Malam yang sunyi menghadirkan suasana tenang bagi Lani sekeluarga. Wanita itu bersantai di sofa keluarga. Sementara Mita dan Miko tengah keluar rumah guna membeli makanan favourite mereka. Lani tak ikut lantaran badannya terasa lelah usai kerja hari ini.
Lani mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Netranya tak sengaja menangkap keberadaan handphone Mita di nakas samping sofanya. Tangan kanannya pun bergerak merengkuh benda itu. Lani menekan tombol pendek di kanan dengan Ibu jari. Layar handphone yang semula gelap, kini terang dengan tampilan wajah cantik Mita yang tersenyum di wallpapernya. Telunjuk Lani menggeser layar yang berubah tampilan pada menu aplikasi. Bola matanya bergeser dan tertuju pada ikon hijau dengan simbol telepon di dalamnya. Lani pun menekan ikon tersebut.
Tulisan 'Sayangnya Mita' menjadi objek yang pertama kali memasuki netranya. Sepasang mata Lani sontak terbelalak. Wanita itu tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya dan langsung bertindak. Bukan melihat roomchat itu, melainkan ia mengambil handphone-nya di kamar guna mengirim pesan pada Yeslau.
Lani : Selamat malam Yeslau, apa kabar? Aku mau tanya sesuatu sama kamu.
Yeslau : Malam juga Lani, aku baik-baik saja kok, semoga kamu juga ya. Kalau kamu mau bertanya, silakan! Jangan sungkan!
Lani : Sepertinya. Anak cewekku udah punya pacar Yes. Bagaimana aku menghadapinya? Sebenarnya aku nggak rela di pacaran!
Yeslau : Biarkan saja Lani. Kamu tidak perlu melarangnya untuk menjalin hubungan dengan seseorang. Kamu hanya perlu mengawasinya dan pacarnya. Kalau mau pun kamu boleh ketemu sama pacar anak kamu dan ajaklah mengobrol dengan baik. Mintalah kepadanya untuk selalu menjaga anak kamu, laranglah dia untuk berbuat yang aneh terhadap anak kamu! Begitu saja sudah cukup kok!
Lani : Oke. Terima kasih banyak, Yeslau.
Yeslau : Sama-sama Lani.
Lani kembali mematikan handphone-nya yang lantas ia letakkan kembali. Hatinya sedikit tenang usai mendapat pngarahan dari Yeslau.
Ia pun kembali ke ruang keluarga guna menunggu kepulangan Mita dan Miko.
Cklek....
Deg...
Lani dikejutkan oleh Mita yang datang tiba-tiba. "Permisi!" ucap Mita mendapat tatapan horor dari wanita di rumah itu.
"Ih.. Udah buka pintu baru permisi!" jawab Lani cukup heran dengan Mita yang sedikit biadab di malam ini.
"Ehehehe... Maaf Ma!" Mita tertawa kecil. "Ini aku belikan sushi untuk Mama!" Mita mendekati Lani sembari menyodorkan kantong plastik berisi makanan yang disebutnya tadi.
"Waahh... Terima kasih banyak. Mama juga suka sushi loh!" respon Lani dengan gembira sembari membuka kemasannya.
"Sama-sama Ma!" jawab Mita.
"Ekhem.... Mau makan sendiri aja nih, nggak ngajakin suami!" sindir Miko baru saja masuk.
"Ya udah cepetan kita makan bersama di ruang makan!" jawab Lani. Tiga insan itu pun berjalan ke ruang yang dimaksut Lani. Makan malam ini mereka laksanakan dengan gembira menatap beberapa hidangan khas Jepang di meja. Tanpa lama, Mita menyantap ramen di hadapannya.
"Yummm... Enak banget!" ungkap Mita mengunyah makanan favourite-nya itu. Sementara Lani yang tengah sibuk menyuapi Miko pun hanya diam.
****
"Kamu udah punya pacar ya, Nak?" tanya Lani yang berkumpul dengan Mita dan Miko di balkon. Mita yang sedari tadi senang menikmati keindahan sebagian kota Jakarta itu spontan berbalik badan usai mendengar pertanyaan sang Mama.
"Apa Ma?" tanya Mita berpura-pura tak mendengar.
"Kamu udah punya pacar kan?" Lani kembali bertanya. Ia berharap kejujuran dari putri semata wayangnya.
"Em... Iya Ma," jawab Mita sedikit gerogi. "Darimana Mama tau?" batin Mita.
"Apa? Anak aku udah punya pacar?" tanya Miko tak percaya.
"Udah itu." Lani menjawab sembari mengarahkan dagu pada Mita yang mengekorinya. Gadis itu lebih memilih melepas pandang pada langit malam yang menjadi pemandangan favourite-nya.
"Siapa namanya?" tanya Miko penasaran.
"Tanya sendiri itu!" Lani menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Mita," panggil Miko.
"Iya Pa!" jawab Mita menoleh. Rambut panjangnya yang tergerai bergerak pelan akibat tiupan angin. Hal itu menambah paras cantiknya.
"Siapa nama pacar kamu?" Rasa penasaran yang menyelimuti hati Miko mendorong pikirannya untuk terus bertanya.
"Em..." Mita menghentikan ucapannya. Tatapannya menunduk sembari memainkan bibir. Ia tak dapat menyembunyikan keraguan untuk memberi tahu orang tuanya. "Kasih tau nggak ya?" batin Mita.
"Kenapa malah diam? Jawablah!" Miko sedikit menaikkan suara.
"Eeeeemm... Namanya Ken... Zie!" jawab Mita menepis rasa gerogi. Hal itu tak lepas dari pendengaran Lani yang sedari tadi duduk di kursi.
"Sekelas sama kamu?" Kini Lani yang bertanya.
"Iya."
Lani beranjak dari kursi. Ia mengibaskan rambut panjangnya sembari berkata, "suruh dia ke sini, Mama mau bicara sama dia!" Lani berjalan hendak masuk rumah.
"Mama mau ngapain?" tanya Mita penasaran. Gadis itu menatap gerak-gerik sang Mama yang sedikit mencurigakan. Sepertinya, wanita itu memiliki sebuah inisiatif. Namun apa? Mita tak tahu. Ia tetaplah penasaran lantaran Lani tak menjawab pertanyaannya.
"Mau ngapain kamu?" Kini Miko yang bertanya sembari melirik sinis sang istri. Pria itu memiliki perasaan yang sama dengan Mita, yakni penasaran.
"Ada deh. Nanti juga tahu sendiri!" jawab Lani sebelum menghilang dari pandangan Miko yang kemudian juga mengikutinya. Rasa penasaran yang membuncah di otaknya tak pelak membuatnya ingin terus bertanya. Kini tinggalah Mita di sana. Jantungnya berdegup lebih kencang. Rasa cemas dan takut sontak hadir di hatinya. Ia takut jika Lani meminta Kenzie untuk mengakhiri hubungannya. Ia takut jika Lani memarahi Kenzie perihal hubungannya. Mengingat wanita itu tak pernah mengizinkannya untuk berpacaran. "Aduuuuhhh... Mama mau ngapain ya?" tanya Mita dalam batin. "Aih.. Biarkan sajalah!"
๐น๐น๐น
"Sayang kamu mau ngapain?" tanya Miko menuruni anak tangga di belakanh Lani.
"Ngapain apanya?" Lani bertanya balik tanpa menatap Miko.
"Tadi kamu nyuruh Mita buat ngapain?" tanya Miko mengingatkan sang istri tentang hal tadi.
"Oh.. Yang itu. Aku sengaja nyuruh Mita buat bawa cowoknya ke sini. Aku pengen ngobrol-ngobrol aja sama dia!" jawab Lani menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga kanan.
"Jangan aneh-aneh kamu, ya!" tegur Miko.
"Aku nggak aneh-aneh kok. Tadi aja aku habis minta saran dari Yeslau, jadi semuanya dijamin baik-baik saja!" jelas Lani mengacungkan jempol dengan tersenyum disertai alis yang terangkat sebelah. Miko yang menatapnya hanya bisa pasrah.
"Hem.. Terserah kamu deh, sayang!" jawabnya lantas masuk kamar lantaran telah mengantuk.
Lani melirik jam dinding yang menunjuk pukul 21.05. Sudah saatnya mereka tidur. Wanita itu masuk kamar Mita guna memastikan gadis itu telah siap beristirahat. Ternyata tidak. Ia masih tetap bersantai di balkon. Lani pun menghampirinya. "Mita... Tidurlah Nak! Ini sudah malam," pinta Lani.
"Iya Ma." Mita lekas memasuki singgasananya lalu berbaring di kasur empuknya. Sementara Lani menekan sakelar di dinding sebelum akhirnya keluar. Kondisi yang sedari tadi terang pun gelap seketika. Tangan kanan Mita bergerak menarik selimut. Perlahan namun pasti, gadis itu memejamkan mata. Alam mimpi pun kembali menyapa.
Cklek...
Pintu kamar terbuka dan menampakkan Miko yang tengah berkutat dengan laptop."Sayang.. Buatkan aku kopi dong! pintanya.
"Tumben jam segini belum tidur!"
"Masih ada kerjaan yang harus aku selesaikan malam ini. Tadi lupa dan sekarang baru mau menyelesaikannya!" jawab Miko dengan jemari yang bergerak menekan keyboard.
"Aih... Ada-ada saja!" Lani menghela napas. Ditengah ia yang sudah mengantuk, Miko memintanya untuk dibuatkan kopi. Heranlah Lani pada sang suami. Dari tadi tampak asik berkumpul dengannya dan sang putri. Sekarang, malah sibuk menyelesaikan pekerjaannya diwaktu yang seharusnya mereka gunakan untuk tidur. Tiada Lani habis pikir. Mengapa Miko bisa melupakan pekerjaannya? Sejujurnya, Lani malas berjalan ke dapur. Teringin ia menolak permintaan Miko. Namun, itu tidak baik. Sebab sudah kewajibannya sebagai seorang istri untuk setia mendampingi dan melayani sang suami. Alhasil, Lani pun menuruti permintaannya meski dibalut rasa malas.
๐น๐น๐น
"Makasih Pak!" ucap Gio usai menerima uang dari pembeli yang telah ia layani. Cowok itu terus membantu Arga hingga tepat pukul 02.00.
Setelahnya, Arga mengendarai motor maticnya sembari membonceng Gio. Kendaraan itu berhenti di garasi rumah yang cukup bagus milik Arga. Taman rumah yang dipenuhi tanaman berbunga dan dikelilingi banyak kunang-kunang dapat memukau hati Gio saat awal melihatnya. Teras rumah yang cukup besar dapat menampung beberapa kursi dan meja yang biasa digunakan Arga untuk menyendiri sembari menikmati keindahan taman di depannya. Kaca jendela yang tertutup gorden merah muda menghalangi pandangan Gio pada isi rumah tersebut.
"Ini rumah kamu, Mas?" tanya Gio.
"Iya." jawab Arga lantas mengajak Gio masuk rumah. Bukan langsung beristirahat melainkan mengobrol di sofa. "Mengapa Mas Arga tinggal sendiri?" tanya Gio yang duduk di samping lelaki muda itu.
"Karena keluarga saya sudah meninggal," jawab Arga menuai rasa penasaran dari Gio.
"Bagaimana itu bisa terjadi, Mas?" tanya Gio.
"Awalnya, di rumah ini ada orang tua saya, adik dan nenek saya. Kami tinggal berlima di rumah ini. Sepuluh tahun yang lalu, adik dan kedua orang tua saya meninggal karena kecelakaan tragis yang menimpa mereka saat akan pulang dari kuar kota. Saat itu, saya masih sekolah jadi tidak ikut keluar kota. Setelah itu, saya tinggal hidup berdua dengan nenek saya. Beliau banting tulang demi menghidupi saya hingga lulus sekolah. Perjuangannya sangat besar. Tapi sayangnya, nenek saya sudah pulang ke pangkuan Yang Kuasa sejak setahun yang lalu. Alhasil, saya pun harus bekerja sendiri seperti sekarang!" jelas Arga yang sedari tadi menunduk mengingat bayang-bayang keluarganya yang telah tiada. Gio mengangguk-angguk. Ia merasa lebih bersyukur usai mendengar cerita Arga tadi. Sebab sepedih apapun hidup Gio ternyata masih ada yang lebih pedih. Seperti Arga yang hidup sebatang kara. Masih beruntung, Gio memiliki keluarga.
"Sekarang, ganti saya bertanya kepadamu!"
"Silakan Mas!" jawab Gio telah siap menerima pertanyaan dari Arga.
"Kenapa kamu mau bekerja di usai kamu yang sekarang? Padahal di luar sana banyak teman-teman kamu yang bermain-main menyenangkan hidupnya!"
"Semua itu karena terpaksa Mas," jawab Gio mulai memutar konflik-konflik di benaknya yang membuatnya berada dalam kondisi terkini.
"Bagaimana bisa?"
"Awalnya, Ibuku sakit dan harus dirawat di rumah sakit, itupun membutuhkan biaya yang mahal. Sedangkan Bapak dan Ibuku sudah bercerai. Aku pun kebingungan mencari uang buat biaya rumah sakit Ibuku yang tidak murah. Mau tidak mau, aku mendatangi kediaman Bapakku untuk sekedar meminta uang bantuan. Beruntung, beliau masih mau walaupun akhirnya meminta kembalian. Tidak lama kemudian, aku tidak sengaja bertemu Bapakku di jalan. Beliau meminta uangnya kembali dan berlaku kasar kepadaku. Bahkan, tega mengancamku bahwa beliau akan membunuhku dan Ibuku jika aku tidak mengembalikan uangnya dalam waktu seminggu. Aku pun menceritakan hal itu pada Ibuku yang kemudian menceritakan kembali pada sahabat dekatnya yang cukup kaya. Sahabat dekatnya itu memiliki anak yang merupakan teman seangkatanku----" Gio menjeda ceritanya guna menahan air mata yang mendesak untuk keluar. Hatinya terasa sakit mengingat semuanya.
"Dia mau membantu kami dengan memberi uang pada Ibuku yang kemudian aku berikan ke Bapakku. Dia ikhlas memberi tanpa meminta uangnya untuk kembali. Dari situ, aku sedikit merasa tenang karena kami terbebas dari ancaman keji. Namun, anak dari sahabat Ibuku menyukaiku dan ingin memilikiku. Ibuku yang tahu itu pun memaksamu untuk berpacaran dengannya sekaligus sebagai balas budi. Awalnya aku merasa berat, tapi seiring berjalannya waktu disertai adanya beberapa konflik, Ibuku sangat bersikeras memaksaku untuk melakukan itu hingga aku tidak dapat menolak. Mau atau tidak aku pun menjadikan anak dari sahabat Ibuku itu sebagai pacarku meski tanpa cinta. Sampai sekarang aku belum bisa mencintainya. Dan beberapa waktu lalu, dia sempat tidak masuk sekolah, tapi aku tidak memedulikannya. Dia pun mengadu pada Ibuku dengan ditemani Ibunya. Di situ, Ibuku kecewa dan marah besar karena sikap abaiku pada pacarku itu. Ibuku kecewa karena aku tidak bisa berbalas budi dan memalukan. Dari situ, aku diusir dari rumah. Dan sekarang, aku pun masih menjalani hubungan dengan keterpaksaan itu. Sebab aku malu untuk mengakhiri hubungan ini. Mengingat bantuannya untuk keluargaku yang cukup besar itu. Aku berani mengakhiri hubungan kita kalau aku sudah bisa mengembalikan uang sahabat dari Ibuku itu! Kesimpulannya, sekarang aku memiliki hutang pada mereka. Meski sebenarnya mereka tidak meminta kembalian uang, namun aku tetap ingin mengembalikan uangnya agar aku bisa bebas dari hubungan keterpaksaan itu. Aku juga ingin hidup bahagia tanpa jeratan apapun!"
Arga yang telah khidmat mendengarkan cerita Gio itu pun mengangguk paham.
Tak terasa, obrolan mereka tersebut memakan waktu dua jam. Kini, waktu subuh telah tiba. Adzan pun berkumandang di masjid. Dua lelaki itu tak tidur, melainkan keluar rumah guna mengikuti salat subuh di masjid.
Rumah menjadi tempatnya pulang dari tempat ibadah itu. "Gio," panggil Arga menatap cowok itu berjalan ke kamar.
"Iya Mas?" Gio menoleh.
"Duduklah di sofa tadi, aku ingin berbicara denganmu!" pinta Arga.
"Iya Mas, sebentar!" jawab Gio mengembalikan perlengkapan salatnya di lemari barulah ia menuruti pinta Arga.
"Berapa uang yang diberikan sahabat Ibumu itu?" tanya Arga telah duduk bersamanya.
"Sepuluh juta Mas."
"Saya bisa membebaskan kamu dari jerat keterpaksaan itu, tapi ada syaratnya!" ucap Arga bertelunjuk
"Apa itu Mas?" tanya Gio yang lantas mendapat bisikan dari Arga. Cowok itu mengangguk pelan setelahnya. "Oke... Terima kasih banyak Mas!" ucapnya.