, jangan dipaksakan. Pikirin kesehatan kamu.”
Aku malas menjawab jika sudah membicarakan kebiasaanku begadang dan lupa makan. Obrolan ini akan menjadi panjang dan penuh nasihat-nasihat.
“Marwa kuliah?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Iya, tadi pagi. Kamu hari ini gak kuliah, kan ya?” tanya ibu memastikan. Ibu memang selalu hapal jadwal kuliah anak - anaknya.
“Iya, bu. Besok yang kuliah. Kenapa, Bu?”
“Naahh, hari ini kamu istirahat aja. Kalau Ares datang jangan keluyuran. Tidur aja. Istirahat.” Ibu menasihatiku. Ibu tahu betul jika aku dan Ares suka bermain hingga larut.
“Idih? Ibu mau aku tidur bareng Ares?” tanyaku menjahili ibu.
“Ah! Kamu ada-ada aja. Maksudnya ….,”
“Iyaa, aku paham, kok. Bercanda doang, Bu.”
Ibu terkekeh.
“Ibu juga jaga kesehatan. Jangan cuma aku aja yang di ingetin. Ibu sendiri kata Marwa masih sering telat makan.”
“Emang belum laper aja.” Ibu berkilah, lalu ibu diam sebentar, “Kamu kirimin uang jajan, ya ke Marwa?” lanjutnya.
“Iya,” aku memang mengirimkan Marwa sedikit uang jajan hasil dari pekerjaan pada festival makanan.
“Tabung aja, Gam.”
“Kemarin ada kerjaan lebih, Bu” ujarku.
“Kamu ini ada aja jawabannya. Udah gini aja, yang penting kamu sehat disana. Ibu ini jauh, kalau kamu kenapa-napa ibu gak bisa datang cepat. Masa ibu minta tolong Bu Dewi? Kan gak enak,” Ibu kembali menggerutu. Dulu saat pertama kali berkunjung ke kost, Ibu dan Bu Dewi sempat berkenalan. Ibu juga menyampaikan kepada Bu Dewi agar segera memberitahunya jika terjadi hal buruk kepadaku selama di sini. Jika saja ibu tahu bahwa saat ini kamar 301 sudah terisi oleh mahasiswi keperawatan, kemungkinan besar ibu akan meminta kontak Aruna untuk berjaga-jaga. Aku sengaja tidak memberitahu ibu karena kemungkinan hal yang akan terjadi hanya dua: Akan menjadi sangat baik atau malah akan menjadi sangat merepotkan. Telepon dengan ibu selesai dan saat itu juga aku merasa lapar. Aku mengingat-ingat kapan terakhir makan dengan benar. Ternyata siang kemarin, saat baru sampai di pabrik garmen bersama Galih. Kami menyantap makan siang di studio kecil yang disiapkan oleh pabrik untuk keperluan pemotretan. Kak Ami menyambut kedatangan kami dengan memberikan nasi kotak. Kami bertiga duduk bersama di studio, makan sambil memberikan arahan mengenai pekerjaan yang akan kami lakukan.
Aku cuci muka, gosok gigi lalu segera turun.
Pada tangga di lantai dua aku bertemu dengan Aruna dan seorang tetangga perempuan yang tidak aku ketahui namanya. Keduanya membawa bungkusan makanan yang tampaknya mereka beli bersama, terlihat dari warna dan logo yang serupa pada bungkusan itu. Kami berpapasan, Aruna tersenyum melihat kaki kananku. Tangga ini tidak terlalu lebar, salah satu dari kami harus menyandarkan punggung ke dinding agar yang lain bisa lewat.
“Gam? udah sembuh kakinya, ya?” Aruna dengan suara lembutnya menyapaku duluan. Belum sempat aku menjawabnya, tetangga perempuan ini menyela, “Oohh, ini toh Mas Gamma?” ujarnya dengan suara melengking, membuat gaungannya terdengar mendesing di lorong tangga. Senyumnya merekah memperlihatkan kawat gigi warna-warni. Wajahnya yang sudah bulat terlihat semakin bulat karena senyumannya sangat tinggi, menaikkan kedua pipi. Aruna egera menyikutnya pelan. Tetangga ini tampak tidak sadar, dia masih saja melihatku dengan senyuman lebar dan tatapan berbinar.
“Udah, nih mau cari makan dulu.” Aku memilih menjawab pertanyaan Aruna, sambil melihat heran si tetangga ini.
“Yah, Mas? Ini Mbak Aruna nya udah beliin, loh?” ujar perempuan berkawat gigi ini lagi-lagi menyela dengan cepat. Dia melihat Aruna yang disebelahnya dengan mata nakal. Aruna menggelengkan kepala dengan cepat sambil membesarkan mata kepadanya. Melihat mereka berdua begitu aku bingung.
“Oh, ya? Kamu beliin aku makan siang?” aku menatap Aruna etengah terkejut setengah berharap.
Aruna mengangguk pelan. Mungkin raut wajahku terlihat jelas menunjukkan apa yang aku pikirkan. Aruna tersenyum ragu sedangkan bola matanya liar ke kiri dan kanan menghindari tatapanku.
“Kita tetanggaan loh, Mas? Saya di lantai dua.” Suara lengking tetangga ini mengacaukan momen malu-malu Aruna.
“Iya, saya kenal wajah mbak-nya, tapi gak hafal nama,” jawabku datar.
“Saya Gina, saya juga junior Mbak Aruna di kampus,” Dia mengulurkan tangan kepadaku. Kami bersalaman.
“Gamma.”
“Yo wes, saya duluan ya,” Gina segera naik, “Udah laper banget, mau makan.”
“Iya, Gin. Makasih udah nemenin tadi,” ucap Aruna.
Gina mengangguk. Kamarnya terletak di lantai dua, tidak lama setelah itu terdengar pintu kamar tertutup. Aku dan Aruna masih berdiri pada posisi yang sama dan kami berdua seolah menunggu Gina benar-benar masuk kamar. Aku dan Aruna saling menatap lalu tanpa sadar sama-sama tertawa karena situasi yang baru saja terjadi.
“Jadi aku ikut kamu naik atau tetap turun, nih?” tanyaku menggoda Aruna.
“Yaah, terserah. Paling ini ntar aku kasih ke Bu Dewi,” jawabnya santaisambil mengangkat salah satu bungkusan.
“Yah? Jangan dong! Itu kan kamu beli buat aku!”
“Ya, makanya ayuk! Naik bareng,” ajak Aruna. Dia sudah naik duluan melewatiku.
“Makan bareng?” tanyaku menggodanya.
“Iya …,” jawab Aruna tanpa menoleh.
“Yess!” seruku nyaris berbisik sambil berjoget kecil di belakang punggungnya.
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri gitu?” Aruna menoleh kebelakang.
“Kegirangan..” Aku tidak menampiknya dengan sengaja jujur agar dia paham. Aruna hanya tertawa dan menggelengkan kepala.
Untuk pertama kali, kami makan di kamarku. TV sengaja kunyalakan dengan alunan suara pelan. Aruna mengambil alat makan dari kamarnya lalu kembali ke kamarku dengan membawa beberapa lembar kertas yang akhirnya aku tahu itu adalah lembaran kuesioner pendukung karya tulis ilmiahnya. “Oh. Jadi ini alasannya kenapa beliin aku makan siang? Aku jadi sampel penelitian doang?” ujarku dengan wajah yang kubuat sedikit cemberut.
“Enggak juga. Emang pengen beliin aja.” Aruna tersipu dan menahan senyuman yang justru semakin memperlihatkan dugaanku benar, “ya udah makan dulu.”
“Kamu cerita apa ke Gina tentang aku?” tanyaku penasaran.
“Gak cerita apa-apa. Dia nanya kenapa pesen dua, aku bilang untuk kamu satunya,” jawab Aruna santai sambil membuka bungkusan makanan duluan. Bungkusan itu terlihat sangat diperhatikan oleh penjual makanan ini, sebuah kotak seperti dus kecil yang jika dibuka akan menjadi lebar sebagai pengganti piring. Sangat praktis dan efisien menurutku. Desain bungkusnya memang menarik, namun tidak dengan isinya. Nasi beras merah, irisan wortel dan buncis yang hanya di rebus, serta ayam goreng yang aku yakin tidak ada rasanya.
“Kamu udah pasti gak suka, kan?” Aruna langsung menebak setelah melihat raut wajahku saat memperhatikan makanan nya. Aku mengangguk kekanak-kanakan membuat Aruna tertawa.
“Jangan gitu. Ini justru sehat, Gam. Coba makan dulu.”
Setelahnya Aruna kembali berujar mengenai pentingnya menjaga kesehatan. Aku sudah cukup mendengar nasihat ini dari ibu selama hampir setengah jam tadi. Namun aku juga tidak ingin menghentikan Aruna, lantas aku memilih diam saja, hanya menikmati suara lembutnya tanpa mendengarkan dengan benar apa yang dia ucapkan sambil berusaha menelan makanan yang katanya sehat ini. Aruna tidak bicara lagi saat makan dan aku banyak diam karena tengah berusaha menelan makanan tidak ada rasa ini melewati kerongkongan.
Setelah makan, Aruna memperlihatkan judul karya tugas akhirnya. Dia menulis tentang pengaruh pola makan dan gaya hidup terhadap kesehatan jantung dengan sampel penelitian adalah orang dewasa muda, itu berarti berada pada rentang usia 20 tahun hingga 35 tahun. Inilah alasan kuat mengapa dia tadi sempat mengatakan pentingnya menjaga kesehatan, ternyata ini adalah topik penelitiannya.. Lalu aku mengisi kuesioner yang telah dia persiapkan. Kuesioner itu terdiri dari dua halaman dengan lima puluh pertanyaan, dua puluh diantaranya adalah kuesioner skala likert tiga poin, dua puluh lima lagi pertanyaan personal seputar riwayat kesehatan dan sisanya berupa lima soal kuesioner terbuka. Aruna duduk di hadapanku, melihatku yang tengah menulis pada kertas-kertas ini.
“Kamu liatin aku begitu, ntar naksir,” godaku padanya sambil menulis.
Aruna yang tersadar langsung tersenyum lebar. Tapi tidak mengucapkan satu kata untuk membalas ucapanku. Tiba-tiba Aruna mendekat untuk melihat pertanyaan mana yang sedang aku kerjakan. Matanya bergerak atas ke bawah sedang mencari pertanyaan dan jawaban yang dia ingin tahu.
“Hmmm, jadi bener kemarin itu mabuk,” Aruna melihat salah satu kolom pada skala likert. Pada bagian pertanyaan meminum alkohol, aku menandai kotak yang menyatakan suatu kebenaran.
“Dikit…,” Aku terkekeh pelan. Sebenarnya aku cukup terkejut Aruna menyadarinya, “kamu tau aja.” ujarku kemudian.
“Aku ini magang tiap akhir semester, ada yang di klinik bahkan rumah sakit. Macem-macem pasien udah aku hadapin. Ada yang mabuk, terus kecelakaan. Mabuk yang biasa aja sampai yang parah muntah-muntah gitu ada. Aku udah hapal segala bau-bau nya,” jelas Aruna lagi, kemudian dia diam sebentar dan melirik, “ada juga yang mabuk terus jatuh sendiri di tangga,” sindirnya dengan tawa kecil setelahnya.
Aku tertegun melihatnya. Keahlian dan pengalamannya telah mengantarkannya menjadi sosok luar biasa.
“Aku tahu kamu pinter,” kataku.
“Aku juga tau kamu sekolah keperawatan,” ujarku lagi dan Aruna mengangguk dengan bingung.
“Suatu saat kamu bakalan jadi perawat terbaik se-Indonesia,” ungkapku dan kali ini diiringi senyum lebar dari Aruna.
“Aamiin, tapi itu prosesnya panjang banget,” jawab Aruna segera.
“Dan tercantik.” Aku melanjutkan perkataanku.
Aruna tersenyum malu-malu.
“Oh iya, karena kamu udah tahu juga, aku mau minta maaf karena udah seenaknya mendekat ke kamu waktu itu.” Akhirnya aku bisa menyampaikan permintaan maaf yang mungkin sudah terlalu terlambat.
“Kenapa minta maaf?”
“Aku udah salah,” jawabku ringan sambil terus menulis kuesioner tanpa menoleh ke Aruna.
“Jadi itu kesalahan, ya?” tanya Aruna lagi.
Aku tidak paham maksudnya apa. Tentu saja aku salah sudah mendekatinya tiba-tiba, membuatnya terkejut, wajahnya merah padam, entah karena malu atau justru marah lalu pergi begitu saja ke kamarnya. “Iya. makanya aku minta maaf. Aku bercandanya kelewatan waktu itu,” jelasku lagi
Aruna yang tadinya berwajah cerah, kini mendung seketika, “Kamu udah selesai?” Aruna menunjuk kuesioner yang masih kupegang.
“Belum. Kenapa?”
“A-aku …,” Aruna tampak gusar, bola matanya bergerak-gerak liar seolah mencari-cari alasan. Dan juga tampak tidak nyaman dan ingin cepat pergi.
Aku menghembuskan nafas, meletakkan kuesioner yang sebenarnya sedikit lagi hampir selesai, “Kamu kenapa, Runa? Aku salah?”
Aruna tidak menjawab, tangannya dengan cepat meraih kertas yang kini tepat berada di sampingku. Aruna kalah cepat, aku sudah mengambil kertas itu dan menyembunyikannya pada balik punggung. Kami kembali diam, hanya suara TV sebagai pemecah keheningan, itupun sangat pelan. Dia menghindari tatapanku. Angin yang masuk dari jendela membuat rambut Aruna bergoyang ringan.
Begini lagi.
Aku mengusap rambut dengan kasar, membawa semuanya ke belakang dan meremas-remas kuat tengkuk yang rasanya sudah kaku atau sebenarnya itu caraku melampiaskan kesal sebab aku tidak mengerti pada bagian mana aku membuat kesalahan.
“Gam? Kuesioner nya?” Aruna merentangkan tangannya, meminta kuesioner yang aku sembunyikan. Sepertinya dia benar-benar enggan membahas masalah ini. Aku tidak punya pilihan lain selain memberikan kuesioner itu kembali kepadanya.
“Makasih, Gam. Aku balik, ya?” Aruna bergegas mengemasi barang-barang nya. Dia sangat terburu-buru, sehingga dia nyaris terjatuh saat hendak berdiri. Kakinya memijak bagian bawah celananya yang kepanjangan dan longgar. Aku dengan gerakan cepat menahannya, memegang kedua pangkal lengannya yang akan jatuh menimpaku. Aku menggulung bagian bawah celananya kiri dan kanan saat dia tengah sibuk membereskan kertas-kertas yang menjadi sedikit berantakan sebab hampir terjatuh. “Celana kamu kepanjangan. Ini bahaya, Runa. Kamu bisa jatuh kapan aja,” ujarku pelan. Aruna diam saja, entah dia memalingkan wajah atau justru melihatku yang tengah menunduk menggulung bagian bawah celananya, aku tidak tahu, juga tidak ingin tahu.
“Hati-hati.” ujarku lagi setelah gulungan terakhir selesai.
Lalu setelah semua itu, dia pergi. Aku enggan melihatnya yang berjalan meninggalkan ruangan. Setelah mendengar pintu tertutup, aku baru menoleh ke belakang. Ah, sudahlah. Hal seperti ini juga tidak sekali terjadi. Mungkin juga aku sudah terbiasa. Hampir selalu begini, kita berhenti berbicara selama seminggu. Kemudian tiba-tiba bertemu lagi, mengabaikan kejadian seminggu sebelumnya, seolah tidak terjadi apa-apa. Kita berbicara banyak, membangkitkan harapanku. Lalu saat semuanya terlihat baik-baik saja, kamu selalu berubah pada akhirnya. Meninggalkanku dalam kebingungan.
Lalu aku berdiri menuju meja kerja, meraih ponsel yang masih tergeletak di kasur, memeriksanya sebentar, hanya ada Ares yang mengirimkan foto nya bersama Trisna kemarin saat mereka pergi menemui komunitas skateboard. Trisna tampak tidak sadar bahwa Ares tengah menggunakan kamera depan saat berfoto dengannya. Hanya Ares yang tersenyum di foto itu, Trisna yang sedikit di belakang tampak sedang memainkan ponsel. Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat foto yang dikirimkan Ares.
Selama berkutat dengan komputer, ponsel secara masif terus mengeluarkan suara notifikasi sebab Ares banyak mengirimkan foto. Aku tidak lagi memeriksanya dan tetap berusaha fokus kepada layar komputer, mengerjakan dengan sungguh-sungguh apa yang sudah aku mulai.
-oOo-
Punggung bersandar, tangan meregang ke atas, menjatuhkan kepala kiri dan kanan membuat suara derakan pada leher yang kaku. Entah sudah berapa lama aku menghadapi layar komputer. Satu jam? Dua jam? Aku sudah tidak peduli, yang aku tahu aku menikmati setiap prosesnya. Ponselku hening, Ares sudah selesai mengirimkan semua foto yang dia banggakan. Aku menatap keluar jendela, tampak cahaya matahari mulai redup dan senja mengangkut warna jingga pada langit. Sambil melihat foto-foto yang Ares kirimkan, aku memutuskan untuk istirahat sebentar, merokok sambil melihat jalanan dari jendela, membuang asapnya jauh ke udara sambil menggulirkan notifikasi pada layar ponsel, mataku terpaku pada satu pesan dari Aruna. Ini sudah pukul 17.11 sore, pesan dari Aruna masuk pukul 15.18, bertepatan dengan Ares yang sibuk mengirimkan banyak foto. Aku segera membuka pesan yang akhirnya malah membuatku tersenyum lebar namun jantungku berdebar.
Aku gak nyangka.
Kamu naksir aku cuma bercanda.
Astaga! Apa memang perempuan selalu memiliki pemikiran yang unik begini?
Aku telah hidup berdampingan bersama dua perempuan, ibu dan Marwa. Sekarang bertambah satu, Aruna. Aku merasa peta pemikiran perempuan sudah seperti labirin. Beragam jalan pikiran yang saling terhubung namun berputar-putar. Seringkali sulit dipahami. Sekarang lihatlah. Selain harus menghadapi pikiran unik ini, aku juga harus siap terombang-ambing dalam gelombang perasaan. Baru beberapa jam lalu rasanya aku terhempas ombak mengenai batu karang, menyakitkan. Kini hanya dengan pesan singkat dia berhasil membuat perasaanku seolah berenang pada pantai hangat bersama ikan badut berwarna terang, menyenangkan.
Tanpa pikir panjang, aku segera mematikan api rokok, membuang sisanya dan langsung mencuci wajah dan menyemprotkan parfum untuk memudarkan bau rokok. Aku segera membuka kulkas, melihat apa yang bisa aku bawa ke kamar Aruna. Hanya ada minuman bersoda dan jus kemasan, lalu aku putuskan membawa keduanya.
Tidak butuh waktu lama pintu kamar Aruna terbuka setelah aku ketuk. “Kamu kenapa ke sini, Gam?” tanyanya pelan. Meskipun dia tahu pasti alasanku menemuinya, Aruna tetap masih bisa berbasa-basi. “Aku bawain ini, kamu mau?” aku memperlihatkan kedua minuman yang kubawa. Diluar dugaan, Aruna lebih memilih mengambil minuman bersoda daripada jus kemasan.
“Kamu suka itu?” tanyaku memastikan, karena sebelumnya justru dia lah yang menasihati untuk memilih makanan dan minuman yang sehat.
“Aku gak minum ini,” ujarnya lagi sambil mengangkat soda kaleng itu.
“Nih, kan ada jus?” tanyaku heran. Kenapa dia malah memilih minuman yang bahkan tidak dikonsumsinya.
“Aku sengaja ambil cola biar kamu yang minum jus nya,” katanya dengan tenang dan juga sambil tersenyum ringan.
Aku terkejut atas tindakan dan perkataan sederhananya yang menunjukkan sebuah ketulusan paling dalam. Sebuah kebaikan paling bening. “Kamu mau masuk atau engga?” tanya Aruna memecah lamunan.
Aku mengangguk. Lidahku masih kelu untuk mengeluarkan kata-kata saat masuk dan menutup pintu di belakangku. Suasana di kamar tiba-tiba terasa berbeda, sangat diam dan tenang. Aku merasa kikuk. Aku merasa harus melakukan sesuatu atau mengatakakan apapun. Sialnya aku merasa hilang akal.
Aku duduk pada sofa di samping tempat tidurnya sedangkan Aruna duduk pada kursi belajarnya yang tidak jauh dari jendela.
“Aku baru baca chat kamu, Runa.” Kataku.
“Oh, ya? Yang mana?” Aruna dengan cepat bertanya dan seolah berpura-pura tidak tahu.
Rumit, bukan? Dia pasti tahu persis pesan yang aku maksudkan. Aku memaklumi jika dia sedang malu, tapi dia tidak perlu berkilah begini. Tapi sikapnya ini membuatnya semakin terlihat manis, lalu aku tidak tahan untuk tidak menggodanya.
“Yang I love you, jadian yuk! ... itu,” jawabku dengan susah payah menahan tawa.
“Ngarang! Bukan itu,” Aruna malah tertawa. Tawanya itu membuat suasana tegang perlahan memudar.
“Nah! Tuh, tau,” jawabku cepat.
Aruna seketika menutup wajahnya. Benar, dia malu dan ingin menyembunyikan rona wajah kemerahan yang menyebar pada pipinya. Aku berdiri dan berjalan pelan ke arahnya dan duduk persis di lantai dekat kaki Aruna menapak. Aku ingin melihat wajah malu-malu itu dari dekat.
“Aku tadi lagi kerjain video, jadi gak lihat handphone pas kamu kirim chat itu. Maaf ya?” ujarku pelan sambil membuka wajahnya yang dia tutup dengan kedua tangannya.
Aruna mengangguk, berusaha memahami situasi. Dia diam sebentar, “Tapi kamu bercanda atau enggak?” tanyanya lagi kini dengan alis bertaut, mendesak untuk menginginkan jawaban segera.
Mataku membesar mendengar pertanyaannya. Dia masih bisa bertanya begitu setelah aku datang ke sini? Setelah aku bersimpuh begini di hadapannya? Aku tertawa sejadi-jadinya hingga aku menjatuhkan keningku pada kedua lututnya.
“Gam?” Aruna menggerakkan lututnya agar aku segera merespons pertanyaannya. Aku mendongak melihat Aruna raut wajah nya menggemaskan dengan tatapan memohon jawaban.
“Aku gak tau mau bilang apa. Kamu lihat sendiri aja setelah ini aku ke kamu gimana,” aku menjawabnya masih dengan menahan tawa. Berusaha memahami rumitnya jalan pikir wanita. Entah seberapa banyak lorong yang ada pada labirin Aruna dan entah seberapa rumitnya, yang jelas saat ini aku tengah berusaha mencoba masuk pada labirin itu demi mencapai tempat yang tersembunyi di dalamnya.
Aruna tersenyum panjang dan nafasnya terhela lega. Dia mengusap rambutku pelan. “Kamu itu perayu,” katanya.
“Mungkin, tapi bukan penggombal,” kataku.
Aruna mengangguk.
“Kita makan, yuk? Jangan di kost. Kita keluar, sambil jalan-jalan,” ajakku.
“Yok!”
Aku beranjak, duduk kembali pada sofa di samping tempat tidurnya.
Aruna tegak pinggang. Da berjalan cepat menghampiri dan menarik lengan kananku, membawaku ke pintu.
“Keluar dulu, Gam. Aku siap-siap dulu.” pintanya.
“Yaahh, kirain …,” Aku tertawa.
“Dasar …,” Aruna menutup pintu.
Aku kembali ke kamar, juga bersiap. Perasaanku melonjak tidak terkendali membuat aku melompat kegirangan. Tidak ada cara untuk menahan senyuman yang merekah. Detak jantung berdegup kencang. Kupu-kupu yang dulu pernah singgah, kini datang kembali dengan membawa kawanan yang lebih banyak dan mengepakkan sayap-sayap indahnya dengan semangat, membuat perutku terasa lebih tergelitik dari sebelumnya. Jika Aruna tidak memiliki keberanian untuk mengirimkan pesan itu, mungkin aku masih berdiam di kamar, berusaha mengalihkan pikiran dari memikirkan peluang yang mungkin Aruna tutup untukku. Kini aku lega, setidaknya mulai hari ini aku adalah pacar Aruna.
Pacar?
Aku malu sendiri menyadari kata itu melekat padaku kini.
Ah! bisa gila aku!
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)