🌾a documentary story🌾
“Aku tidak pernah patah hati, justru aku adalah tipe yang suka mematahkan hati orang lain. Tapi ketahuilah kau adalah orang pertama kali menghancurkan ku!”
)(
Banyak wartawan yang memberikan sorakan jengkel, bisa juga tak terima dengan perlakuanku kepada penulis buku terkenal ini, yakni Kelana.
Namun, aku tetap memalsukan diri.
Aku harus menutupinya dengan banyak cerita yang mengejutkan.
“Kau memang benar-benar lelaki yang brengsek, kau pantas untuk dijadikan pembelajaran di buku-buku ini,”
“Kau memang cukup kontroversial ya,”
“Tunggu, apa yang menyebabkanmu bahwa hidupmu ini benar-benar rusak. Aku merasa kau pasti tidak baik-baik secara internal? Apa itu benar?”
Berkaca dari diriku yang harus selalu hidup dengan kemauan orang tuaku, aku tak menampik bahwa hidupku sebenarnya membosankan.
Kelana, sebenarnya dia cukup merubah sedikit hidupku. Meskipun kami sama-sama melawan arus. Dan sama-sama saling menyakiti, aku pikir kini aku harus sadar.
Di Kanada, hidupku baik-baik saja.
Jika boleh sedikit mengeluh… aa beri aku waktu.
Tumbuh dalam dunia yang cukup elit membuatku sedikit sombong. Sebenarnya aku juga tak suka akan hal itu, tapi melihat bahwa aku hidup di tengah-tengah lingkungan dokter dan juga politik, membuat aku harus mengikuti arus permainan mereka untuk berpura-pura menjadi si baik hati. Dan aku tahu itu melelahkan. Aku membiarkan orang-orang di sekelilingku tahu, seperti apa diriku sebenarnya.
Lalu juga menyarankan, sebenarnya Kelana menulis semua ini atas izinku yang terlalu membebaskan ia menulis tentang. Saat itu hubungan kita benar-benar mengerikan, aku juga semakin mengerti bahwa aku merasa harus selalu kembali padanya, meski aku rasa bahwa aku menyakitinya.
Tapi disisi lain menurutku, kita adalah orang yang sama-sama menyakiti. Mungkin jika aku berbicara seperti ini, dia tak akan terima atau bisa saja dia marah. Tapi semoga saja dia mengerti meskipun itu cukup sulit.
Lalu yang kedua, sebenarnya aku juga cukup malu ketika ia menulis tentang ayahku yangs eorang koruptor. “Dia menjadi anak tunggal dari seorang koruptor, dan itu membuatku tak bisa menanganinya, dia selalu mabuk tiap malam saat aku berada di titik bahwa aku benar-benar membutuhkannya,” aku tak mengerti lagi, dia sendiri tak bisa cukup hanya aku seorang, dan selalu melempar kami berdua secara bersamaan.
Seorang wartawan sedikit tersulut, ia memotong kata-kataku yang panjang bak khutbah “Kami? Apa maksudnya?”
Ini tidak ada dalam buku tapi sebenarnya, kita selalu berputar bertiga.
“Bertiga? Apa kau menyelingkuhinya?”
“Jujur, aku memang suka bermain wanita, tapi… nyatanya dialah yang selalu membuatku bingung akan hubungannya dengan Juan. Mereka tidak putus, tapi aku juga selalu menjadi orang yang selalu di depannya ketika ia membutuhkanku,”
Para wartawan yang duduk berjajar itu melongo, seolah tak percaya. Tapi aku berhasil membuktikan dengan sebuah foto. Mereka bergegas untuk memotret, memotretku membawa foto Kelana dan Juan saat berkencan.
“Tunggu! Kau bisa saja disebut sebagai seorang penguntit!”
“Bisa jadi,”
“Brengsek!” Wartawan yang memakai rompi serba merah itu sedikit menggunjing ku, mukanya benar-benar terlihat membenciku.
Ya! Benar, efek buku yang ia tulis ini adalah membuat seluruh dunia tak berpihak kepadaku.
)(
Aku tak berpikir Kelana akan bisa tersorot seperti ini. Dan aku merasa orang yang seperti korban, aku tidak bisa tenang. Hidupku pekerjaanku, bahkan aku sulit untuk menemukan waktu hanya sekedar beristirahat di Bali.
‘A Trilogy: 7 Years and Always’ buah karya Kelana benar-benar merubah hidupku. Aku pikir itu hanya meledak di Indonesia, tapi itu berakhir sampai Internasional. Yang paling membuatku geleng-geleng meski ia lulus kedokteran, ia cukup berani untuk mengambil jurusan Film and Broadcasting di salah satu kampus terkemuka di USA. Padahal dia hidup dengan kerja sampingan yang cukup gelap.
Aku tidak ingin mengolok-olok atau menjelekkan namanya disini, jujur, tapi inilah kenyataannya.
Aku ingat percakapanku saat itu, hari dimana aku harus mengenalnya lebih jauh.
Kita yang saling berbincang satu sama lain, oh iya, perlu diketahui kita memiliki kesamaan, yakni, ingatan kita benar-benar cukup baik.
Aku bisa membuatnya mengaku mengapa ia memutuskan untuk bekerja sampingan dengan jalan gelap.
Apa kalian penasaran?
Aku benar, para wartawan itu, mereka semua sama-sama antusias untuk menunggu melanjutkan cerita.
-CUT-
“Kita istirahat sebentar!” ujar produksi dokumenter yang juga mengatur film yang tersembunyi ini. Sejujurnya marketing mereka cukup bagus. Mereka mengundang para wartawan junior dan senior untuk syuting film dokumenter ini tanpa sepengetahuan mereka. Dan itu mengalir begitu saja!
Itu terjadi di saat aku dan semua crew wartawan beristirahat. Aku pikir, aku adalah orang yang akan memecahkan rekor untuk jumpa pers paling lama.
Di sela-sela jam istirahat. Kelana menghubungiku dengan nomor berkode Amerika. Ia menghubungi dengan cara mengirim pesan.
[Apa kau sudah selesai?]
[Ini masih lama, ada apa?]
[Aku di Kanada]
[Lalu?]
[Usai jumpa pers mari kita bertemu!]
[Sampai kapan kau di Kanada?]
[Besok]
[Baiklah, ku usahakan!]
[Apa aku mengganggumu?]
[Tidak begitu]
[Ngomong-ngomong boleh tidak aku langsung menelponmu, aku ingin menanyakan sesuatu secara langsung tanpa ketikan]
Ya! Kita masih terus berhubungan. Namun itu tidak intens, ada kalanya selama dua bulan atau tiga bulan kita hilang kontak. Namun itu selalu kembali.
Tanpa berpikir panjang, aku yang memilih untuk meneleponnya.
“Halo, kau sekarang dimana?” ujarku memulai.
“Aku di hotel bandara, oh ya tentang jumpa pers mu kenapa kau bilang kepada semua orang bahwa dulunya aku adalah pekerja malam, sialan! Kau tahu itu membuat citraku buruk. Apa kau tak tahu berita itu benar-benar sudah menyebar! Apa kau lupa dengan janjimu. Aku akan membagi uang di atas buku ini akibat kau yang banyak dirugikan!”
“Satu sama,” jawabku enteng.
Ya! Aku tahu aku kekanakan dan menyebalkan. Tapi bagaimana tentang kalimat, “Gaung adalah orang yang mudah menggauli wanita tanpa berpikir,” kalimat itu juga membuat reputasiku hancur.
“Maaf kita lanjut berbicara saja nanti, aku harus melanjutkan semua ini,”
“Fuck! Gaung wait! Wait!”
Aku menutup telepon, kembali ke tempat dudukku. Ternyata para wartawan sudah bersiap lebih awal dari pada aku.
Jumpa pers berlanjut.
1/2/3
Puluhan kamera menyala menuju ke arahku. Pertanda aku harus melanjutkan ceritaku.