Kalau kamu pikir pangeran dari langit akan mendarat di Ethereal dengan gaya dramatis seperti film superhero—petir menyambar, tanah retak, lalu muncul siluet ganteng dari asap... ya, kamu benar. Begitulah gaya MarJayHop turun dari awan.
“Brooo, aku jatuh!” teriaknya sambil terguling dari awan. Jubah peraknya tersangkut di ranting pinus, membuatnya meluncur bak permadani rusak dan mendarat dengan suara yang cukup menganggu, gedebug!
Tak jauh dari sana, MarViTae turun seperti model runway. Satu lutut menyentuh tanah, rambut terbang anggun ditiup angin malam. Ia menatap MarJayHop dengan tatapan datar.
“Aku sudah bilang, jangan pakai jubah sambil salto. Ketinggalan zaman.”
“Eh, daripada kamu, Vi. Posenya kayak mau pemotretan kalender.”
Di antara debat gaya turun yang tidak penting ini, lima pangeran lainnya menyusul. Mereka muncul satu per satu, dengan gaya yang lebih elegan, cepat, dan nyaris tanpa suara. Namun, MarJuki, sang pangeran suara, mendarat paling terakhir. Tubuhnya lemas. Matanya sayu. Dan langkahnya seperti bayangan yang kehilangan bentuk.
“Dia makin parah,” gumam MarJooni, menopang bahu MarJuki. “Efek kehilangan mic-nya semakin kuat. Ppali (1) kita tak boleh kehilangan jejak gadis itu lagi.”
"Tapi, ingatan gadis itu tentang kejadian kemarin akan lenyap. Entah kita akan menemui versi Serana yang seperti apa nanti," ucap MarJinny lemas.
"Gwenchana (2). MarHyuk bilang, hal ini tak akan menyulitkan pencarian kita." MarYoonGa berusaha mencairkan suasana yang terasa semakin tegang.
Akhirnya, ketujuh pangeran itu pun melanjutkan perjalanan. Mereka menghentikan langkah, lantas berdiri di tengah hutan pinus, di lereng yang sunyi, hanya ditemani suara serangga malam dan bau getah yang tajam. Dari kejauhan, desa yang areanya tak begitu luas terlihat seperti bintang mati, tenang tapi menyimpan misteri.
“Jooni, kau yakin koordinatnya di sini?” tanya MarYoonGa, ekspresinya selalu netral dan senantiasa menyelipkan tangan di saku celana.
MarJooni mengangguk, mengeluarkan kristal eterik. Warna ungu berdenyut pelan di dalamnya, seperti jantung yang terluka.
“Energinya lemah, tapi ..., ini tempat terakhir mic itu aktif.”
Pencarian pun kembali dimulai. Mereka menyebar, menyisir tanah dan dedaunan. MarChimmy seperti biasa, terlalu bersemangat dan paling ekspresif.
“Pohonnya lucu! Aku bisa manjat!”
“Fokus, Chim. Ini bukan piknik,” gerutu MarJooni.
Tiba-tiba, MarJayHop berlutut dan menunjuk sesuatu.
“Guys ..., coba lihat ini.”
Seutas pita ungu, seperti bagian dari mic, tergeletak di tanah. MarJuki gemetar saat menyentuhnya. Seketika, cahaya yang menyinari dunia di sekelilingnya pun meredup.
Sebuah bayangan menyeruak ke dalam pikirannya. Siluet bayangan seorang gadis dengan rambut hitam, memiliki sorot mata berapi-api. Suara gadis itu lembut, sanggup menyentuh perasaan. Wajah cantiknya menjadi pesona yang mampu menyihir siapa saja hingga menimbulkan kekaguman.
“Aku melihat dia…,” bisik MarJuki. “Dia yang punya mic-ku sekarang. Dia berada dekat di sekitar sini.”
“Yakin bukan halusinasi?” tanya MarViTae, curiga.
“Tidak. Aku mendengar suaranya. Dia sejak awal memang tak mencuri mic-ku. Namun, mic itulah yang memilihnya," ucap MarJuki lirih. Sorot matanya terlihat semakin sendu.
Seketika saja, keenam pangeran lainnya menjadi tegang.
“Kalau begitu, kita harus temukan dia. Sebelum semuanya terlambat,” ujar MarJayHop serius.
Mereka berjalan mengikuti jejak energi mic, hingga tiba di perbatasan desa. Cahaya bulan menyorot jalan setapak, dan suara nyanyian mengambang di udara.
Melodi itu menyayat hati. Indah dan anehnya, cukup akrab di pendengaran.
“Aku tahu suara itu!” seru MarJuki, panik.
Mereka mendaki bukit kecil di tepi desa. Meski pun mereka bertujuh adalah pangeran, tetapi gerakan mengendap mereka terlihat seperti ninja. Dari balik semak, mereka akhirnya melihat dengan jelas, sosok gadis itu.
Serana.
Gadis itu tengah duduk dengan tenang di atas batu, menyanyi dengan mata terpejam. Suaranya bersinar meskipun terdengar samar. Di sekujur tubuhnya terpancar sinar ungu berkilauan seperti nebula. Di tangannya tergenggam mic ungu milik MarJuki.
“Itu dia,” gumam MarJuki. Napasnya mendadak tercekat.
Namun sebelum mereka sempat bergerak, MarViTae mengangkat tangannya, mencoba menahan langkah keenam pangeran.
“Wait. Jangan terburu-buru. Aku merasakan hal yang ganjil.”
"Apa?" bisik MarJayHop.
“Kalau dia hanya manusia biasa yang menemukan mic, tubuhnya seharusnya melemah tiap kali dia bernyanyi. Tapi ..., suara gadis itu justru memperkuat resonansi energi di sekitar.”
MarJooni menyipitkan mata. “Jadi, kau pikir dia bukan manusia biasa?”
MarViTae mengangguk pelan. “Entah, rasanya sungguh janggal. Dia seperti menyatu dengan mic. Seakan-akan dia adalah bagian dari mic itu sendiri.”
Suasana mendadak menjadi hening. Ketujuh pangeran itu masih mengamati sang gadis.
Di antara kesunyian yang tercipta, Serana perlahan-lahan membuka matanya. Wajahnya mendongak, memandangi langit, kemudian kembali menunduk tepat ke arah tempat para pangeran bersembunyi. Dengan ekspresi tenang yang sukar terbaca, ia berdiri pelan-pelan. Rambutnya sedikit berantakan tertiup angin. Dengan suara lembut, tetapi menusuk, Serana mulai buka suara.
“Aku tahu kalian datang.” Serana melayangkan tatapan tajam langsung ke arah semak-semak.
Para pangeran pun membeku. Tak ada satu pun yang beranjak dari tempat persembunyian.
“Mic ini bukan milik kalian lagi. Ini… takdirku.”
Mata Serana terlihat bersinar ungu. Namun, bukan ungu eterik biasa. Lebih gelap. Lebih dalam. Dan dari mic itu ..., muncul semburat aura hitam samar, membentuk siluet bayangan burung yang mengepak sayapnya.
Seekor angsa hitam.
MarJooni menarik napas. “Itu ..., tidak mungkin.”
MarYoonGa bergumam. “Mic itu sudah bangkit. Tapi bukan sebagai senjata, atau alat komunikasi.”
MarViTae menelan saliva, berkata dengan setengah berbisik, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Dia ..., adalah wadah pertama dari Black Swan.”
(1). Cepat
(2). Tidak apa-apa
Ini juga bikin ngakak
Comment on chapter Lost