Perlahan-lahan kelopak mata Akira mulai terbuka, pandangannya masih buram. Hanya ruangan berwarna putih serta aroma khas obat, ini tidak asing, Akira sudah pernah memasuki tempat ini berulang kali.
Dia masih bisa mengingat jelas, apa alasan dirinya sampai berada di tempat ini sekarang. Semalam, sewaktu Akira hendak meminum obat, tiba-tiba saja perutnya sakit seperti diikat sangat kencang, punggungnya juga nyeri bahkan menjalar hingga sela-sela tulang.
Akira kehilangan kesadaran, itulah sebabnya dia berada di rumah sakit sekarang.
"Akira sayang, akhirnya kamu sudah sadar," cemas Nyonya Nala yang duduk di samping kasur pasien, rasanya batu besar yang membebani punggungnya sudah hilang ketika melihat Akira siuman.
Nyonya Nala memeluk singkat tubuh Akira, gadis itu bisa merasakan kalau wanita tersebut benar-benar mencemaskan kondisinya. "Aku baik-baik aja kok Ma," balas Akira tersenyum lemah.
"Kamu selalu bilang begitu, lain kali jangan seperti ini lagi ya Akira, dokter sendiri yang bilang kalau tubuh kamu kelelahan. Jangan dipendam semuanya sendiri nak, siapa tahu Mama bisa bantu," ujar Nyonya Nala.
"Iya, makasih ya Ma. Tapi Akira beneran baik-baik aja kok, Mama nggak perlu khawatir." Nyonya Nala membuang napas panjang, anak perempuannya itu memang tidak pernah berubah. Terkadang ia dibuat bangga, tapi di sisi lain juga menyayangkan sikap Akira yang kurang terbuka.
Tok tok tok!
Terdengar suara ketukan pintu yang mengundang perhatian mereka berdua, Nyonya Nala menghampiri pintu tersebut dan membukanya.
"Astaga Genandra, saya pikir siapa, ternyata kamu," sambut Nyonya Nala di depan pintu, sebuah nama yang begitu familiar di telinga Akira, tubuhnya sedikit menegang setelah mengetahui kalau orang itu adalah Genandra. Akira selalu senang jika bertemu dengannya, tapi tidak untuk sekarang.
"Iya Tante, bagaimana kondisi Akira sekarang Tan? Apa dia belum bangun?" tanya Genandra, juga membawa sebuah kantong plastik berisi makanan kesukaan Akira.
"Sudah kok, baru aja. Yuk masuk dulu, dia ada di dalam," balas Nyonya Nala, mempersilahkan Genandra untuk masuk ke dalam kamar pasien tempat Akira di rawat.
Sesampainya di dalam, mata mereka saling bertemu, menciptakan ruang dimensi tersendiri yang membuat keduanya saling terpaku dalam diam. Rasanya, seperti sudah sekian lama mereka tidak berjumpa, Akira lalu memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya, dia tak mau semakin tenggelam dalam tatapan Genandra.
"Kalian berdua ngobrol dulu aja, Mama mau pergi keluar sebentar," ucap Nyonya Nala tanpa menunggu jawaban dari Akira, langsung bergegas keluar kamar dan menutup pintu.
"Mama! Di sini aja temenin Akira!" teriak Akira sudah terlambat, wanita itu memang sengaja melakukan hal ini kepada mereka.
Setelah keluarnya Nyonya Nala dari ruangan, suasana canggung semakin terasa di antara keduanya. Padahal biasanya, mereka dapat memulai pembicaraan tanpa ada keraguan, mungkin ini akibat dari perkataan Nyonya Saras kemarin sehingga membuat Akira merasa aneh seperti ini.
"Kenapa panggil Mama lo? Emang gue belum cukup?" tanya Genandra mengambil beberapa langkah menghampiri Akira, lalu duduk di sebuah kursi samping kasur pasien.
Akira tidak menjawab pertanyaan dari Genandra, ia malah mengambil sebuah majalah dan membacanya.
"Ra, apa majalah itu jauh lebih menarik daripada kedatangan gue ke sini?" ujar Genandra sedikit kesal, namun tetap didiamkan saja oleh perempuan itu.
"Ra!" Genandra yang tidak tahan dengan sikap acuh Akira, langsung mengambil begitu saja majalah tersebut dari tangannya. Ia mau perhatian Akira hanya tertuju kepada dirinya, bukan ke objek lain.
"Balikin gak!" sebal Akira namun tidak dikabulkan oleh Genandra, dan malah melemparnya ke arah meja belakang dekat sofa.
"Ra, gue ada di sini, jadi tolong hargai gue," pinta Genandra, ini tidak seperti sikap Akira yang biasanya. Gadis itu selalu menerima dirinya dengan tangan terbuka, tetapi kenapa sekarang berbeda?
"Iya, makasih," balas Akira dingin.
Genandra menghela napas, dia sedang sakit jadi wajar saja kalau sifatnya menjadi seperti ini. "Gue bawakan makanan kesukaan lo, gue yakin lo pasti suka," ujar Genandra membawakan nasi goreng favorit Akira, dia tahu setiap kali anak itu memakannya, mood nya kembali membaik.
"Gue udah kenyang," jawabnya membuang muka, kalau boleh jujur, Akira belum memakan apapun sampai sekarang, melihat Genandra membawakan nasi goreng favoritnya itu semakin membuat lambung dalam perutnya meronta kelaparan. Tapi apa yang dapat Akira perbuat, menerima makanan itu dan mengucapkan terima kasih kepada Genandra?
Laki-laki itu tampak tidak perduli, Genandra mengambilkan sesendok nasi dan disodorkan pada mulut Akira. "Ck, gue bilang udah kenyang," sebal Akira, berlawanan dengan mulutnya yang malah melahap satu suapan dari Genandra. Baiklah, godaan ini terlalu lezat untuk ditolak.
"Nggak mau tapi tetep dimakan," ucap Genandra tersenyum, gadisnya itu memang menggemaskan.
"Terpaksa," balas Akira tidak mau mengakui perasaannya.
Suapan demi suapan, akhirnya seporsi nasi goreng itu sudah habis dilahap bersih oleh Akira. Genandra tersenyum lucu, ketika mengingat kalau tadi ada anak yang menolak makanan pemberiannya. "Ini yang katanya kenyang?" goda Genandra membuang kotak styrofoam itu ke dalam tong sampah.
"Hm, gue cuman kasihan aja kok, kata Mama gue nggak boleh mubasir jadi orang," gengsi Akira lalu meminum sebotol air mineral.
"Iya deh, yang penting cewek gue seneng," balas Genandra terlalu malas memulai perdebatan, ia tak mau menyia-nyiakan waktu mereka hanya untuk mempermasalahkan hal sepele.
"Apa dia beneran sudah punya calon tunangan? Terus kenapa dia datang ke sini bukannya sama Bella," batin Akira teringat kembali perkataan Nyonya Saras.
"Hahaha, sepupu? Apa Genandra yang mengatakannya kepadamu?"
"Dia bukan sepupunya, Akira. Bella adalah calon tunangan dari Genandra, mereka akan menikah nantinya." Seperti kaset berputar, kata-kata Nyonya Saras terekam jelas dalam ingatannya. Dia mau membuktikan, apakah ini benar atau tidak.
"Oh ya Gen, hari ini emang sekolah pulang cepet ya? Ada acara apa?" tanya Akira melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Genandra diam seraya menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, Akira paham ekspresi itu. "Lo bolos? Ngapain lo pakai acara bolos segala hah?!" kesal Akira mencubit gemas kedua pipi Genandra.
Si empu mengerang kesakitan, tapi juga ada rasa suka secara bersamaan. "Gue masuk kok, gue datang ke sini juga dapat izin dari sekolah. Gue nggak bolos," balas Genandra memegang kedua pipinya yang terasa panas.
"Huh, awas aja sampai diulangi lagi, gue pastiin pipi lo copot!"
"Haha, kalau pipi gue copot, lo nggak punya mainan squishy lagi dong," balas Genandra malah menikmati kemarahan Akira.
"Tapi, emang sepupu lo nggak masalah kalau lo tinggalin dia sendiri di sekolah?" ucap Akira.
"Sepupu?" ulang Genandra dengan kening berkerut.
"Iya sepupu lo, lo punya sepupu kan di sekolah, Bella?" jelas Akira mulai curiga, mereka sepupu kan? Dia tidak perlu mengulanginya dua kali untuk membuat Genandra paham.
Akira menyadari perubahan sorot mata Genandra yang sempat berubah, pada saat dia menyebut nama Bella. "Jadi itu benar," batin Akira tersenyum miris.
"Hm ya, oh ya gue sampai lupa, gue juga bawa coklat kesukaan lo lho, mau dimakan sekarang?" ucap Genandra tiba-tiba merubah topik pembicaraan. Hal ini membuat Akira kecewa, cara bagaimana Genandra menolak untuk membahas lebih jauh soal Bella semakin memperkuat dugaan dirinya, kalau perkataan Nyonya Saras memang benar.
"Lo bisa balik ke sekolah sekarang," ucap Akira dingin.
"Apa? Tapi kenapa? Gue masih sebentar di sini Ra, gue masih mau ngobrol banyak sama lo," balas Genandra.
"Bella.... dia pasti butuh lo sekarang, lo nggak bisa meninggalkan murid baru di sekolah seenaknya Genan, apalagi dia sepupu lo, kan?" ujar Akira seraya meremas selimut yang membalut separuh tubuhnya.
"Dia sudah besar, gue nggak perlu jagain dia macam anak kecil."
"Tapi bagaimana kalau sekarang gue bilang, gue sakit? Apa lo mau pergi?" tanya Akira sembari menatap wajah Genandra.
"Ra, sebenarnya lo kenapa sih?" bingung Genandra dengan perubahan sikap yang tiba-tiba.
"Gue mau istirahat, jadi tolong tinggalkan gue sendiri," pinta Akira lalu merebahkan tubuhnya, dengan posisi membelakangi laki-laki tersebut.
"Oke, kalau itu mau lo. Gue tinggalkan makanannya di sini, gue pergi dulu," balas Genandra merasa kecewa, ia juga sempat melihat bola mata Akira berkaca-kaca. Sengaja Genandra sedikit melambatkan langkah kakinya, berharap gadis itu akan berubah pikiran.
Ternyata tidak, Akira tetap saja diam dan tidak berusaha menghentikan dirinya. Ketika mendengar suara pintu tertutup, disaat itulah tangisan Akira pecah. "Kebaikan lo bikin gue buta, lo menjalin hubungan bersama gue sedangkan lo sudah punya calon tunangan, dan bahkan dia satu sekolah sama kita," tangis Akira tak tertahankan.
"Gue kecewa, Genandra."