Lagi-lagi pagi ini aku harus kesal. Entah ada kegiatan apa seharian ini hingga membuat Ranti harus berinteraksi terus dengan Arik. Apa ada PR yang sulit? Atau memang ada kerja kelompok yang mengharuskan dikerjakan bersama. Aku tidak tahu. Bisa-bisa juga itu semua hanya akal-akalan Arik agar lebih dekat dengan Ranti.
BRUK!!!
Sengaja aku membanting keras tasku ke atas meja. Aku ingin Ranti melihat dan memberi perhatian padaku. Aku juga ingin dia tahu kalau pria ini sedang cemburu.
Tepat dugaanku, Ranti sontak menoleh kaget ke arahku. Matanya nan laksana buah almond tampak menatapku sementara alisnya sudah mengernyit keduanya. Aku yakin dia pasti bingung melihat sikapku. Aku hanya diam saat dia mencari mataku dan cepat-cepat aku menunduk. Aku tidak bisa kalau harus menatap mata indahnya dan terlihat marah saat ini.
“Kamu kenapa, Dit?” Malah Erwin yang bertanya penuh perhatian kepadaku kini. Ranti sudah membalikkan badan setelah tidak mendapat jawaban dariku.
“Gak papa. Capek aja, Win!!” bohongku.
Erwin hanya diam sambil berulang menganggukkan kepala. Aku yakin Erwin tidak puas dengan jawabanku, tapi aku tidak peduli. Sepanjang hari ini aku membisu dan terlihat fokus ke pelajaran. Padahal kalau mau jujur saat ini aku tengah memperhatikan gadis manis di depanku ini.
Hingga akhirnya waktu istirahat tiba. Kali ini aku sengaja tidak keluar kelas. Aku malas dan juga masih kenyang. Ternyata hal yang sama juga dilakukan Ranti. Gadis pujaanku itu masih duduk manis di depanku dan tampak sedang menulis sesuatu. Aku tidak melihat Arik di bangkunya. Mungkin hanya tinggal aku dan Ranti di deretan bangkunya serta beberapa anak lain yang menyebar duduk di deret berbeda.
Perlahan aku letakkan kepalaku di atas tanganku yang terlipat di atas meja. Aku sengaja memiringkan kepala sambil asyik mengamati gadis manis di depanku. Ini adalah pose favoritku untuk mengawasinya. Aku lihat Ranti masih menunduk dan terus menulis. Aku sendiri tidak tahu dia menulis apa. Padahal hari ini tidak ada tugas yang harus dikumpulkan apalagi PR.
Kemudian tiba-tiba dia membalikkan badan dan seperti biasa sibuk mengambil buku di dalam tasnya. Aku tersenyum kesenangan karena dengan begitu aku bisa mengamati wajahnya dengan jelas. Hidung mancungnya, mata almondnya, bibir mungilnya yang selalu komat kamit lalu juga rambut sebahunya yang harum shampo setiap tertiup angin.
Sungguh ... dia memang makhluk terindah ciptaan Tuhan yang paling aku suka. Jujur ingin sekali aku katakan semua rasa yang ada di dadaku. Sukaku, rinduku dan debaran indah di hatiku semua karenanya. Namun, aku malu. Aku merasa masih kecil, masih ingusan. Apa pantas aku yang masih usia belasan dan belum tujuh belas merasakan cinta seindah ini.
Aku takut dia menertawakanku, mengabaikanku dan mungkin menolak semua rasaku. Aku takut kecewa, aku takut kalah. Ya ... mungkin aku pengecut, tapi mungkin saja itu yang aku rasakan disaat usiaku masih belia.
Tiba-tiba Ranti mengangkat kepalanya dan mata kami bertemu untuk beberapa saat. Aku terdiam membisu begitu juga Ranti. Namun, entah mengapa mata kami seakan sedang bercerita. Perlahan Ranti menunduk menghindari mataku. Wajahnya sontak bersemu merah dan kini pipinya terlihat seperti tomat ceri saja.
Aku mengulum senyum, kemudian perlahan mengulurkan sebuah buku kepadanya.
“Terima kasih, ya! Aku sudah selesai mencatatnya.”
Sepertinya dia terkejut saat aku mengembalikan buku catatan matematikanya itu. Ranti menerima dengan gugup dan masih menunduk tak berani menatapku. Padahal aku ingin sekali melihat tomat ceri di wajahnya itu.
“Iya.”
Ranti mengangguk dan buru-buru membalikkan badan. Dia terlihat kikuk bahkan saking gugupnya alat tulisnya berulang kali jatuh bergantian. Aku mengulum senyum melihat tingkah lucunya. Baru kali ini aku lihat Ranti seperti ini. Padahal sebelumnya dia selalu acuh dan tak peduli. Apa aku sudah berhasil merobohkan tembok di sekelilingnya? Atau dia sendiri yang membuatkan pintu untukku agar masuk ke dalam hatinya? Apa itu artinya juga jika aku mengutarakan perasaanku dia tidak akan menolakku?
“DIT!!” Panggilan Erwin membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan melihat Erwin sedang tersenyum meringis melihat ke arahku dengan menggoda.
“Kamu ngapain dari tadi ngelihatin Ranti terus?”
Aku terkejut bahkan mataku terbelalak kaget dengan pertanyaan Erwin. Apa ulah dan tingkahku ini begitu mencolok dan menjadi perhatian semua teman di kelas ini. Erwin saja yang baru saja datang tahu ulahku. Bagaimana dengan teman yang sedari tadi di kelas?
“Aku gak ngeliatin dia,” jawabku lirih.
Aku sengaja memelankan suaraku, aku tidak mau Ranti mendengarnya. Aku malu, itu satu alasanku.
“Terus ngapain dari tadi senyum-senyum sendiri sambil melamun menatap Ranti.”
Aku menghela napas panjang sambil memelotot ke arah Erwin. Aku berusaha memberi isyarat ke Erwin agar menghentikan ocehannya. Aku tidak mau Ranti curiga padaku.
“Sstt ... jangan keras-keras!!” Kini aku mendekatkan tubuhku ke arah Erwin dan berkata di telinganya dengan lirih. Sepertinya Erwin tahu maksudku. Dia langsung mengangguk dan malah ikut membisikkan sesuatu di telingaku.
“Kalau kamu suka, kenapa gak bilang saja?”
Seketika aku membisu mendengar ucapan Erwin dan menoleh ke arahnya dengan dua alis yang terangkat.
“Aku ... malu, Win. Nanti dikira cinta monyet, cinta bohongan, anak ingusan udah main pacar-pacaran. Apa kata orang yang ngelihat, apalagi kalau mamaku sampai tahu?” Aku mengatakannya masih dengan nada yang pelan.
Erwin langsung tertawa mendengar ucapanku. Jujur aku memang bukan tipe pria masa kini yang tidak tabu mengenal cinta saat usia dini. Entahlah mengapa aku begitu konvesional seperti ini. Aku menganggap aku belum pantas untuk merasakan itu semua. Aku masih kecil dan seharusnya kerjaku hanya belajar bukan mengenal cinta apalagi pacaran.
Sayangnya cupid sudah memanahku saat aku masih terlalu muda dan parahnya lagi pujaan hatiku itu gadis yang duduk di depanku.
“Gak papa, Dit. Kalau aku jadi kamu, aku pasti akan bilang. Terserah anggapan orang apa, yang penting aku sudah mengutarakan perasaanku.”
Aku terdiam, jakunku naik turun sibuk menelan saliva.
“Lalu kalau dia menolakku gimana?”
“Resiko. Masa cowok gak berani nyatain cinta karena takut ditolak?”
Ucapan Erwin bagai tamparan bagiku. Aku seorang pria meski umurku belum genap lima belas. Namun, aku juga punya harga diri dan rasanya malu kalau dikatakan penakut apalagi pengecut.
“Apa perlu aku bantu?”
Spontan aku menoleh ke arah Erwin. Erwin tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Aku bantuin biar kamu bisa mengatakan perasaanmu padanya.” Erwin kembali berbisik di telingaku.
Aku terdiam lagi. Sedikit ragu, gugup dan juga tidak yakin kembali menyesak di dadaku.
“Gimana? Mau?” Erwin kembali bertanya dan bodohnya kepalaku dengan spontan mengangguk begitu saja menjawab pertanyaan Erwin. Lalu apa yang harus aku katakan saat berhadapan dengan Ranti nanti?