🌾a documentary story🌾
Berat untuk membuat keputusan. Namun ketukan pintu yang dilayangkan oleh Sean sangat menggangguku.
Kelana segera memakai pakaiannya yang mana semua terlepas oleh ulahku.
“Setelah ini apa boleh aku menghubungimu lagi?” tanyaku.
Kelana terdiam tak memberi jawaban. Merasa bahwa sepertinya ia tak nyaman aku memberikan pertanyaan lain kepadanya. “Emmm apa boleh aku menyapamu saat bertemu di kampus?” tanyaku kedua kalinya.
Kelana menatap wajahku, melihat seluruh tubuhku yang hanya tertutup oleh selimut. Ia menggelengkan kepalanya, pertanda tak menyetujuinya.
Ponselnya bordering, tak sengaja ku lihat nama ‘Juan’ kini yang menghubunginya. Di sisi lain Sean masih mengetuk pintu. Ahh aku sedikit malu.
Jujur saja saat itu aku sedikit mabuk. Aku membiarkan Kelana membuka pintu. Namun saat pintu hampir terbuka, aku merasa harus mengejarnya. Kuraih tangannya sembari membiarkan ia melihatnya tak memakai sehelai pakaian sama sekali.
Dia menoleh terdiam saat ku raih tangannya, aku menghentikannya. Namun dengan lembutnya ia melepas tanganku, lalu tanpa kusadari begitu saja ia mengecup bibirku selembut mungkin. Pertanda bahwa hubungan kita hanyalah saling pemuas satu sama lain di malam itu.
“Sial!” ujarku dalam hati.
Tak terlalu lama, tapi aku rasa kita saling menikmati saat itu. Ia memulai ia juga yang mengakhiri. Ia melepaskan tubuhku yang sepenuhnya menempel hangat di tubuhnya. Membuka pintu dan tepat di depan pintu adalah Sean.
“Screw you all,” Aku tak membiarkan Sean melihat tubuhku yang sepenuhnya bugil. Itu pasti akan menjijikkan baginya.
Melihat Kelana pergi begitu saja usai mencium bibirku, segera ku tutup pintu yang terbuka lebar-lebar itu. Sean tertawa seolah ia mengejekku. Persetan dengannya selalu.
“Kau duluan, aku menyusul,” ucapku cukup sedikit berteriak dari dalam ruangan yang tertutup.
“Kau? Apa kau akan menaiki motor atau naik mobil bersama kami?”
“Aku bergabung dengan kalian!”
Saat itu aku masih terbawa suasana mabuk yang benar-benar membuatku bahagia. Kelana jug saat itu membuatku cukup bersemangat.
Namun sebenarnya, dalam hatiku yang paling dalam, aku sedih ketika aku harus menidurinya malam itu juga.
)(
Ah, aku sebenarnya tak mau menceritakan hal se-frugal ini. Tapi sungguh karena malam itu, aku mulai bersikukuh agar menjadi orang yang selalu menjaganya.
Sayang sekali aku harus menceritakan hal ini pada dunia, bisa jadi nanti akan menjadi viral. Tapi aku tetap menghormatinya. Aku tidak sesering itu memakainya.
Aku juga tak ingin menceritakan hal ini sebenarnya. Tapi sungguh, jika waktu bisa diputar. Aku Akan lebih bersikap baik hingga kita sampai tak berpisah seperti ini.
“Sir, apa kau masih mengharapkan agar hubungan kalian kembali?”
“Tentu saja, dia adalah orang yang keren!”
“Dengan membuka aib mantan kekasihmu, apa membuatmu lebih baik?”
“Tentu saja tidak! Aku hanya ingin dunia tahu, bahwa aku akan selalu menyambutnya meski dia tak ingin. Bukankah dengan hal itu, aku terlihat seperti orang yang menerimanya apa adanya?”
“Sebelumnya, apa kau sudah izin dengan mantanmu untuk menceritakan hal sesensitif ini?”
Melihat pertanyaan wartawan yang terus mencecarku aku terpojokkan. Mengakhirinya dengan senyuman.
Apa aku boleh melanjutkannya?
Jadi selanjutnya, aku mengkondisikan bahwa saat itu tubuh dan pikiranku harus stabil untuk malam yang terus berlanjut.
Saat itu pun hampir menuju tengah malam. Aku bersama kelima temanku menaiki mobil untuk menuju klub paling besar di Jakarta. Dimana kita selalu melakukan hal itu rutin di weekend.
Yah! Begitulah, aku cukup menikmati hidupku. Sesungguhnya aku tak begitu suka belajar, bersyukur mendapat banyak teman yang mana mereka adalah orang-orang yang memiliki latar belakang kuat sepertiku.
Sampai pagi kita hanya menghabiskan waktu untuk mabuk-mabukan dan bermain wanita.
Aku cukup pusing saat itu hingga melihat wajah perempuan lain pun terlihat seperti Kelana. Jam menunjukkan jam dua dini hari. Bodohnya aku menelepon Kelana yang aku sendiri tidak tahu apa yang ia lakukan saat itu.
Aku berjalan ke luar ruangan. Meneleponnya dalam keadaan mabuk, “Halo?” ujarku, ketika ia mengangkat teleponku.
“Ada apa?” tanyanya cukup ketus, ia kembali ke dalam mode gadis kampus teladan.
“Apa kau bisa kesini?” tanyaku sambil menahan tubuhku yang cukup chaos.
“Apa maksudmu?”
“Kau kesini atau aku bilang tentang kita semalam pada Juan?” aku berusaha mengancam, dan itu hanya hening. Aku tak sadar bahwa aku langsung menutup teleponnya, aku seperti orang kesetanan. Ku kirim fitur share location dari ponsel ku.
Aku berdiri cukup lama, memperhatikan dan bersatu dengan malam yang begitu dingin. Saat itu aku juga sempat berkelahi dengan orang luar negeri yang menyenggol ku, ya, benar! Aku cukup sensitif.
Hingga tiba begitu lama, mungkin sekitar 30 menit kurang atau lebih, aku tak mengingatnya. Gadis berambut hitam panjang memakai pakaian serba modis, ia memakai hot pant dan sneakers. Seperti memiliki antenna, aku tahu bahwa itu Kelana, Mulai dari saat dimana ia keluar dari sebuah mobil. Aku berlari menujunya dan terjatuh dalam pelukannya.
“Aku merindukanmu,” ujarku lirih, berbisik di telinganya, mungkin saat itu dia juga cukup terganggu dengan bau badanku yang dipenuhi alkohol.
Aku benar-benar brengsek.
Kelana menuntunku untuk masuk ke mobil, di sepanjang perjalanan ia hanya fokus menyetir tanpa mengajakku berbincang.
Saat itu benar-benar definisi dari malam tak berujung.
)(
Tiba di apartemen miliknya yang untung saja ada sebuah lift yang benar-benar mendukung keadaan. Ia menuntunku untuk berjalan dan membaringkan tubuhku di tempat tidurnya.
Kalau tak salah apartemennya cukup mewah, aku masih berpikir, sebenarnya sebagaimana sulitnya ekonominya hingga ia menjual diri. Padahal ia benar-benar seperti orang kaya yang memiliki vibes mahal. Apartemen pun juga sangat menakjubkan.
Aku berbaring di tempat tidurnya, Kelana masih tak mengajakku berbincang Aku juga sudah cukup lelah saat itu. Terlalu malu hingga yang ku bisa hanya menutup mataku.
Sesekali ia melonggarkan semua pakaianku.
Aku yang merasakan bahwa tangannya melepaskan kancing kemejaku, secara tak terduga aku membuat reaksi. Meraih tangannya agar tetap berhenti, ku buka mataku, dia terus saja memandangiku. Ku banting dia agar tertidur di sampingku, dan semudah itu, dia mengikuti alur.
Di situlah kita banyak berbincang hingga matahari mulai terbit.
Aku mengerti semua tentangnya begitu juga sebaliknya. Namun yang sulit ia tak bisa melepaskan Juan semudah itu dan disitulah aku merasakan patah hatiku pertama kali.
"Aku tidak pernah patah hati, justru aku adalah tipe yang suka mematahkan hati orang lain. Tapi ketahuilah kau adalah orang pertama yang menghancurkan ku!”