"Woy turun!" suara teriakan melengking yang sudah Raya hafal di luar kepala itu membuat kepala gadis itu refleks menengok ke bawah. "Eh, sini naik!"
Siska mengangkat sebelah tangannya untuk kemudian dia tunjuk ke sisi kiri tubuhnya. Tiba-tiba ada wajah Reza dan Rosul yang tersenyum pada Raya.
"Hai, Teh."
"Hai, Kak."
Kedua cowok itu menyapa sambil melambaikan tangan.
"Turun, Kak. Ya elah, buruan katanya mau ngambil kue ulang tahun?"
"Iye iye ah."
Raya turun dari rumah pohon dan melompat ke hadapan Siska. Kemudian entah dari mana tiba-tiba Rena dan Restu menyembul dari belakang ketiga manusia itu sambil membawa banyak kantung plastik. "Apaan tuh? makanan ya?" tebaknya.
Rena mendengus. "Dih, makan mulu pikiran lo. Ini balon-balon sama kertas warna-warni yang buat hiasan orang ultah gitu lho Kak, sorry gue nggak tahu namanya apa."
"Yaudah, kalian hias-hias di sini terus gue sama Siska yang ambil kue ya."
"Sip," ujar Restu sambil mengacungkan ibu jarinya.
"Teman gue yang kemarin juga mau dateng, boleh, kan?" tanya Reza.
"Oke," jawab mereka berempat.
"Yaudah, gue sama Siska pamit dulu ya. Bye..."
Siska melambai-lambai ke arah Reza.
"Hias yang bener lo."
"Iya bebep."
Dipanggil begitu Siska hanya tersenyum lebar hingga matanya yang sipit membentuk bulan. Kemudian Raya menarik lengan gadis itu untuk segera pergi dari sana, sebab kalau didiamkan saja Siska tidak akan pergi dari Reza.
Keduanya pergi mengambil kue pesanan untuk ulang tahun Amel dengan menaiki motor Restu. Sebenarnya Raya bisa saja pakai motornya sendiri, tetapi karena motor Restu lebih cepat dijangkau, jadi dia meminjamnya. Motor Restu bentukan vespa gitu, lucu.
Tidak butuh waktu lama untuk kembali, Raya dan Siska hanya menggunakan waktu lima belas menit untuk kembali ke rumah pohon yang ternyata sudah terhias dengan cantik. Balon berwarna-warni disisipkan di sisi pohon hingga naik ke atas, membuat suasana menjadi ramai.
Siska turun dari motor dengan tatapan takjub lalu berjalan menghampiri Restu dan Rena yang asik menghias meja. Untung saja Amel sudah diamankan oleh Nita.
"Wih.. udah banyak banget balon. Siapa yang tiup?" tanya Siska.
Rena terkekeh sambil menunjuk ke arah tangga di batang pohon. "Tuh cowok lo."
"Reza hahaha... semangat semangat!"
Reza mengangkat tangan saat Siska menyemangatinya. Laki-laki itu ternyata meniup balon-balon bersama Rosul dan Alan—anak baru itu sudah datang mungkin saat Raya sedang pergi dengan Siska.
"Eh, lilinnya sini gue yang pasang aja." Raya berlari kecil menghampiri meja yang dihias Rena dan Restu kemudian mengambil lilin angka untuk ditusuk di atas kue tart.
"Ren, hubungin Nita buruan ke sini. Kita, kan, udah selesai ngehias."
"Oke, oke."
Raya tersenyum bangga setelah lilin angka terpasang apik di atas kuenya. Saat gadis itu hendak merapihkan meja, matanya menangkap banyak permen di sebelah piring kertas. "Wah banyak permen, dari mana?"
Raya meraih satu dan membuka pembungkusnya. Dia memasukkannya ke dalam mulut saat Rena hendak membuka suaranya. "Dari Alan, buat lo katanya."
"Buat kita semua kali," elak Siska, Raya juga setuju, jadi mengangguk.
***
Duar!
"Happy birthday, Meldong!!"
"Selamat ulang tahun, sahabat goblok gue!!"
"Saengil chukkae, hehe."
Bibir Amel bergetar seolah-olah dia hendak menangis, padahal aslinya hanya pencitraan. Ia memejamkan matanya sejenak kemudian meraupkan kedua telapak tangan ke wajahnya sambil bergumam 'Amin' dalam hati.
"Aaaaaa terima kasih kaliaaaaan!!"
"Sumpah ini kejutan paling menyenangkan. Karena gue bisa rayain bareng kalian. Nggak kayak dulu, yang apa-apa cuma bertiga doang. Sekarang ada Rena sama Nita, dan kalian para cowok juga. Thanks ya, ini gue terharu tapi nggak bisa nangis, sorry."
Siska merentangkan tangan, menarik Amel dalam pelukan dan mengusak surai panjang sepupunya itu. "Lo udah gede, jangan suka ngambek lagi. Semoga lo tetap jadi Meldong yang sayang sama gue."
Amel memeluk Siska lebih erat, "Iya Ngek, makasih." Ngengek panggilan Amel untuk Siska, dan Meldong itu panggilan Siska untuk Amel.
"Buruan potong kue, guys. Gue lapar!" teriak Nita.
"Eh jangan dipotong dulu, kan, kita belum foto," sahut Raya.
"Oh iya bener, hayu foto!" pekik Rena.
Sebagai persiapan awal, Siska sudah membawa tripod dan kamera SLR miliknya. Gadis itu sibuk mengatur lensa sedangkan yang lainnya sudah berbaris di belakang meja dengan Amel yang berada di tengah. Di sisi kiri ada Nita, Raya, Rosul dan Alan. Lalu di sisi kanannya ada Rena, Restu, dan Reza yang telah mengosongkan posisi di depannya untuk Siska.
"Buruan, Beb." Siska mengangguk dan berlari menempati posisinya. "Semuanya ayo ciiisss."
"Ciiis!"
Cekrek!
Diam-diam Raya mengedipkan mata pada Nita untuk mencolek cream dari kue. Menurut gadis itu pesta ulang tahun kurang lengkap tanpa membuat peran utamanya kotor, right?
"HBD, Mel."
"Aaa Nita, apa-apaan lo ih!"
Sementara yang telah mengotori pipi Amel telah berlarian menghindar. Raya yang tidak ingin kehilangan momen menyenangkan ini pun dengan cepat mencolek cream dan mengotori pipi Amel.
"Kurang aja kalau lo nggak kotor, bro."
Setelah itu Raya berlari menyusul Nita. Amel benar-benar tidak terima, dia bahkan sudah mencolekkan lima jarinya dan mengejar mereka berdua. "Sini lo pada!"
"SISKA TEPUNGNYA MANA, BURUAN KOTORIN AMEL," teriak Nita.
"JANGAN EH!"
Amel masih mengejar Nita yang berlari memutari rumah pohon, sementara di belakangnya sudah ada Siska dan Rena yang membawa tepung dan telur.
Tuk!
Tepat sasaran, Rena melempar telur di kepala Amel dan membuat isinya merambat ke wajah gadis itu. "Iih... jijik!"
Seolah belum selesai sampai di sana, penderitaan Amel bertambah saat Siska menamburkan tepung dari atas kepalanya. "Hahaha... kasian kotor!" ejek Rosul.
"Mel ngadep sini, please... sumpah lo lucu banget sih." Reza dengan sigap mengambil banyak gambar Amel menggunakan kamera Siska.
"Yang, muka aku kotor nggak?" Rena berjalan menghampiri Restu dan merengek karena wajahnya terkena tepung, tadi dia tidak sengaja terkena taburan tepung dari Siska. "Sini aku bersihin pakai tissue."
"Makasih."
"Dasar bucin!" cibir Nita.
Drrt... drrtt...
Perhatian Raya teralihkan saat ponselnya bergetar. Ada panggilan masuk dari ibunya di sana, lalu langsung ia angkat dan menempelkan ponsel itu di telinga kanan. Raya kemudian menepi ke tempat yang agak hening untuk menghindari kebisingan.
“Halo, Mi?”
Terdengar suara kasak-kusuk sesaat sebelum Mimi buka suara. “Kamu di mana? Ini ada teman kamu main ke rumah.”
Kening Raya berkerut dalam. “Teman? Siapa?”
“Nak Rama.”
Saat itu, Raya segera mengakhiri panggilan dan memasukkan ponsel ke dalam saku celana kembali. Namun, baru saja akan melangkah untuk menuju rumahnya, seseorang berteriak keras sekali.
"Ada Renjun!"
"Mana Renjun?" Raya praktis menoleh cepat ke kanan dan kiri untuk mencari Renjun.
"Hahaha.... tapi bohong."
"Ish..." Laki-laki baru itu benar-benar menyebalkan. Bagaimana bisa dia membohongi Raya?
"Rese banget sih lo!"
Tap. Raya melotot tajam karena laki-laki bernama Alan itu sudah membuat pipinya terkena cream kue. "Ih... apaan sih lo, bocah!"
"Kabur!!"
"NITA KEPUNG DIA NIT, KEPUNG!"
"Nggak kena, wleee!!"
"Si Alaaaaan.”
***
Jantung Raya rasanya berdegup kencang sejak pertama kali dia melihat Rama duduk di teras rumahnya bersama Mimi. Gadis itu perlahan-lahan mendekatinya dengan canggung. Mimi pamit ke dalam dan membiarkan dua insan itu mengobrol berdua.
Rama menunjukkan senyum manisnya saat Raya sudah duduk di kursi sebelahnya sambil menyapanya pelan. Laki-laki itu tiba-tiba saja mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Raya. Tepat di detik pertama kala itu Raya berhenti menghirup oksigen karena terlalu gugup mendapati Rama mengusap halus pipinya.
“Maaf, ada cream di pipi lo,” katanya. Raya terkekeh canggung.
Ya Tuhan, ia lupa habis bermain-main bersama teman-temannya tadi. Pasti sekarang wajahnya terlihat sangat kotor.
“Udah lama, Ram? Sorry ya, gue habis ke rumah teman tadi. Lo ada perlu apa ya ke rumah gue?” tanya Raya.
“Maaf juga ya kayaknya gue ganggu—“
“Nggak ganggu kok,” kata si gadis cepat.
Terlihat lengkungan indah dari bibir Rama yang berhasil membekukan waktu di sekitar Raya. “Gue ke sini mau ketemu lo aja sih, sekalian silaturahim. Boleh, kan?”
Tidak ada alasan bagi Raya untuk menolak, maka dia menganggukinya dengan cepat. “Boleh dong.”
“Waktu itu gue ke gramedia dan nemuin salah satu novel karya lo. Gue beli deh, terus gue baca.”
“Terus? Suka sama cerita gue?”
.Rama mengangguk tanpa ragu, membuat si gadis melayang tinggi ke awan sana. “Suka.”
“Syukur deh.”
“Oh iya, Ray nanti mau nggak datang ke pernikahan Alma sama gue?”
“Boleh.”
“Asik nggak sendiri lagi kondangannya.”
Raya tertawa mendengar kalimat Rama tersebut. Dan, obrolan mereka tetap berlanjut membicarakan kabar masing-masing. Kebersamaan yang sangat langka itu membuat Raya sangat senang sekali. Ia larut dalam pembicaraan di sore yang sedikit mendung itu.