🌾a documentary story🌾
Ceritaku berlanjut dan menurut mereka versiku benar-benar membosankan. Mengenai pengalaman hidupku di Bali, menjadi mahasiswa teknik mesin, hingga menjadi anak pejabat politik yang bertangan kotor.
Aku dan Kelana tidak memiliki latar belakang yang sama. Dia dibesarkan oleh seorang ibu yang berprofesi sebagai guru bimbel. Namun ibunya menikah lagi dengan orang Denmark yang masih memiliki darah biru. Kelana, ditinggal di Indonesia seorang diri dan hanya mendapat transferan 350 juta per tahun. Itu adalah uang yang sangat sedikit bagi mahasiswa kedokteran jalur mandiri. Maka dari itulah Kelana melakukan pekerjaan sampingan yang berisiko.
Dekat selama setahun dua tahun, aku pernah menawarkan sebuah vila di Bali untuknya. Lalu dia menolak, padahal dia pernah bilang bahwa ia cukup stress dengan tugas-tugas kuliah yang hanya membuatnya sehari tidur selama tiga atau empat jam. Ia pun juga bilang padaku bahwa ia ingin berkarir di Bali untuk belajar hal-hal berbau seni.
Sedari dulu pun Kelana memang suka menulis. Ia memiliki banyak sisi positif. Namun yang ku sayangkan dia adalah orang yang cukup ragu untuk memulai. Saat itu memang aku selalu mendukungnya dari belakang. Meskipun status pacar hanya ia berikan kepada Juan seorang.
Juan hanya tau bahwa aku menyukai Kelana, bodohnya dia tak mengetahui perasaan Kelana kepadaku. Itu pun juga didukung oleh Kelana yang selalu bersikap dingin kepadaku saat berada di depan Juan.
Aku menerima semuanya. Hal itu juga membuatku mudah menjadi orang yang licik. Kita selalu berkelahi saat bertatap muka dan selalu dengan mudahnya kembali lagi menjadi tenang satu sama lain. Namun perlu diakui memang, kita berdua benar-benar lemah dengan sentuhan fisik.
Namun dengan adanya hubungan yang tidak sehat seperti itu, aku meyakini itu adalah alasanku tak pernah bisa berakhir dengannya. Bahkan sampai kini.
)(
Satu persatu wartawan kota pamit undur diri karena ceritaku yang bertele-tele. Aku memang sengaja untuk banyak mengulur untuk memperlihatkan kepada mereka seperti apa sebenarnya bom waktu.
“Ah maaf versiku memang benar-benar membosankan!” ujarku.
“Apa ini masih lama? Kita sudah melihatmu membicarakan banyak omong kosong selama empat jam,”
“Apa terlihat begitu, baiklah aku harus segera mengakhiri ini karena aku harus bertemu langsung dengan Kelana setelah ini,”
Sontak ucapanku seperti sebuah petasan. Para wartawan yang berbondong-bondong pergi meninggalkanku terlebih dahulu kembali lagi. Namun sia-sia, aku tetap bungkam karena melihat puluhan wartawan yang benar-benar menyebalkan itu.
“Hey! Kau orang asia! Apa kau sedang mempermainkan kami?” suara sumbang itu terdengar di telingaku, benar-benar rasis.
Aku hanya pergi begitu saja, tanpa berpamit pada orang-orang media.
Disisi lain banyak yang yang bertanya dengan penuh teriakan, “Dimana Kelana? Author yang populer itu!”
“Apa kau bisa menjawab dimana keberadaanya sekarang,”
“Ini sangat mengejutkan, dia masih bertemu dengan kekasihnya,”
“Apa ini sungguhan, atau kau berbohong?”
“Ini harus ditulis secepat kilat di portal berita online. Penulis terkenal itu di Kanda untuk untuk menemui mantan kekasihnya,”
Aku sudah tak memperdulikan semua wartawan itu lagi. Aku segera berjalan menuju mobil yang mengantar ke rumahku yang berada di kota metropolis, Toronto. Dimana rumahku juga saat itu tidak terlalu jauh dari jangkauan hotel yang ditempati Kelana untuk bermalam.
Aku mengirim pesan kepadanya, mengajaknya untuk makan malam, ia pun setuju akan hal itu, meskipun ia masih tetap dengan pendiriannya. Marah, ketika aku harus membicarakan masa lalunya di depan media.
Tak hanya itu ia juga mengirimkan beberapa link berita online tentangnya yang rela ke Kanada untuk bertemu denganku.
Ku rasa saat itu dia benar-benar naik darah, aku sedikit takut untuk menemuinya saat itu.
Toronto, Malam hari
Sebenarnya itu adalah malam dimana sangat berkesan untukku. Sutradara sekelas Hollywood dan mantan mahasiswi kedokteran UI kini akan semeja makan denganku.
Aku harus mengakui bahwa aku lama tidak melakukan dinner spesial dengannya. Jika tidak salah pun aku rasa kita makan malam ketika aku berkunjung di LA untuk sebuah pekerjaan. Mungkin sekitar enam bulan yang lalu, hingga berujung putus kontak, kemudian kita terhubung lagi sekitar satu bulan akibat proyek dokumenter ini.
Malam pun tiba, aku menjemput ke alamat yang sudah dikirimkan melalui ponselku.
Tak ada kabar.
Lagi, lagi, tak ada kabar.
Aku berlari menuju hotel bintang lima yang mana terdapat ruangan yang ia tinggali. Bertanya dan kebetulan hotel itu adalah milik dari seorang kenalan, membebaskanku untuk leluasa masuk ke kamar milik Kelana.
Kubuka kuncinya, hening, tak ada sama sekali bunyi.
Hingga ku lihat ke toilet. Ku temukan Kelana tergeletak tak sadarkan diri dengan darah yang berlumuran di bawah tubuhnya.
"Tidakkkkk," teriakku.