🌾a documentary story🌾
Saat itu aku benar-benar tercampakkan. Aku memilih pergi akibat perlakuan mereka yang cukup menyebalkan padaku.
Kunaiki motorku dan segera pergi mencari teman-temanku. Tak salah itu adalah dimana waktu sore menjelang siang. Aku ke rumah temanku, Sean. Dia adalah anak pengusaha kelapa sawit. Ketika ku masuki rumahnya, tepat secara dugaanku, Sean dan teman-temanku yang lainnya sedang menungguku. Kita sebelumnya sudah ada jadwal clubbing di malam hari.
“Bagaimana?” Tanya Sean kepadaku, sambil bermain karambol. Di ruangan itu sangat menyenangkan, aku ingat sekali ada lemari yang penuh whisky.
Aku hanya menggeleng, “Sulit,” jawabku sambil menenggak soju yang sudah disediakan di meja, berjejer dengan cemilan-cemilan berupa cake dan irisan buah. Tepatnya saat itu terdapat enam orang termasuk aku.
Sean adalah pecinta musik metal, maka dari itu ruangan itu cukup bising. Aku mencoba membaur dengan yang lain.
Dino, Fen, dan Jio, aku berbaur untuk banyak berbincang dengan mereka. Sambil merokok, “Gadis macam dia mah susah kalau dirusak,” celetukku.
Fen dan Jio tertawa, sedangkan Dino memberi tanggapan, “Banyak gadis diluar sana, mau ku pesankan untuk malam mini, aku juga lagi pengen nih?”
“Boleh juga?” jawabku singkat.
Malam belum terlalu merekah, aku sibuk dengan rokok elektrikku. Dalam hati ingin segera bergabung untuk bermain karambol bersama. “Sial! Cepat sekali,” dua wanita pesanan Dino untukku dengannya sudah tiba begitu cepat.
Seolah itu sudah menjadi kebiasaan. Sean selaku tuan rumah hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Parahnya lagi, diantara dua wanita itu adalah Kelana. Benar Kelana, aku tidak bohong, kaget bukan?
“Gilaaaaa,” ujar Dino saat mengetahui bahwa Kelana adalah salah satu yang di pesan, “Ini berbeda dengan yang di foto, yang asli lebih cantik,”
Aku masih sibuk dengan rokok elektrikku. Hingga menoleh ke arah wanita pesanan Dino. “Wtf- kau?” Kelana menatap wajahku, sontak ia terkagetkan, ia ingin pergi untuk kabur dan meminta maaf kepada Dino yang menyambutnya.
Aku loncat dari tempat dudukku, menarik tangannya yang mana ia hendak melarikan diri.
Semua teman-temanku juga sungguh sulit untuk mempercayai ini. Tapi Kelana, mahasiswi Pendidikan Kedokteran itu sebenarnya memiliki pekerjaan sampingan di luar pikiran.
Aku menarik tangannya ke luar dari basecamp, berbicara empat bersamanya.
Kelana menangis. Iya benar, mantan kekasihku itu menangis. Padahal aku sama sekali belum menyentuhnya, tapi aku tahu yang terlintas di pikiranku saat itu adalah dia benar-benar malu kepadaku.
Sebelumnya aku harus minta maaf dengan Kelana. Dia tidak menulis di buku trilogi pertamanya bahwa dia bukanlah wanita baik-baik. Namun yang patut dipuji, dia benar-benar pekerja keras. Dia membayar setengah uang kuliahnya dengan hal-hal seperti ini.
Disitulah aku merasa memiliki celah, ia kini sudah berani terbuka kepadaku. Aku membawanya ke ruangan yang jauh dari basecamp. Rumah Sean cukup besar dan sepi didukung juga dengan banyak fasilitas kamar kosong. Aku berbincang begitu banyak dengan Kelana.
Hingga aku menyadari, aku lebih tahu segalanya daripada Juan, kekasihnya.
Mungkin di malam itu aku belum merasakan cinta yang benar-benar tulus tapi dengan mengetahui semuanya tentangnya aku mulai menyadari. Kehidupannya ternyata cukup sulit.
“Kau- sejak kapan kau melakukan hal ini?”
“Mungkin ini sudah tahun keduaku melakukan hal-hal yang menjijikkan ini,” Kelana menundukkan kepala dan masih menangis.
Ku pegang dagunya, menaikkan kepalanya agar tetap percaya diri, “Kau tak perlu malu, jadilah dirimu sendiri di depanku,” aku memberikannya senyuman.
Aku sendiri merasa berbeda di malam itu, seolah menjadi seseorang yang lebih dewasa. Aku mencoba mencairkan suasana.
Aku mencoba menelepon nomornya di depanku. Teleponnya berbunyi, “Lihat! Kau belum menyimpan nomorku,” ujarku sambil merebut ponselnya dan membiarkan diri untuk menyimpan sendiri nomorku di ponselnya dengan nama ‘my prince’.
“Hehe, kau milikku malam ini,” ujarku becanda, namun sedikit mengintimidasinya.
Terlihat di sebuah aplikasi chatting miliknya. Nama kontak ‘Juan’ adalah orang yang disematkan paling atas.
“Kau tahu aku cemburu,” ujarku.
Menurutnya aku tak terlihat seperti Gaung yang selama ini mengejarnya. Kalau boleh jujur pun aku sebenarnya kecewa dengannya.
“Apa kau juga seperti ini?” Tanya Kelana balik.
“Maksudnya?”
“Suka memesan gadis-gadis lain untuk pemuas nafsumu?”
“Emmm kelihatannya seperti apa?”
“Sedari tadi kau belum menyentuhku, tapi yang ada kau seperti memenjarakanku dengan obrolan anehmu,”
Aku terdiam, dan masih berpikir.
“Apa kau sebenarnya seagresif ini?”
Kelana tak bisa menjawab, ia kembali menundukkan wajahnya.
Suasana semakin gerah, ku lepas kaos hitamku. Itu adalah kaos edisi spesial dari Prada.
“Kau? Apa yang kau lakukan?” tanyanya.
“AC-nya mati,” aku berbohong.
Aku duduk menjauh darinya, sambil sibuk dengan rokok elektrik ku. Pandanganku tentangnya ternyata benar-benar salah. Malam itu dia benar-benar bersinar, wanita yang manis dan juga seksi. “Bodoh!” ujarku lirih
“Apa kau bilang?” ia salah paham, seolah aku mengoloknya.
Dia mendekatiku dan menamparku.
Aku hanya tertawa dengis, “Ku bilang kau salah paham, apa kau ingat, ini adalah tamparanmu yang ke tujuh kalau tidak salah. Apa aku terlihat sebrengsek itu?”
Kelana menatapku dengan pikiran kosong. Ia tersimpuh jatuh, merasa bahwa harga dirinya habis hanya untukku.
Aku mencoba membantunya untuk berdiri, ku usap air matanya yang masih mengalir.
Sial, dia mengecup bibirku untuk pertama kalinya.
Aku merasa tak bisa menguasai diriku, dalam hati ku berkata, “Bukankah ini hal-hal yang aku tunggu-tunggu?” tanyaku pada diriku sendiri.
Ciuman itu semakin mendalam, dia kini adalah nahkodanya. Aku mengikuti ritme permainannya, hingga ia mencoba untuk mengarahkan tanganku ke dadanya.
"Tunggu!” aku menahan. “Apa kau serius?” tanyaku.
Kelana hanya mengangguk, tentu saja sisi brengsek ku tak boleh melewatkan kesempatan emas ini. Malam itu kita saling menyatu, cinta satu malam yang benar-benar di luar pikiranku.
Aku benar-benar melakukan hal itu dengan gadis yang selama ini ku kejar dan selalu jual mahal. Gadis yang memiliki kekasih, aku merebutnya.
Kita cukup tenggelam dalam perasaan masing-masing, jujur saja aku senang di saat dia benar-benar membuatku puas. Tak disangka-sangka bahwa semuanya berjalan semudah ini.
Hingga Sean mengetuk pintu kamar dimana kita berdua bercumbu.
“Sudah selesai? Yok berangkat clubbing,” tanyanya dengan polos.