Pagi hari terasa hadir sangat cepat bagi Gio. Tidaklah ia sempat tidur semalam, namun bagaskara telah memancarkan sinar yang mengharuskan Gio berjalan kaki ke sekolah. Ia tak diantar oleh Arga lantaran lelaki itu tertidur satu jam sebelum Gio berangkat. Tiada keinginan untuk Gio membangungkannya sebab ia tak ingin merepotkannya.
Kantin menjadi tempat tujuan Gio usai meletakkan tas di kelas. Cowok itu lekas sarapan usai pesanannya datang. Tak butuh waktu lama untuk Gio menghabiskan makanannya. Tak ada yang tahu, sepasang mata Gio telah memerah sejak tadi. Sebab rasa kantuk yang cukup berat telah menyelimutinya. Cowok itu menidurkan diri di bangku kelasnya.
"Jam pertama akan dimulai dalam sepuluh menit." Seluruh siswa-siswi SMP 02 Pancasila berhamburan menuju depan kelas masing-masing usai mendengar itu. Tak terkecuali dengan Mita dan Kenzie yang selalu bersama kala di sekolah. Siswa-siswi 9D telah berdiri tegak di depan kelas, kecuali Gio. Tiada yang tahu bahwa cowok itu tengah tertidur lelap di bangkunya. Kenzie yang masuk kelas pertama kali yang mendapati keberadaan Gio. Cowok itu hanya menggeleng lalu duduk di sampingnya.
"Selamat pagi anak-anak!" sapa Tira, wali kelas 9D yang merupakan guru seni budaya.
"Selamat pagi bu!" jawab anak didiknya serempak dengan tangan yang terlipat di meja.
"Sebelum kita memulai pelajaran, alangkah baiknya kita berdo'a dulu. Berdo'a mulai!" Seluruh insan di kelas itu tampak menunduk dengan mata terpejam guna memfokuskan diri pada Sang Pencipta. "Berdoa selesai."
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab siswa-siswi 9D yang kini menatap Tira dengan serius.
"Sudah siap belajar?" tanya Tira. Wanita berumur 22 tahun itu tersenyum ceria dengan menampakkan gigi gingsulnya.
"Siap Bu," jawab siswa-siswi serempak, kecuali Gio yang berada di alam mimpi.
"Oke.. Sebelum belajar, Ibu mau mengumumkan bahwa satu Minggu lagi akan ada ulangan akhir semester, Ibu mohon pada kalian semua untuk belajar dengan sungguh-sungguh, karena nilai kalian akan berguna untuk mendaftar ke sekolah yang lebih tinggi. Jadi, diusahakan yang maksimal ya!" ucap Tira.
"Iya Bu."
Tira melepas pandang pada seluruh sudut kelas itu. Pandangannya menelisik meja-meja dan beberapa siswa di sana. Netranya tak sengaja menangkap Gio yang tertidur pulas. "Itu siapa yang tidur?" tanya Tira lantas menghampiri sesuatu yang dilihatnya. Semua teman sekelas Gio pun menatap cowok itu.
"Gio Bu!" jawab Fisa.
"Gio... Bangun Nak, Gio!" Tira menepuk pelan pipi Gio. "Gio.. Bangun!" Perlahan namun pasti, Gio membuka matanya yang tampak kemerahan. "Mengapa kamu mengantuk?"
Gio mengangkat kepala usai mendengar pertanyaan Tira. "Saya belum tidur!" jawab Gio pelan.
"Bagaimana? Apa kamu tidak tidur semalam?" Gio mengangguki pertanyaan wali kelasnya tersebut. "Kenapa nggak tidur?"
"Ada kepentingan Bu!" alibi Gio kembali menggeletakkan kepala di meja.
Tira berbalik badan sembari berkata, "anak-anak. Sesibuk apapun kalian, harus tetap tidur malam, karena itu penting. Kalau tidak tidur malam, akan mengantuk saat sekolah. Seperti Gio itu!" Tira kembali ke kursinya.
"Huuuuuuuuuuu!" teriak para siswa 9D yang tertuju pada Gio. Cowok itu hanya abai lantaran rasa kantuk masih menyelimutinya.
"Gio. Kamu dilarang tidur, ikuti pelajaran Ibu hari ini!" pinta Tira. Gio pun menormalkan duduknya. Meski dengan mata merah dan rasa malas yang membuncah, Gio tetap berusaha kuat mengikuti pelajaran seni budaya yang hendak dimulai.
*****
BAkhirnya, rasa kantuk Gio dapat hilang kala istirahat tiba. Ia hendak melaksanakan inisiatifnya yang masih menjadi rahasia. Cowok itu menghampiri Lica di kelas sebelah.
Lica yang mendapati keberadaan Gio pun sontak tersenyum lebar sembari mendekat. "Sayangku, ada apa sayang?" tanya Lica memandang Gio yang bola matanya tertuju pada dinding kelas. Ya, cowok itu malas menatap kekasihnya. Berbeda dengan Lica yang sangat suka menatapnya sebab cewek itu ingin terlihat romantis dengan Gio di hadapan kedua sahabatnya. "Biarkan mereka iri." Begitu pikir Lica.
"Aku mau ke rumahmu hari ini! Ku harap kamu ada di rumah!" ucap Gio beralih menatap lantai.
"Waahhh.. Beneran Sayang?" tanya Lica dengan ceria. Tiada mengangka cowok itu dapat berkeinginan untuk mendatangi rumahnya. "Aaaavvvv... Aku tunggu ya Say!" Lica menangkup pipi Gio yang berekspresi malas.
"Aku pergi dulu!" pamit Gio. Lica menjauhkan tangan dari wajah Gio yang lantas berbalik badan dan berjalan keluar.
"Babay Sayang!" Lica sedikit menaikkan suranya. Banyak harapan baik yang terpasang di benaknya. Lica tersenyum lebar membayangkan harapannya yang mungkin terwujud.
"Wiihh... Mau ada apa nih?" tanya Keisya antusias.
"Emm.. Biasa... Mau main aja," jawab Lica asal. Sebab ia sendiri belum tahu tujuan Gio yang sebenarnya.
"Owh... Mau pacaran!" sindir Sanci menaikkan alis.
"Iya dong!" jawab Lica tersenyum smirk sembari mengibaskan rambut.
"Hem.. Iya deh si paling punya pacar!" respon Keisya.
"Hehehehe."
๐น๐น๐น
Di kantin sekolah, tampak dua gelas es jeruk yang tersaji di meja hadapan Mita dan Kenzie. Sepasang kekasih itu asik mengobrol dengan sesekali menyeruput minuman itu. "Sayang," panggil Mita menatap Kenzie yang spontan membalasnya.
"Iya?"
"Apa hari ini kamu bisa ke rumahku?" tanya Mita sedikit ragu. Penuh harapan di benak Mita untuk Kenzie mengiyakan pertanyaannya. Namun di sisi lain, terselip sebuah kecemasan di benaknya. Mengingat yang meminta Kenzie datang ke kediamannya adalah Lani, Mita cemas jika wanita itu mengapresiasi buruk tentang hubungan mereka.
"Bisalah Say," jawab Kenzie.
"Malam ini kamu ke rumahku ya!" pinta Mita merendahkan suara guna menepis rasa gerogi untuk mengutarakan permintaan.
"Oke Say!" Kenzie sangat senang dengan pinta Mita tersebut. Besar harapannya untuk dapat mengobrol dengan orang tua Mita agar dapat menjalin hubungan yang jauh lebih baik. Alangkah indahnya jika harapan itu terwujud. Kenzie tersenyum sendiri membayangkannya.
"Sayang. Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Mita yang sedari tadi memperhatikan sang kekasih.
"Em... Nggak papa Say!" alibi Kenzie tersipu malu.
"Halah... Ayo ngaku!" rengek Mita menyentuh dagu Kenzie.
"Aku lagi ngebayangin kalau aku bisa menjalin hubungan baik dengan orang tua kamu, supaya hubungan kita juga jauh lebih baik!" jawab Kenzie tersenyum ceria.
"Yah.. Semoga aja!" Mita menghela napas, berusaha mengusir prasangka negatifnya.
Dua remaja itu segera menghabiskan es jeruknya bersama. Hanya bel sekolah yang dapat menggerakkan hati mereka untuk kembali ke kelas.
๐น๐น๐น
"Sayang... Bangun Say!" Lica menepuk pelan bahu Gio yang tertidur pulas di bangku taman. Lica tak sengaja mendapatinya kala berlalu di sana. Beruntung, ia sendiri, tak bersama Sanci dan Keisya. Andaikan begitu, mungkin ia malu. Mendapati kekasihnya bak anak jalanan yang tertidur di taman. "Gio Sayangku, bangun!"
Gio membuka mata. Netranya menangkap birunya langit dengan tiupan angin segar yang membelai kulitnya. Cowok itu mengubah posisi duduk. Rambutnya yang berantakan mendorong keinginannya untuk merapikan. "Ini sudah masuk jam pelajaran, segeralah kembali ke kelas!" pinta Lica dilaksanakan Gio yang langsung berjalan ke kelasnya. "Tunggu dulu Say!"
Meski, tak menjawab, Gio tetap menghentikan langkah guna menuruti cewek itu. Lica pun menggenggam tangan Gio dan mengajaknya berjalan bersama.
******
Beberapa jam kemudian. Matahari yang telah berada di barat tak lelah menyinari para insan. Tanpa terkecuali seorang Gio Antaraska yang kini berdiri di hadapan rumah yang cukup besar. Tangan kanannya menggenggam handphone dengan jemari yang menari di atasnya. Deretan tulisan yang tampak di bagian bawah layarnya mengeluarkan bunyi acap kali mendapat tekanan dari jari Gio. Cowok itu tengah mengirim pesan untuk Lica usai mengetiknya.
Gio : Aku udah di depan rumah kamu. Lekaslah buka gerbang ini!
Dua centang biru telah tampak di bawah kotak pesan itu. Lica telah membaca pesan dari Gio meski tak membalasnya. Gadis itu tengah berjalan menuju gerbang rumah yang lantas ia buka kala tiba di sana. Didapatinya keberadaan Gio yang berdiri sembari menunduk di hadapannya. Cowok itu mengenakan hoddie hitam yang menutup kepalanya. "Sayang, ayo masuk!" ajak Lica menarik tangan Gio yang mengikutinya. Dua remaja itu berhenti melangkah kala tiba di ruang tamu. Sofa yang semula kosong pun terisi oleh mereka. "Aku seneng banget, akhirnya kamu berkunjung ke rumahku!" ungkap Lica menggenggam tangan Gio di sampingnya. Jujur, Gio merasa tidak nyaman dengan perlakuan Lica. Namun, ia pun malas bersuara untuk Lica tanpa kepentingan.
"Di mana Ibumu?" tanya Gio dengan nada dinginnya.
"Tumben sekali anak ini menanyakan Ibuku. Mau ngapain?" batin Lica merasa aneh. Kecemasan kecil mulai hadir di benaknya. Sebuah pertanyaan pun terselip di dalamnya. Ada apa ini? "Kenapa kamu mencari Ibuku?" tanya Lica melepas tangan Gio dari genggamannya.
"Aku mau ketemu!" jawab Gio tetap dengan suara dinginnya. Dengan rasa cemas dan takut, Lica beranjak dari sofa lalu berjalan guna memanggil Mina.
"Ibu... Dicari Gio!" teriak Lica terus melangkah.
"Ibu masih di dapur!" jawab Mina dari tempat tersebut.
"Tolong segera ke ruang tamu!" pinta Lica tak sampai ke dapur. Ia kembali duduk dengan sang kekasih.
"Gio, ada apa kamu mencari saya?" tanya Mina berjalan ke arah dua remaja itu. Gio menatap Mina yang kemudian duduk di hadapannya dan Lica.
Tangan kanan Gio bergerak merogoh saku hoddienya yang cukup besar. Diraihnya kamtong plastik hitam berukuran sedang untuk ia sodorkan pada Mina. "Tante terima ini!" pinta Gio.
Mina pun meraih kantong plastik itu lantaran rasa penasaran terhadap isinya. "Ini apa Yo?" tanya Mina sebelum melihat isinya. Sepasang matanya terbelalak mendapati banyak lembar uang merah muda di dalamnya. "Uang sebanyak ini buat apa Yo?" Mina telah lupa dengan uang yang diberikannya pada Rati beberapa waktu lalu.
"Itu sebagai ganti uang yang tante berikan pada Ibu saya waktu di rumah sakit itu!" jawab Gio.
"Waahh... Kamu mendapatkan uang sebanyak ini dari mana?" tanya Mina menatap Gio dengan mata berbinar. Sementara Lica hanya bungkam. Mina tak menyangka, anak itu dapat mengembalikan uangnya dalam kurun waktu yang relatif singkat.
"Itu privasi," jawab Gio.
"Owh... Ya sudah, terima kasih banyak ya, Yo!" ucap Rati.
Gio berdehem. "Saya juga mau menjelaskan bahwa saya tidak pernah mencintai Lica meski dia adalah pacar saya---"
"Terus kamu mau apa?" Spontan Lica membentak Gio dan memotong ucapan cowok itu.
"Aku mau kita putus!" ungkap Gio seketika menyayat hati Lica. "Tante Mina memberi uang ke Ibuku karena Lica ingin mendapatkan aku kan? Dan dia udah pernah mendapatkanku meski hanya sebentar dan sekarang uangnya sudah aku kembalikan, semuanya sudah lunas dan sudah saatnya aku mengakhiri hubungan keterpaksaan yang tanpa cinta ini!" jelas Gio.
Lica yang belum siap mengakhiri hubungannya pun sontak meneteskan air mata. "Aku masih mencintaimu Gio!" lirih Lica.
"Maaf Lica. Tapi aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Karena jujur aku tidak pernah mencintaimu, dan sekarang aku persilakan kamu untuk mencari kebahagiaanmu sendiri!" respon Gio menatap cewek yang menangis itu.
Prasangka Lica salah. Harapannya pun pupus. Awalnya, ia menyangka Gio akan membahagiakannya hari ini dan berharap dapat menikmati waktu berdua di rumahnya. Ternyata tidak. Gio malah mengakhiri hubungannya secepat ini. Sungguh, tak menyangka. Lica yang semula percaya diri mengatakan hal baik pada sahabatnya, ternyata tak sesuai fakta yang menyakitkan baginya. "Gio, tidak bisakah kamu memperbaiki hubungan kita? Hik.. Hiks.. Hiks.. Hiks!" isak Lica dengan air mata yang kian menderas.
"Tidak," jawab Gio kembali pada suara dinginnya. Terasa berat untuk Lica menerima kenyataan ini. Sebab rasanya bagaikan mimpi. Namun, ini sungguh terjadi. Mau atau tidak, sanggup atau tidak, Lica tetap harus menerima kenyataan pahit walau dengan terpaksa. "Saya pamit dulu!" ucap Gio lantas keluar.
"Oke," jawab Mina yang mengantarnya ke gerbang. Tiada peduli dengan sang putri yang menangis sendiri.
Terlepas dari gerbang rumah Mina, Gio berjalan begitu saja. Mina hanya menggeleng menatap punggungnya yang kian menjauh. Terselip pertanyaan tentang Gio di benaknya. "Dari mana anak itu bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Dari siapa dan kapan?" Rasa penasaran masih menyelimutinya. Namun, Mina tak tahu harus mencari tahu ke mana. "Rati. Ya aku harus bertanya pada Rati tentang ini!" batin Mina menutup kembali gerbangnya.
๐น๐น๐น
Gio mengambil duduk di taman yang tak jauh dari rumah Lica. Tempat favouritenya itu menjadi penenang hatinya. Teringat ia pada awal mula mendapatkan uang sebanyak itu.
Flashback On
"Saya bisa membebaskan kamu dari jerat keterpaksaan itu, tapi ada syaratnya!" ucap Arga bertelunjuk.
"Apa itu Mas?" tanya Gio.
"Kamu harus menjadi adik saya yang bisa menjaga rumah ini. Aku tidak memaksa kamu untuk terus bekerja di angkringan saya. Tapi, kamu harus ada di rumah ini untuk menemani saya ketika lelah sekaligus menjaga rumah ini. Karena saya sudah kesepian bertahun-tahun sendiri tanpa teman ataupun keluarga. Saya berjanji, akan membiayai sekolah kamu kalau kamu mau jadi adikku!" jelas Arga dengan berbisik sembari mengangkat sudut bibir Gio.
"Waaahh.. Dengan senang hati aku mau menjadi adik Mas Arga," jawab Gio tersenyum menampakkan gigi ratanya.
"Oke." Arga berjalan ke kamar dan kembali dengan kantong plastik hitam berisi banyak lembar uang merah muda. "Nih uangnya. Besok kamu kasih ke orang yang kamu maksud tadi!" Arga menyodorkan benda itu. Gio pun menerimanya.
"Terima kasih banyak Mas Arga," ucap Gio.
"Sama-sama adikku!" jawab Arga.
Flashback Off
Gio tersenyum mengingat hal tersebut. Tiada menyangka. Ia yang semula diusir dari rumah, dapat mendapatkan Kakak angkat yang sangat baik. Kebaikan Arga itulah yang meyakinkan hati Gio untuk menjadi adik angkatnya. Gio merasa beruntung dapat menjadi adiknya.
Cowok itu melirik jam tangan yang menunjuk pukul 16.50 yang mengharuskannya untuk pulang ke rumah Arga.