Perpustakaan menjadi tempat yang menyenangkan bagi Mita. Kegemaran membaca gadis itu membuatnya tak bosan untuk berkunjung ke sana.
Dibukanya sebuah buku pengetahuan yang lantas ia baca. Kegiatan Mita tersebut harus terjeda dengan kehadiran cowok familiar. "Mita... Izinkan aku menjelaskan semuanya di sini!" ucap Gio berdiri di sampingnya. Mita memutar bola mata malas dengan tangan terlipat di dada.
"Kamu kenapa sih? Gangguin aku terus. Kapan kamu membiarkanku tenang?" tanya Mita dengan sejuta rasa geram. Ia sangat terusik dengan kehadiran Gio.
"Aku akan membiarkan kamu hidup tenang setelah kamu mendengarkan semua penjelasanku!" jawab Gio mengambil duduk tepat di samping Mita.
Mita mengibas rambut kesal. "Gio... Sudahlah, kamu tidak perlu susah-susah menjelaskan semuanya. Aku udah tau kamu punya pacar sekarang! Sudahlah, kita juga bukan sahabat lagi karena aku takut kalau cewek kamu cemburu! Lebih baik kamu pergi sekarang!" jawab Mita spontan berdiri. Terasa sangat malas untuknya menatap wajah cowok itu lagi.
"Tapi aku mau menjelaskan yang sebenarnya dulu sama kamu!" desak Gio.
Tanpa disadari, dua insan itu menjadi pusat perhatian para siswa-siswi di tempat itu. Mereka yang semula fokus pada buku, sontak beralih pada Gio dan Mita.
"Tidak perlu. Aku tidak butuh itu. Silakan pergi!" usir Mita.
"Mita kamu jangan gitu dong! Yang asik kayak dulu itu. Aku kangen kamu yang dulu Mit!" Gio menggenggam tangan Mita yang sontak memberontak.
"Nggak usah pegang aku lagi! Pergi!" tegas Mita tanpa menatap Gio sedikitpun. Ia lebih memilih untuk menunduk.
"Aku tidak akan pergi sebelum kamu mendengarkan penjelasanku!"
Mita mengepalkan dua tangan. Ia menghela napas kasar sembari mengerjapkan mata. Emosi yang sedari tadi bertengger di benaknya, kini berusaha ia kendalikan. Mengingat di perpustakaan dilarang bising apalagi membuat keributan sehingga Mita berusaha menormalkan kondisi. "Kalau kamu tidak mau pergi, biar aku saja yang pergi!" Mita meletakkan buku di rak lalu keluar. Gio menetap di tempat dengan ekspresi memelas seiring pandangannya yang mengikuti langkah kaki Mita.
Mita menenangkan jiwa di taman. Sebuah bangku di tengah menjadi tempatnya untuk duduk. Perdebatannya dengan Gio tadi terputar di benaknya. "Mengapa Gio segitunya sama aku? Jika benar Lica adalah pacarnya, lantas mengapa ia masih menggangguku setelah tau bahwa Lica cemburu denganku!" batin Mita. Gadis itu sangat dibuat bingung dengan Gio. Cowok itu pernah memasuki netranya dengan cewek lain di kantin. Sedangkan kemarin, Mita terlibat konflik dengan cewek yang mengaku sebagai pacar Gio. Jika benar, mengapa Gio berbuat kasar dengannya? Dan mengapa Gio masih mendekati Mita? Sepantasnya, ia melepas Mita. Bukan malah mendekat. Mita tak habis pikir dengan Gio.
*****
Matahari bersinar cukup terik. Menyinari seluruh ruang terbuka di SMP 02 Pancasila. Seperti di lapangan bola voli yang kini dipenuhi para siswa-siswi dalam ekstrakurikuler voli. Seragam olahraga yang bertuliskan Spedula di punggung kaos telah menutupi tubuh para anggota ekskul voli. Seperti Mita yang kini duduk di tepi lapangan dengan rambut ikat satu disertai botol air di tangannya. Gadis itu menunggu materi dari Pak Bejo yang tengah melakukan pemanasan dengan para siswa di lapangan itu. Sementara para siswi di ekskul voli hanya duduk santai lantaran telah melakukan pemanasan terlebih dahulu. Lapangan bola voli yang berukuran sedang tak mampu menampung 87 siswa/siswi sehingga mereka melakukan pemanasan dalam waktu yang berbeda-beda.
Tak lama kemudian, Pak Bejo memberi materi seraya meminta anggota ekskul voli guna melakukan praktik. Mita terjun ke lapangan dengan 9 orang temannya yang terbagi menjadi 2 tim. Cewek itu tampak antusias mengikuti praktik voli setelah teman seregunya melakukan servis. Ia yang berdiri di tengah spontan mengoper bola dengan passing bawah. Tak sampai jatuh, teman seregu Mita di dapat lebih dulu melambungkan ke tim lawan yang gagal fokus. Alhasil, bola menyusup tanah.
Tim Mita berhasil mencetak skor banyak dan menjadi pemenangnya. Gadis itu segera keluar lapangan seraya duduk di sudutnya. Air mineral menjadi cairan yang kini memasuki alat pencernaannya.
Gluk...
Gluk...
Gluk...
Mita menutup botolnya kembali. "Eaaa... Ciee... Temen gue pinter juga ternyata!" puji Kenzie melaluinya. Cowok itu mengamati cara Mita melambungkan bola voli yang selalu tepat sasaran.
"Kenzie...." jawab Mita tersenyum ceria menatap cowok itu.
"Aku tampan kan? Xixixixi!" tanya Kenzie tertawa kecil. Bola mata Mita berputar seketika. Tangannya terlipat di dada sembari menggeleng sebagai jawaban untuk Kenzie. Cowok itu mengambil duduk di samping Mita. "Minta minum!" Kenzie menyahut botol air dari tangan gadis itu yang sontak melempar tatapan horor untuknya.
"Enak banget, minta... minta!" cibir Mita mengamati Kenzie yang sibuk meneguk airnya.
Gluk...
Gluk...
Gluk...
Gluk...
Gluk...
"Ahhhh... Seger!" ungkap Kenzie mengusap sisa air di mulutnya.
Botol transparan yang kosong itu memasuki netra Mita. Gadis berpakaian olahraga itu terbelalak seketika. "Kenzieeee... Apa maksud kamu, menghabiskan air minumku, ha?" bentaknya berkacak pinggang. Terbesit di benak Mita tentang tujuan Kenzie menghampirinya, yakni ingin meminta minum.
"Hehehehe... Aku sangat haus!" jawab Kenzie tertawa kecil.
"Usaha dong, jangan minta-minta!" desak Mita meluapkan kekesalan.
"Sudahlah, jangan marah! Nih, botolnya aku kembalikan!" Kenzie menyodorkan botol kosong di hadapan Mita yang sontak bergerak memukul benda itu hingga terlempar jauh. "Woiiisshhh... Mantap banget pukulannya!" puji Kenzie bertepuk tangan.
"Hiihhh... Bukannya terima kasih malah ngeledekin mulu'," protes Mita memalingkan wajah dengan ekspresi marahnya.
"Iya, terima kasih Mita!" respon Kenzie memosisikan wajah di hadapan Mita. Tangan gadis itu bergerak guna menjitak jidat Kenzie.
"Enak banget kalau ngomong!" dengus Mita.
"Aku mau ngucapin selamat atas kemenangan tim kamu!" ucap Kenzie meredakan emosi Mita yang sedari tadi ingin meninjunya.
"Makasih!" jawab Mita tersenyum.
*****
Senja yang akan datang, telah ditunggu oleh cowok berkulit sawo matang yang menduduki rerumputan di halaman rumahnya. Benaknya terisi oleh perlakuan kerasnya pada Lica kemarin. Sejujurnya, Gio merasa bersalah. Namun, ia juga tak sampai hati membiarkan Mita tersakiti. Tak ayal bila dirinya bertekad melindungi gadis itu, meski harus berlaku kasar pada Lica, anak dari orang yang banyak membantu keluarganya. "Gio... Sini!" panggil Rati membangkitkan Gio dari lamunan. Cowok itu menuruti perintah sang Ibu.
"Ada apa Bu?" tanya Gio berdiri di ambang pintu.
"Kamu kenapa melamun saja?" tanya Rati yang rupanya memperhatikan Gio sejak tadi.
"Nggak papa!" jawab Gio malas bercerita. Ia memilih menempati kursi tamu yang kosong. Rati pun turut duduk di hadapannya.
"Mungkin, kamu belum bisa mencintai Lica," tebak Rati menunduk.
"Ibu ngomong apa?" tanya Gio berpura-pura tak mengerti.
"Ibu tahu kamu belum mencintai Lica. Mungkin, hatimu masih berpihak pada sahabat cewek kamu itu! Tapi, Ibu mohon sama kamu, belajarlah untuk mencintai Lica sebagaimana kamu mencintai Ibu! Ibu sudah terlalu dekat dengan Mina, dia sudah banyak membantu kita. Jadi Ibu mohon, kamu sayangi Lica sebagai balas budi kita. Kamu harus bisa bikin Lica bahagia. Kalau dia bahagia, Mina juga bahagia! Jadi, kita harus bisa membahagiakan mereka sebagai balas budinya!" tutur Rati. Gio sangat paham dengan penuturan itu. Namun, ia tetap mematung. Terasa malas untuknya merespon Rati. Sebab ia malas menuruti ucapannya tersebut. Gio masuk kamar tanpa kata.
Jarum jam terus berputar, mengiringi matahari yang kian bergeser ke barat. Tanpa terasa, sore hari telah tiba.Lica telah rapi dengan pakaian rumahnya. Ia memilih ruang keluarga sebagai tempat kebersamaannya dengan sang Mama. Ekspresi yang selalu ceria, kini berubah murung. Mina yang mendapati itu sontak bertanya, "kamu kenapa? Murung aja, dari tadi!"
"Mama... Mama tau nggak sih, kemarin Gio menendang punggungku sangat keras!" adu Lica pada Mina yang sontak terkejut. Gadis itu baru sempat bercerita lantaran tugas sekolah yang menumpuk memaksa Lica untuk menyelesaikannya lebih cepat sehingga menghambat waktu untuk bercerita pada siang Ibu.
"Ha? Kenapa? Bagaimana bisa?" tanya Mina lagi. Lica tak segan menceritakan semua.
"Gio keterlaluan! Dia menyakiti kamu hanya gara-gara cewek lain? Mama tidak akan tinggal diam! Ayo kita ke rumahnya, sekarang!" Mina mematikan TV dari remot. Ia sontak beranjak diikuti Lica yang kemudian mendatangi rumah Rati.
Motor matic menjadi transportasi cepat yang membawanya ke rumah itu. Diketuknya pintu rumah Gio usai motor maticnya terparkir di halaman.
Cklek...
Terbukanya pintu menampilkan Rati yang berpakaian daster motif bunga dengan gradasi pink dan kuning. "Mina, Lica. Silakan masuk!" sambut Rati tersenyum ceria. Dua insan itu melangkah masuk dengan ekspresi kesal. Kursi tamu menjadi tempat duduknya dan Rati.
"Rati... Bilangin ke anakmu dong, jangan kasar sama anakku!"
"Maksudnya bagaimana?" tanya Rati tak paham. Keningnya mengerut menatap Mina sembari berharap jawaban.
"Anak kamu tega menendang punggung anakku hanya gara-gara cewek lain!" jawab Mina menggerakkan telunjuk. Ekspresi marah terpampang jelas di wajah sederhananya.
"Maksudnya bagaimana? Aku nggak ngerti!" Rati menggeleng tak paham. Lica berbicara guna menceritakan segala. Rati yang sedari tadi berekspresi bingungpun berubah horor penuh kemarahan.
Sementara Gio yang sedari tadi asik bermain handphone di kamar sontak mematikannya. Telinganya bersiap menerima gelombang suara dari mulut tiga insan di ruang tamu itu. Tangannya mengepal usai mendengar suara Lica menceritakan perlakuannya tadi. "Kenapa dia harus ke sini?" tanya Gio dalam batin. Ia melayangkan sebuah bogeman pada kasur empuk yang ditempatinya. Terbongkarlah kelakuan buruk Gio pada Lica. Semua itu ulah Lica dan Mina. Gio sangat menyesal berlaku kasar pada Lica. Sebab masalah itu pasti memanjang. Ia tetap berdiam diri di kamar sembari menyiapkan mental untuk menerima omelan panjang dari Rati.
Di ruang tamu, Rati tak mampu menyembunyikan rasa terkejut mendengar perlakuan burung Gio. "Astaga.... Keterlaluan sekali anakku!" ucap Rati beranjak dari duduk. Ia mendekati kamar Gio seraya menggedor pintu.
"Gio... Keluar kamu!" Rati membogem pintu kamar Gio dengan sekuat tenaga. Tak peduli seandainya benda itu rusak. Rati hanya fokus meluapkan emosi. Sudah tak sabar untuknya memarahi anak itu.
Dor...
Dor...
Dor...
Dor...
"Gio keluar!" Suara Rati yang kian menggema mencairkan hati Gio yang sedari tadi beku tak ingin membuka pintu.
Gio tak dapat mengelak. Cowok itu terpaksa turun dari ranjang guna membuka pintu. Netranya menangkap raut marah yang terpampang jelas di wajah Rati. "Maksud kamu apa? Kamu berani berbuat kasar sama Lica demi cewek lain, pasti cewek yang kemarin di rumah sakit itu kan? Kamu tega menyakiti Lica, anak Mina yang telah banyak membantu kita, demi cewek itu? Di mana otak kamu, Gio?" omel Rati menjitak dahi Gio. Ia berdecak kesal dengan anak itu. Darahnya naik disertai emosi yang memuncak. Tiada disangka, putra semata wayangnya melakukan hal tak biasa yang membuat Rati merasa malu dengan Mina. Andaikan cowok itu tidak berbuat kasar pada Lica, suasana baik pasti menyelimutinya. Tak seperti sekarang yang meresahkan hati Rati. Wanita itu tak habis pikir dengan perbuatan kasar Gio itu. Selama ini, tiada pernah ia mengajarkan hal negatif apapun. Namun, ulah Gio seolah mencerminkan pengajarannya. Rati sangat marah dengan Gio.
"Maaf!" lirih Gio menunduk. Ia tak dapat berlari dari kesalahan.
"Kamu minta maaf sama Lica sekalian tembak dia buat jadi pacar kamu! Itung-itung itu adalah permintaan maaf kamu yang sesungguhnya. Cepat lakukan sekarang! Jangan memalukan Ibu!" pinta Rati menarik tangan Gio keluar. Wanita itu mencari kesempatan baik disela kesalahan Gio pada Lica. Rati sangat suka dengan cewek itu. Selain cantik dia pun baik. Itulah menurutnya. Tak ayal jika Rati melakukan berbagai cara agar Gio dapat mencintai Lica.
Pikiran Gio seolah buntu. Ia tak dapat berpikir apapun selain menuruti permintaan Rati. Mengingat kesalahannya pada Lica tidaklah kecil, sehingga membuatnya menyesal dan mau menuruti sang Ibu.
Gio berjongkok di hadapan Lica sembari berkata, "Lica... Maafkan aku yang telah menyakitimu tadi. Aku benar-benar khilaf.. Aku minta maaf, aku janji tidak akan mengulangi lagi. Untuk menebus kesalahanku, aku mau menjadi pacar kamu dan kamu harus mau jadi pacarku agar kita dapat bersatu!" ucap Lio dengan terpaksa. Sengaja ia berbicara panjang agar tampak serius.
Lica mengangguk dengan senyum. "Ya, aku mau jadi pacar kamu."
"Yes... Anakku sangat pintar!" batin Rati duduk di samping Mina. Dengan itu, rasa malu Rati pada Mina seolah sirna. Kini tinggalah rasa bahagia yang mengisi benaknya. Mengingat Gio dan Lica telah resmi berhubungan sebagai sepasang kekasih membuat sudut bibirnya terangkat. Begitupun dengan Mina.
"Akhirnya anak kita bisa pacaran Min!" ucap Rati senang. Mina tersenyum sembari mengangguk. Dua insan itu tak dapat menyembunyikan rasa senang kala mendapati peresmian hubungan asmara anak swmata wayang mereka.
Lica merasa puas dengan semua. Dari konflik di sekolahan hingga kedatangannya ke rumah Rati telah membuahkan hasil positif. Keinginannya untuk menjadi kekasih Gio telah terwujud. Ia tak perlu susah payah untuk mengungkapkan rasa cintanya pada cowok itu. Sebab kini, ia telah menjadi kekasihnya. Suasana berkecamuk bertengger di hati Lica. Mengingat semula ia merasakan sakit akibat mendapati Gio bersama dengan Mita dan perlakuan kasarnya, kini menjadi bahagia. Mita bukanlah orang asing bagi Lica yang telah lama mencintai Gio. Gadis itu dihantam luka kala mendapati kebersamaan Gio dan Mita yang sering dilihatnya di kantin. Namun, memori luka itu seolah sirna sejurus dengan hadirnya kebahagiaan ini.