Aku hanya diam tertegun usai mendengar penjelasan Kak Arin. Ternyata baru saja ada adu argumen di dalam rumah dan berujung dengan kepergian Kak Doni dari rumah. Mungkin itu juga yang membuat mama bersedih seperti tadi.
Beberapa hari belakangan ini, aku memang sering melihat Kak Doni tampak muram. Dia juga sering aku lihat berdebat dengan mama dan papa. Mungkin karena aku lelah, aku jadi selalu lupa menanyakannya. Aku sendiri sampai sekarang belum tahu apa penyebabnya. Yang pasti gara-gara kejadian malam itu mengubah semua dalam hidupku.
“Dit, kok ngelamun?” tegur Ranti.
Gadis pujaanku itu baru saja keluar dari tempat lesnya dan menghampiri aku yang sedang menunggu di tempat biasa. Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaannya. Hari ini aku memang menjemput Ranti seperti biasanya.
“Kamu capek, ya? Aku gak papa kalau gak kamu jemput kok, Dit.” Ranti kembali bersuara.
“Eh, jangan. Nanti kalau ilang dicuri orang, aku yang nangis.”
Ranti langsung tersenyum mendengar gurauanku. Kami sudah berjalan beriringan menuju jalan raya.
“Bentar lagi kita kelas dua belas. Kamu rencana mau kuliah di mana, Dit?” Ranti mengalihkan pembicaraan kami.
Aku hanya menghela napas panjang. Otakku yang pas-pasan dan kondisi ekonomi keluargaku yang sedang tidak baik-baik saja, pasti akan menjadi alasan utama aku tidak kuliah.
“Mungkin aku langsung kerja saja,” jawabku kemudian.
Ranti tampak terkejut mendengarnya dan langsung kujawab dengan sebuah senyuman.
“Kenapa? Kamu malu pacaran ama aku yang gak kuliah?”
Ranti gegas menggelengkan kepala dengan cepat. “Enggak, kok. Cuman kalau lulusan SMA, kerja apa, Dit?”
“Banyak, kok yang penting halal. Enaknya lagi kalau aku sudah kerja, pacarannya makin asyik. Soalnya aku sudah punya duit. Mau nonton, ayo. Mau ngemall juga ayo.”
Ranti kembali tertawa kini sambil menggelengkan kepala melihat dengan gemas ke arahku.
“Iya, deh. Terserah kamu, yang penting kamu senang.”
Aku tersenyum dan kembali melanjutkan perjalanan kami. Aku masih asyik menggandeng tangan Ranti hingga tiba di jalan raya. Suasana jalan raya sedikit lebih sepi dari biasanya. Aku dan Ranti masih menunggu angkot yang biasa kami naiki, saat tiba-tiba aku melihat Kak Doni melintas di depanku.
“KAK DONI!!!” seruku memanggil.
Pria bertubuh sedikit tambun itu sontak menghentikan motornya. Aku gegas berlari menghampiri dengan Ranti mengikuti.
“Adit!! Kok kamu di sini?” tanya Kak Doni. Ia tampak terkejut melihatku, kemudian Kak Doni melirik ke arah Ranti dan tersenyum dengan manis.
“Pacarmu, Dit?” Aku mengangguk mengiyakan.
Kak Doni sudah menepikan motornya dan mengajakku mampir di salah satu warkop dekat sana. Ranti masih aku ajak dan aku memintanya mengirim pesan ke rumah karena pulang terlambat.
“Kakak kenapa gak pulang?” Aku mengawali pembicaraan kami. Kak Doni terdiam, tampak menarik napas sambil menghembuskannya dengan perlahan. Ranti duduk sedikit jauh dari kami dan tampak sibuk mengerjakan pr.
“Mama yang nyuruh kamu bertanya seperti itu, Dit?” Aku gegas menggelengkan kepala. Pertemuanku dengan Kak Doni kali ini memang tidak sengaja dan itu bukan karena perintah mama.
“Enggak. Aku malah gak tahu apa yang terjadi di rumah hingga Kak Doni pergi. Memangnya ada apa sih, Kak?”
Lagi-lagi helaan napas panjang keluar dari bibir pria bertubuh tambun ini. Memang penampilan fisik kakakku sangat berbeda denganku. Pipinya chubby, tubuhnya sedikit tambun dengan rambut ikal yang menggelitik. Namun, jangan ditanya soal otaknya. Dia sangat pintar, bahkan dia selalu sekolah di tempat favorit. SMA-nya saja sama dengan Ranti dan kampus tempatnya kuliah ini merupakan kampus teknik terbaik di kotaku. Kata mama juga, Kak Doni sering mendapat beasiswa di kampus sehingga sedikit meringankan beban mama.
“Panjang, Dit ceritanya. Kamu juga gak bakalan ngerti.”
Aku kini yang menghela napas panjang, menatap kesal ke arah kakakku. Lagi-lagi dia menganggapku anak kecil. Apa dia lupa kalau aku sudah delapan belas tahun? Aku juga sudah punya pacar secantik bidadari. Masa masih menganggapku bocil saja.
“Ya makanya jelasin, Kak. Biar aku ngerti.” Aku bersikeras bertanya.
Kak Doni kembali menarik napas panjang dan kini melirik sekilas ke arah Ranti. Aku mengikuti matanya dan menoleh ke arah Ranti. Sedikit tanya kembali terbesit di benakku, kenapa juga Kak Doni tiba-tiba melihat ke arah Ranti.
“Kamu cinta dia, Dit?” Tiba-tiba Kak Doni bertanya sesuatu yang aneh. Aku mengernyitkan alis dan langsung mengangguk menjawab pertanyaannya.
“Apa kamu siap berkorban melakukan apa saja untuk dia?”
Lagi-lagi pertanyaan aneh keluar dari mulut Kak Doni.
“Emang ini ada hubungannya dengan Ranti, Kak?” Aku malah balik bertanya dengan polosnya. Kak Doni langsung terkekeh dan menggelengkan kepala.
“Gak. Tapi apa yang aku lakukan kali ini berhubungan dengan prinsip hidup, Dit. Sayangnya Mama dan Papa tidak mau mendengar alasanku kali ini. Memang mereka sangat sayang kepada kita, tapi ternyata kasih sayang yang mereka berikan menuntut timbal balik dari kita.”
“Maksud Kakak apa, sih? Aku tambah bingung.”
Terdengar helaan napas panjang dari bibir Kak Doni. Kemudian pria bertubuh tambun itu mendongakkan kepala menatap ke arahku dengan tajam.
“Singkatnya prinsipku dengan Mama Papa sudah tidak sejalan. Sekuat apa, aku mempertahankan dan memperjuangkannya, mereka tidak sepakat. Itu sebabnya aku memilih pergi saja kali ini.”
Aku hanya menghela napas mendengarnya.
“Memangnya prinsipmu itu sangat berarti buatmu, Kak?”
“Tentu, Dit. Seorang pria itu harus mempunyai prinsip dalam hidupnya. Apa jadinya kalau kamu tidak berprinsip?”
“Lalu apa jadinya kalau prinsipmu salah dan kali ini Mama Papa yang benar?”
Kak Doni langsung tersenyum mendengar jawabanku.
“Ya. Itulah yang selama ini didoktrinkan orang tua kita, Dit. Mereka sangat menyayangi kita dan meminta kita mengikuti aturannya, prinsip hidupnya. Lalu saat kita mempunyai prinsip yang berbeda, mereka marah dan menganggap kita durhaka. Padahal prinsip yang aku punya sama baiknya dengan mereka. Harusnya mereka menghargai perbedaanku, tidak membenciku atau malah menganggapku anak durhaka hanya karena kami beda.”
Aku terdiam, mencoba mencerna semua ucapan Kak Doni. Sungguh, aku benar-benar bingung kali ini. Sebenarnya prinsip hidup seperti apa yang membuat Kak Doni memilih hengkang dari rumah. Apa prinsip hidupnya itu begitu sempurna? Atau dia hanya merasa kesal karena mama papa tidak mau menerima perbedaannya?
“Pesanku, Dit. Jangan seperti aku!! Kamu anak yang berbakti dan Mama sangat menyayangimu. Buat Mama bangga, Dit. Meski pada suatu saat kamu akan menemukan persimpangan yang membuat kamu sulit memilih.”
Aku hanya bengong, terdiam menatap tanpa kedip ke arah Kak Doni. Kenapa ucapannya membingungkan menurutku, tapi entah mengapa menyimpan makna tersembunyi yang tidak bisa aku cerna saat itu.