Pagi hari kembali menyapa kota Jakarta. Mobil hitam milik keluarga Namiki tengah melaju santai di antara banyaknya kendaraan lain. Mobil itu dikendarai supir pribadi guna mengantar Mita ke sekolah. Suasana berbeda ia rasakan hari ini. Tak seperti biasa yang selalu bersemangat untuk sekolah. Di kursi belakang pengemudi, Mita terduduk lesu. Ekspresi wajahnya cemberut melambangkan isi hati yang berkecamuk. Terasa malas untuknya bersekolah lantaran teringat hal menyakitkan kemarin. Mita tak ingin lagi menyaksikan hal itu. Andaikan Lani dan Miko mengizinkannya membolos, Mita akan melakukan itu di hari ini. Namun, sayang. Menjadi putri semata wayang pasutri itu tidak mudah. Mita harus menuruti segala ucapannya termasuk larangan membolos.
Dengan berat hati, Mita memasuki gerbang SMP 02 Garuda. Langkah gamang membawanya masuk kelas 9D. "Mita... Mita!" panggil Gio menghampiri cewek itu. Tangannya menggenggam lengan Mita supaya tidak pergi.
"Apa sih? Lepaskan!" Mita memutar lengan agar terlepas dari genggaman Gio.
"Aku tahu kamu marah sama aku. Aku minta maaf ya!" ucap Gio menatap Mita yang memasang wajah malas.
"Sudahlah. Tidak usah menggangguku lagi. Aku udah tidak peduli denganmu!" jawab Mita berjalan keluar.
"Mita... Mita, jangan pergi dulu Mit! Aku mau jelasin semuanya!" cegah Gio meraih lengan kiri Mita. Takkan ia biarkan gadis itu pergi sebelum mendengar penjelasannya.
"Hiihh... Apa yang mau kamu jelaskan? Semuanya ucapan Ibu kamu saat di rumah sakit itu sudah jelas dan tidak bohong! Aku tau itu!" jawab Mita geram dengan Gio. Ia merasa terusik dengan cowok itu.
"Semuanya tidak seperti yang Ibuku bilang!" jelas Gio.
"Bodoh amat... Aku tidak peduli!" timpal Mita kembali melangkah. Gio menghentikan langkah Mita dengan berdiri di hadapannya. Hal itu sontak memancing emosi.
"Gio... Cukup! Kamu mau apa sih? Ha?" bentak Mita Memelototi Gio
"Mit.. Aku mohon dengarkan penjelasanku kali ini aja!" bujuk Gio bak seorang pengemis. Raut wajahnya tampak sendu dengan penyesalan. Ia menyesal seban kemarin menyuaul Lica di kantin hingga diketahui Mita. Andai ia tak melakukan itu. Mungkin sekarang, Mita tidak begitu malas dengannya. Gio sangat bodoh. Ia menjadikan Lica sebagai pelampiasan sunyi kala tak ada Mita.
"Nggak usah ngemis deh! Apaan sih?" gerutu Mita menyilangkan tangan di dada sembari memutar bola mata.
"Semua ini aku lakukan demi memperbaiki persahabatan kita!" jawab Gio polos. Tak siap jika dirinya harus berjauhan dengan Mita selamanya. Sehingga ia berusaha membujuk Mita agar mau mendengarkan penjelasannya.
"Maaf... Aku tidak bisa!" tolak Mita.
"Gio... Kamu kenapa?" tanya seorang gadis menyita atensi dua insan itu. Ditatapnya wajah Mita hingga terjadi kontak mata yang tajam. "Hei... Kamu siapa? Berani-beraninya gangguin cowokku!" Lica mendorong tubuh Mita yang lantas terhuyung. Beruntung, tidak jatuh.
"Maaf... Aku tidak menyentuh cowokmu sedikitpun!" jawab Mita dengan tegas. Emosi yang meninggi masih tersimpan di otaknya. Teringin ia meninju wajah Lica. Mengingat sikapnya yang tidak sopan pada Mita menuai keinginan negatif dari hati Mita. Andai Mita tak punya adab, Lica akan habis di tangannya sekarang. Tiga insan itu menjadi pusat perhatian para siswa-siswi di sekitar.
"Alah.. Jangan bohong deh! Dasar pelakor!" tuduh Lica membelalak. Sementara Gio tak bergeming lantaran bingung melerainya.
Plak...
Sebuah tamparan hebat Mita melayang di pipi Lica yang sontak kesakitan. "Auuu... Maksud kamu apa?" tanya Lica mencengkeram kuat rambut Mita.
"Auuu sakiiitt!" ringis Mita memegang kepala. Sungguh tak menyangka bahwa Lica akan membalas dengan lebih sakit. Awalnya, Mita hanya melampiaskan emosi dengan tamparan. Namun, tak disangka bahwa Lica membalasnya.
"Berani kamu menamparku lagi?" Lica menarik rambut Mita hingga menuai rasa sakit yang berlipat ganda. Gio yang mendapati ekspresi kesakitannya sontak tak tega. Tanpa pikir panjang, kaki kanannya terlempar di punggung Lica yang spontan melepas rambut Mita guna beralih memegang bagian tubuhnya tersebut. "Aduuuhhh!" ringis Lica lantas melempar tatapan horor pada Gio.
"Berani kamu melukai Mita?" tanya Gio dengan suara seraknya. Ia tak terima mendapati gadis terindahnya menahan sakit akibat ulah orang lain. Tak peduli akan perbuatan kasarnya pada Lica, yang terpenting Mita selamat.
"Kenapa kamu tega sama aku? Aku pacar kamu loh! Orang tua kita udah sepakat jodohin kita, tapi kenapa kamu seperti itu?" omel Lica seolah mengisyaratkan Mita bahwa mereka telah sungguh-sungguh berpacaran.
"Tapi aku tidak mau pacaran denganmu karena aku tidak mencintaimu! Ingat itu!" jawab Gio menggores hati Lica. Ia pikir Gio telah mencintainya sehingga ia menganggap Gio lebih dari teman. Kebersamaan telah beberapa kali mereka lalui. Hal itu menguatkan keyakinan Lica tentang perasaan Gio padanya. Namun ternyata tak sesuai dengan pikirannya. Rasa kecewa sontak menyelimuti Lica. Ia telah berusaha memberi kenyamanan, ternyata hanya dianggap teman. Sungguh menyebalkan. Bibir Lica kelu mendengar kalimat itu. Tubuhnya terasa beku. Sepasang matanya tampak sayu. Buliran air mata telah menumpuk di kantong mata. Lica tak lagi mampu menahannya. Tiada pilihan lain selain membiarkan air matanya menetes.
Lica menarik napas dalam lalu menghembuskannya. Dicengkeramnya kerah seragam sebagai pelampiasan emosi. "Kamu jahat Gio!" bentak Lica menunjuk hidung mancung Gio.
"Benarkah aku jahat?" respon Gio mengangkat alis sebelah. Sementara Mita terdiam menyaksikan perdebatan itu. Tak peduli dengan kesalahannya tadi, yang penting ia mampu meredakan emosi.
"Hihihihihi... Kamu tega Gio! Kamu tega menganggapku teman demi cewek murahan ini!" tunjuk Lica pada Mita disertai tatapan horor. Mita sontak menggeleng keras.
"Gio... Tuh.. Pacar kamu ajarin yang bener! Jangan asal ngomong! Dasar bodoh, kau ini!" Mita berkacak pinggang. Kesabarannya telah lenyap seiring dengan keluarnya ucapan negatif dari mulut Lica. Tak ayal bisa gadus itu melontarkan cibiran kasar demi meluapkan emosi.
"Dia bukan pacarku Mita. Kamu jangan percaya sama dia!" elak Gio mencengkeram bahu Mita yang kini menatapnya.
"Tapi dia keterlaluan!" jawab Mita tegas. Inilah pertama kalinya mendapat cibiran kasar dari orang lain sehingga emosi Mita sangat tinggi. Andai tempat ini bukan sekolahan, tubuh Lica bisa habis dicincangnya. Mita yang selalu tampak sabar dapat rapuh kala mendapat cibiran.
"Iya.. Memang keterlaluan! Makanya aku nggak mau pacaran sama dia!" jawab Gio menegaskan Mita bahwa Lica bukanlah kekasihnya. Sungguh, Lica tak habis pikir dengan Gio. Rasa heran pun bergulir di otaknya. Beberapa hari ini, Gio tampak senang dengannya. Namun, mengapa ia berubah kala ada Mita? Sulit diidentifikasi. Yang pasti, kebencian Lica pada Mita telah menancap kuat di benaknya.
Lica berbalik badan. Kakinya melangkah tanpa sepatah kata.
Siswa-siswi yang sedari tadi menyaksikan mereka khidmat, kini pun pergi. Mengingat dalang perdebatannya yang telah menjauh. Mita lanjut melangkah yang sempat tertunda. Akhirnya, Gio membiarkan cewek itu pergi. Mita merasa lega akan hal itu.
Beberapa jam kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Memberi tanda para siswa-siswi untuk bersiap pulang. Mita keluar kelas seraya dengan tas di punggungnya seraya membuang botol bekasnya di tempat sampah. Ia berbalik badan mendapati wajah Kenzie yang mengejutkan. "Astaga... Kukira kamu siapa! Ngagetin orang aja!" ucap Mita mengusap dada.
"Ayo kita pulang bersama!" ajak Kenzie. Sebuah rasa aneh hadir di benak Mita. Tidak biasa Kenzie bersikap seperti itu. Melainkan, hanya sikap cuek yang selalu ditunjukkannya pada Mita. Tak ayal jika hal itu terasa aneh bagi Mita.
"Nggaklah!" tolak Mita berjalan diikuti Kenzie.
"Kenapa?"
"Aku dijemput!" jawab Mita tanpa menatap Kenzie.
"Owh!"
Mita berhenti di depan gerbang. Pandangannya beredar pada beberapa mobil yang terparkir di depan sekolahnya. Berharap menemukan mobilnya, ternyata tidak. Mita terpaksa menunggu sang sopir di sana.
"Mita... Ayo pulang!" ajak Kenzie telah siap di sepedanya. Cowok itu tak sampai hati membiarkan Mita sendiri. Sebab Mita selalu dijemput lebih awal sehingga ia tak pernah menunggu.
"Enggak deh! Aku nunggu supirku di sini aja!" jawab Mita.
"Aku nggak tega lihat kamu sendiri! Aku temani ya!" Kenzie memarkir sepeda di hadapan Mita lalu berdiri di sampingnya.
"Kalau kamu mau pulang sekarang, pulang aja, nggak usah ikut aku! Aku bisa sendiri kok!"
"Dengan senang hati aku mengikutimu di sini!" jawab Kenzie menatap cewek yang lebih pendek darinya itu.
"Ya sudah, terserah kamu, deh, Zie!"
"Anggap saja ini rasa simpatiku karena kamu lagi bermasalah sama Gio!" ujar Kenzie.
"Apaan? Aku tidak terlalu memikirkan itu," jawab Mita. Tiada yang menyadari, bahwa Kenzie melihat perdebatannya dengan Gio dan Lica tadi. Dari sanalah, Kenzie tahu tentang konfliknya. Mita mengedarkan pandangan ke langit yang mendung. Kecemasan mulai timbul di benaknya. Ia takut jika hujan menerpa. Ditengoknya Kenzie yang berdiri santai di samping. Hatinya terasa tenang dengan keberadaan cowok itu. Jikalau hujan menerpa, Mita tak akan sendiri. Melainkan ada Kenzie yang menemani.
Tak ada yang tahu, kebersamaan dua insan itu menjadi pusat atensi seorang cowok familiar yang berdiri di belakang gerbang. Netranya menangkap Kenzie dan Mita dari celah pintu gerbang. Kedua tangannya mengepal dengan tatapan horor. Gio menyesali semua kesalahannya. Dan kini tinggalah kesadaran bahwa ia tak pantas untuk kembali mendekati Mita. Lantas, apa yang akan dilakukannya? Biarlah waktu yang menjawab semua.
10 menit kemudian, cahaya kilat tampak sejenak cerah di langit kelabu. Air hujan mulai menetes, membasahi tangan kiri Mita yang menengadah. Tak butuh waktu lama, rintikan air hujan berkembang banyak hingga membasahi kepala dan pakaian Mita. Cewek itu terkejut kala suara kilat berbunyi nyaring. Mita spontan berteriak. Kenzie yang berdiri di sampingnya pun tak tinggal diam. Dengan antusias ia mendekap tubuh Mita sembari mengusap kepalanya. Sebuah kehangatan menyelimuti tubuh Mita dengan seribu kenyamanan. Mita mendongak. Pandangannya bertukar dengan Kenzie yang tak kunjung beralih. Alhasil, pandangan mereka bertemu. Jantung Mita berdegup lebih kencang. Benih-benih cinta mengalir ke lubuk hatinya. Proses itu juga terjadi pada tubuh Kenzie yang masih memandang wajah cantik Mita. Bola mata gadis itu tak henti mengamati setiap inci wajah Kenzie. Kulit putih dengan hidung mancung dan bibir tipisnya mampu menghiasi benak Mita. "Dia sangat tampan!" batin Mita.
"Mita sangat cantik!" puji Kenzie dalam hati.
Dua insan itu hanyut dalam kesenangan hati masing-masing. Tak peduli dengan air hujan yang telah membasahi sekujur tubuhnya. Tiada yang mengakhiri adegan itu yang telah berlangsung lama. SMP 02 Pancasila menjadi saksi bisu kebersamaan romantis mereka saat ini.
Kehadiran satpam sekolah itu menyadarkan mereka dari perlakuan romantis. "Dek... Jangan bucin terus, ini lagi hujan loh!" ucap Jaja dengan payung di atasnya.
Kenzie dan Mita sontak saling menjauh meski tak lepas pandang. "Astaga."
"Astaga."
"Mita... Maaf ya!" ucap Kenzie menggenggam tangan Mita. Sebuah kelembutan terasakan di kulit Mita dari usapan tangan Kenzie. Tiada peduli dengan rintikan air hujan yang menusuk kulitnya.
"Aku yang harusnya minta maaf, karena aku yang salah. Seandainya aku tidak berteriak, mungkin kamu tidak akan melakukan itu!" jawab Mita.
"Iya. Tapi aku juga salah, aku minta maaf!" Kenzie terus memandangi wajah Mita di antara rintikan air hujan yang menjadi penghalang. Entah mengapa, mata Kenzie seolah terkena magnet dari mata Mita yang terus menariknya.
"Lebih baik kalian duduk di pos satpam dulu, daripada kehujanan di sini! Silakan masuk!" saran pria yang masih berdiri di belakang Kenzie.
"Iya Pak, terima kasih!" jawab Mita berlari pelan ke pos satpam. Ditempatinya bangku kosong di sudut pos itu. Kenzie pun mengikutinya. Alhasil, bangku itu menjadi tempat penyatu dua remaja tersebut. Pandangannya tiada lepas sesama.
"Kamu kenapa lihatin aku terus?" tanya Kenzie.
"Mana ada? Kamu dulu yang lihatin aku!" tuduh Mita berkespresi ceria.
"Cih... Pede amat!" sindir Kenzie berpaling.
"Terserah kamu deh!" jawab Mita beralih atensi pada kaca jendela yang menampakkan suasana luar. Air hujan tak kunjung berhenti menetes. Supir pribadi Mita pun tak kunjung menjemputnya. Meski Mita senang berada di sana. Namun, keinginannya untuk pulang juga tak pudar. Teringin ia merasakan empuknya kasur di singgasana yang selalu menjadi tempat pelepas penat.
Glederrrr...
Mita memeluk diri sendiri usai mendengar suara petir. Ia mengusap lengan yang mengalirkan kenyamanan. Lagi, Kenzie tak tinggal diam. Dilepasnya jaket hitam yang lantas menampakkan seragam sekolahnya. Tangan kanannya bergerak menempelkan benda itu pada punggung Mita yang sontak menatapnya. "Kenzie!" panggil Mita tersenyum lebar. Bola mata hitam Kenzie sontak fokus ke arahnya. Alhasil, pandangan mereka kembali berjumpa. Wajah Mita seolah mengandung magnet yang selalu menarik sudut bibir Kenzie.
🌹🌹🌹
Matahari tak lagi tampak. Kini tinggallah awan hitam yang berhias bintang. Pemandangan itu tak dilalui oleh Gio yang kini menduduki rerumputan di halamannya. Di malam yang indah itu, terukir wajah cantik Mita di pikirannya. Momen kebersamaan dengan Kenzie yang sempat dilihatnya kini melintas di benaknya. Sungguh, rasa sakit di hatinya kian mencuat hingga menuai hasrat balas. Meski, ada Lica yang siap menempati hatinya. Namun, tetap tak bisa menggantikan posisi Mita. Kini, hanya Mita yang memenuhi pikirannya. Gadis itu tampak tak peduli lagi dengan Gio. Kebersamaannya dengan Kenzie menjadi memori yang menyakitkan bagi Gio. Gio berasumsi bahwa Mita telah menjadikan Kenzie sebagai penggantinya. Jujur, Gio tidak terima. Terasa sulit untuknya menerima kenyataan bahwa ia dan Mita tak lagi bersatu. Teringin ia memutar waktu. Jika boleh, ia akan memastikan persahabatannya selalu baik saja.