"Kita pasti bersama, iya kan?"
********
Di kediaman Genandra.
"Nggak Bunda!" tolak keras Genandra kepada seorang wanita yang tengah duduk santai di sofa ruang tamu, dengan kaki kiri menumpangi kaki kanannya. Ekspresi dingin yang Nyonya Saras buat, semakin memantik kekesalan Genandra.
"Bunda tidak mau tahu, besok pagi kamu harus menjemput Bella anak Pak Jordan di rumahnya," acuh Nyonya Saras—Bunda Genandra, sama sekali tidak perduli dengan perasaan putranya. Mereka berasal dari keluarga terpandang, itu sebabnya Genandra harus bisa mempertanggung jawabkan marga yang ia bawa.
"Pertemuan ini akan membuat kalian berdua dekat dan saling mengenal satu sama lain," sambungnya, mendengar decakan kesal dari Genandra.
"Ck, tapi bukankah aku sudah mengatakannya Bunda? Kalau aku sama sekali tidak menyukai anak Pak Jordan. Aku sudah punya perempuan pilihan Genandra sendiri Bun," tegas laki-laki tersebut berusaha untuk menyakinkan.
"Tidak! Status dia berbeda dari keluarga kita Genan, walaupun dia berasal dari keluarga berkecukupan tetapi tidak memiliki marga. Dia hanya kaya, tapi kau punya status yang lebih terpandang," ucap Nyonya Saras.
"Hah, kau seharusnya mengerti apa posisi keluarga mu saat ini. Dibandingkan Akira, Bella jauh lebih unggul dari segi manapun. Anak itu menghabiskan pendidikan menengah pertamanya di London dan keluar sebagai lulusan terbaik. Memiliki banyak kemampuan dan juga cantik."
Di sepanjang Nyonya Saras menceritakan semua kelebihan Bella, Genandra menatap malas sembari sesekali memutar bola matanya. Topik ini tidak menarik sama sekali, sangat membosankan.
"Genan! Apa kau mendengarkan apa yang baru saja Bunda mu katakan?" kesal Nyonya Saras, kenapa putranya bisa menjadi seacuh ini kepada dirinya.
"Hah, kalau saja Neon lahir lebih dulu mungkin dia akan mau menuruti semua perkataan ku. Dia lebih mudah diatur daripada dirimu," hela Nyonya Saras memijat keningnya lelah.
"Hm, kalau begitu jodohkan saja Neon dengan perempuan itu, biarkan aku hidup bahagia bersama Akira," sahut Genandra membuat tatapan Nyonya Saras terbelalak.
"Kalau memiliki marga terkenal hanya menjadi penghalang antara aku dan dia, akan lebih baik aku lahir dari keluarga biasa," sambungnya lalu berbalik badan, melangkahkan kaki meninggalkan Nyonya Saras.
"Genandra! Bunda belum selesai bicara!" teriak Nyonya Saras namun tidak digubris sama sekali, kemarahan wanita itu memuncak lalu membanting secangkir tehnya ke lantai.
Pyar!
"Cih, aku tidak pernah menyangka, putra yang aku besarkan selama ini sampai melawan, hanya untuk membela perempuan rendahan seperti dia," marah Nyonya Saras menatap tajam ke arah genangan air teh pada keramik lantai.
"Aku tidak akan membiarkan status keluarga ini hancur, perjodohan ini harus tetap terjadi. Apapun akan aku lakukan, kalau perlu aku bisa menyingkirkan Akira dari Genandra untuk selamanya," tekad Nyonya Saras mengepalkan tangannya kuat-kuat.
*******
Keesokan paginya, terlihat Genandra berjalan menuruni anak tangga dengan tas ransel yang mengalung di bahu kanannya. Ada yang berbeda hari ini, Nyonya Saras belum berangkat mengajar. Wanita itu malah sedang bersantai di ruang tengah sembari membaca majalah.
"Bunda kok belum berangkat?" tanya Genandra menatap heran.
Melihat kedatangan putra sulungnya itu, Nyonya Saras menutup buku majalah tersebut dan memfokuskan perhatiannya kepada Genandra. "Bunda sengaja ambil libur," balas Nyonya Saras.
"Sengaja ambil libur? Bunda sakit?"
"Nggak, Bunda mau pastikan kalau kamu tidak lupa dengan perkataan saya tadi malam," ujar Nyonya Saras kembali mengingatkan dirinya, soal perdebatan mereka kemarin malam.
Alis Genandra saling bertaut kesal, "tidak Bunda, kenapa Bunda terus-terusan memaksa Genan? Biar aku memilih pilihan ku sendiri Bunda," jawab Genandra, Bundanya itu memang keras kepala.
"Cih, Bunda tahu kau akan menjawab seperti ini," ucap Nyonya Saras lalu tak disangka-sangka mengeluarkan sebuah pisau dapur dari belakang tubuhnya.
"Jika kau tidak menerima perjodohan ini, maka kau akan menyaksikan Bunda mu mati sekarang juga," Nyonya Saras mengarahkan bagian sisi tajam pisau tersebut, ke arah pergelangan tangan kirinya.
"Bunda... Bunda pasti bercanda kan? Bunda cuman menggertak," balas Genandra menelan ludah.
"Huh, bercanda?" senyum Nyonya Saras lalu tanpa pikir panjang langsung menyayat pergelangan tangannya sendiri.
Sret!
"BUNDA!" teriak Genandra histeris, dengan cepat merebut benda tajam tersebut dan membuangnya jauh-jauh. "APA BUNDA SUDAH GILA!" marah Genandra memegang tangan sang Bunda yang sudah berlumur darah.
"BIBI INA! PAK MAT! TOLONG BAWAKAN OBAT MERAH!" dua manusia yang baru saja dipanggil oleh Genandra dengan cepat-cepat berlari ke arah sumber suara, membawa kotak p3k. Mereka dibuat terkejut melihat kondisi Nyonya Saras.
"Astaghfirullah, apa yang sudah terjadi Tuan muda?" kaget Bi Ina lekas mengobati luka di pergelangan tangan majikannya.
"Biar saya buatkan teh hangat sebentar," sahut Pak Mat bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan minuman.
"Bunda, Bunda... hiks, kenapa Bunda sampai melakukan sejauh ini," tangis Genandra menundukkan kepalanya di samping paha Nyonya Saras, ia bisa merasakan belaian tangan dari wanita itu.
"Jika kau mau menuruti kemauan Bunda, Bunda berjanji akan berhenti sampai di sini saja. Kalau kau membantah, kau pasti tahu apa yang akan terjadi selanjutnya?" ucap Nyonya Saras tersenyum lemah.
Benci, Genandra sangat membenci senyuman itu sekarang. "Jemput Bella sekarang, dia pasti sudah menunggu mu, dan jangan lupa perlakukan dia dengan baik karena kalian akan menikah nantinya."
"Baik... Bunda," balas Genandra mengeraskan rahangnya, dia tidak memiliki jawaban lain selain iya.
"Tenang aja Akira, gue nggak akan biarkan perjodohan ini sampai terjadi. Hati gue cuman buat lo, cinta gue hanya lo," batin Genandra.