"Ingatanku seperti pecahan kaca... menyakitkan kalau disentuh."
Serana menggenggam erat mikrofon biru di tangannya saat mengikuti Namjoon dan keenam pemuda lainnya melewati lorong yang tampak tak berujung. Dinding-dindingnya seperti terbuat dari cahaya yang retak—seolah-olah waktu dan ruang telah patah menjadi kepingan, dan mereka sedang berjalan di antara sela-selanya.
Langit di atas tidak berwarna biru atau abu-abu. Ia berubah-ubah, dari merah lembayung ke hijau laut, lalu menjadi ungu gelap seperti tinta tumpah. Setiap kali Serana mencoba mengingat sesuatu, rasa nyeri menyambar kepalanya, seperti alarm bahwa ada sesuatu yang seharusnya ia tidak sentuh.
"Kita sekarang di wilayah Bayangan," kata Yoongi datar tanpa menoleh. Ia berjalan paling depan bersama Namjoon. "Tempat kenangan yang dikunci dan dibuang ngumpul jadi satu. Jangan terlalu lama di sini, kalau nggak mau tenggelam."
Serana menoleh ke sekeliling. Bangunan-bangunan terapung di udara seperti potongan puzzle yang belum selesai. Di kejauhan, terlihat anak kecil berlari mengejar layang-layang yang tidak pernah turun. Seorang nenek duduk di bangku taman yang melayang, terus-menerus menunggu seseorang. Semua terasa tidak nyata—atau mungkin terlalu nyata.
"Oh, semacam Instagram tahun 2013 ya?" celetuk Hoseok sambil tertawa. Tapi sebelum ada yang bisa ikut tertawa, sebuah sandal terbang ke arahnya.
"Diam, Hoseok," gerutu Jin. "Tempat ini sensitif. Sedikit saja emosi kita lepas kendali, bisa..."
Jin tidak menyelesaikan kalimatnya. Karena tiba-tiba, dari kabut yang mulai menebal, muncullah seseorang.
Gadis itu berdiri begitu saja di tengah jalan. Rambutnya panjang dan berwarna ungu pucat, matanya kelabu seperti kabut di sekeliling mereka. Ia berjalan pelan ke arah Serana, lalu menyentuh pundaknya.
"Serana... kamu ninggalin aku."
Serana membeku. Dadanya sesak. Itu suara yang tidak mungkin ia lupa, meski sudah bertahun-tahun tak mendengarnya.
"Zhara?" bisiknya, meski tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Zhara tersenyum, tetapi senyum itu menyimpan luka. "Bukan aku yang hilang. Kamu yang pergi. Kamu lari dari semuanya. Aku cuma tinggal di sini. Di tempat kamu buang semua yang nggak mau kamu ingat."
Serana melangkah mundur, matanya mulai berkaca-kaca. Genggamannya pada mic mengencang. Jantungnya berdebar, dan ada dorongan kuat dalam dirinya untuk memeluk Zhara. Tapi tubuh Zhara tidak nyata. Seperti kabut. Seperti kenangan.
"Kau mengenalnya?" tanya Jungkook pelan dari belakang.
Serana mengangguk.
"Dia sahabatku. Dulu... sebelum—"
Ia berhenti. Karena seketika, bayangan-bayangan mulai bermunculan di sekeliling mereka. Kabut semakin padat dan berubah menjadi layar-layar raksasa yang menayangkan masa lalu.
Di satu sisi, terlihat Serana kecil bermain bersama Zhara di halaman belakang rumah. Di sisi lain, Serana remaja menangis di kamar, menatap foto yang dirobek separuh.
Terdengar suara-suara samar. Janji manis. Tawa bahagia. Lalu teriakan. Tuduhan. Keheningan.
"Kalau kamu ingin keluar dari sini," kata Zhara perlahan, menatap Serana dengan mata berkaca-kaca, "kamu harus temukan mic-mu yang lain. Tapi hati-hati... tidak semua kenangan ingin ditemukan."
Lalu, dengan suara seperti kaca pecah, dunia di sekitar mereka mulai retak. Lantai tempat mereka berpijak bergelombang dan hancur, mengubah lorong menjadi pusaran cahaya.
"Pegang tangan kami!" teriak Taehyung, mencoba menjangkau Serana.
Namun, Serana sudah jatuh. Untuk ke sekian kali.
Gelap. Sunyi.
Ia membuka mata di sebuah ruangan yang remang-remang. Dindingnya dari kaset-kaset tua yang berputar sendiri tanpa suara. Di tengah ruangan ada piano yang bermain sendiri—melodi lembut namun sedih.
"Kamu kuat juga, bisa sampai sini," ujar suara berat dari sudut ruangan.
Seorang lelaki berdiri bersandar pada speaker raksasa. Rambutnya perak, mata tajam seperti elang. Ia memegang mikrofon merah menyala.
"Namaku Kyros. Kamu pasti Serana."
Serana mengangguk perlahan, belum mampu bicara. Ia masih memegang mic biru yang kini tampak retak di ujungnya.
"Mic itu... milikmu, tapi belum lengkap. Kamu butuh tiga lainnya. Biru hanya membawa kenangan. Kamu perlu merah untuk kekuatan, kuning untuk kejujuran, dan ungu untuk pilihan."
Serana menelan ludah. "Kamu tahu tentang suara yang hilang dariku?"
Kyros mendekat, menatapnya tajam.
"Suaramu tidak hilang. Ia disegel oleh dirimu sendiri. Karena kau takut. Karena kau merasa bersalah. Kau harus berani membuka kembali hal yang ingin kau lupakan."
Serana memejamkan mata. Gema tawa Zhara, air mata di malam terakhir mereka bertemu, janji yang tidak ditepati, semua menghantam seperti badai. Tapi sekarang, ada sesuatu yang berbeda.
Mic biru di tangannya bergetar. Retakannya perlahan hilang, berganti dengan cahaya lembut.
"Mereka akan segera mencarimu. Tapi ingat, semakin dalam kamu masuk ke Ethereal, semakin banyak bagian dirimu yang harus kamu hadapi. Dan tidak semua bisa kamu selamatkan."
Kyros lalu memberikan satu benda: selembar not musik kosong, tapi saat disentuh, muncul lirik samar:
Jika kau ingin menemukan harmoni...
...kau harus mendengar dirimu yang terluka.
Serana menatap lembar itu, lalu dirinya di cermin yang tiba-tiba muncul di dinding.
"Aku akan menemukannya," bisiknya dalam hati. Suaranya mulai terdengar samar—seperti gema dari kejauhan. Ia belum kembali bisa bicara, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa: suaranya belum benar-benar hilang.
Pintu di ujung ruangan terbuka perlahan, disambut cahaya ungu lembut.
Dan langkah berikutnya pun dimulai.
Ini juga bikin ngakak
Comment on chapter Lost