Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Terindah Itu Kamu
MENU
About Us  

“Buruan sini!! Kamu udah hapal dengan yang aku tulis tadi, kan?” tanya Erwin.

Pulang sekolah ini, aku keluar kelas lebih dulu dan sedang menunggu Ranti di parkiran bersama Erwin. Sesuai dengan nasehat Erwin, aku akan mengutarakan perasaanku hari ini. Erwin sudah menuliskan beberapa dialog yang harus aku lakukan dengan Ranti nanti. Dengan terpaksa aku menghapalnya tadi. Entah mengapa kini tingkah Erwin tak ayalnya seperti seorang sutradara saja.

“Jangan gugup!!! Tarik napas, buang. Terus kalau bisa tatap matanya saat bicara. Itu membuat dia yakin kalau kamu benar-benar menyukainya.”

Lagi-lagi Erwin memberi nasehat. Pengen banget aku tertawa ngakak melihat ekspresi wajahnya ditambah rambut brokolinya yang terus bergerak lucu. Memangnya dia kelahiran tahun berapa sih? Kok bisa-bisanya nasehatin aku tentang cara menyatakan perasaan. Padahal dia sendiri belum pernah melakukannya. Memang dipikir gampang, apa lagi untuk pria kecil yang belum cukup umur ini.

Aku menghela napas sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sepertinya Erwin tahu kalau aku sama sekali tidak serius menanggapi nasehatnya. Erwin langsung berkacak pinggang dan menatapku tajam.

“Dit!! Kamu dengar yang aku bilang, ‘kan?”

Aku mengangguk cepat. “Iya, aku denger. Aku sudah hapal semuanya, tinggal bilang ‘Aku suka kamu, Ranti.’ Gitu doang, ‘kan?”

Erwin berdecak dan menggelengkan kepala. “Dengan perasaan dong, Dit. Terus bilangnya yang tegas, jangan menye-menye, gitu. Jangan lupa tatap matanya, tatap matanya!”

Aku mengulum senyum geli mendengar ocehan Erwin. Kenapa juga ucapannya seperti jarkon salah satu master magician di tanah air ini.

“Kok malah ketawa, sih. Aku serius, Dit. Kamu beneran suka atau nggak, sih.”

Akhirnya Erwin sedikit kesal menanggapi sikapku. Aku menghela napas sambil menepuk bahu Erwin berulang. Aku tidak mau mengecewakan sobat kecilku yang sangat membantuku ini.

“Kalau aku bohongan kenapa juga mau melakukan ini?”

Erwin langsung tersenyum mendengar ucapanku. “Ya udah, kalau begitu lakukan dengan benar. Aku tunggu di tempat biasa.”

Erwin langsung berlalu pergi meninggalkan aku seorang diri. Aku melihat parkiran mulai ramai, beberapa murid sudah keluar dan tampak sibuk mengambil sepeda mereka masing-masing. Aku masih menunggu di tempatku sambil mengedarkan pandangan mencoba mencari sang Pujaan hatiku.

Aku yakin kalau Ranti masih berada di dalam kelas dan belum keluar tadi. Itu artinya, tidak mungkin kalau dia pulang lebih dulu. Semakin lama aliran murid yang mengambil sepeda dan keluar dari pintu gerbang berangsur berkurang bahkan tinggal satu dua saja.

Aku masih menunggu dengan gelisah, sesekali aku lirik jam di pergelangan tanganku. Hampir tiga puluh menit aku menunggu. Mengapa Ranti belum keluar? Jangan-jangan dia tidak membawa sepeda hari ini dan pulang dijemput ayahnya. Akh ... kenapa juga aku gak kepikiran itu.

Aku menepuk keningku dengan keras lalu segera membalikkan badan dan berjalan cepat menuju kelas. Aku ingin memastikan kalau Ranti sudah pulang atau belum. Aku setengah berlari menuju kelas. Karena tergesa aku tidak melihat depan dan langsung menabrak seseorang yang baru saja keluar dari kelas.

BRUK!!!

Buku yang dibawa sosok tersebut jatuh berhamburan di lantai. Aku gegas merunduk dan membantu mengambil bukunya. Serta merta hidungku tersentak oleh aroma feminin yang sangat aku kenal ini. Aku mendongakkan kepala dan melihat Ranti di depanku. Lagi-lagi aku menabraknya.

“Maaf ... Ranti. Aku tidak melihatmu tadi,” ucapku gugup.

Ranti hanya tersenyum sambil menerima buku yang baru aku ambil.

“Iya, gak papa.”

Aku masih berdiri di depannya dan kulihat suasana kelas sudah sepi. Hanya kami berdua yang berdiri di depan pintu. Ini kesempatan untuk mengutarakan perasaanku. Namun, aku benar-benar bingung harus memulai dari mana. Kenapa saat membaca naskah yang ditulis Erwin tadi begitu mudah, tapi sulit mempraktekkannya. Ranti tampak bingung melihatku, mungkin dia ingin bertanya mengapa aku kembali ke kelas dengan tergesa.

“Aku ... eng ... penggarisku ketinggalan,” sahutku cepat seakan menjawab pertanyaan Ranti. Padahal jelas-jelas gadis manis di depanku ini tidak mengajukan pertanyaan sama sekali.

Ranti hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Seharusnya aku gegas masuk ke dalam kelas dan pura-pura mengambil penggaris yang ketinggalan. Namun, nyatanya aku masih bergeming di depan Ranti dan terlihat bingung. Entah mengapa semua dialog catatan dari Erwin tadi yang sudah kuhapal di luar kepala tiba-tiba menguar di udara.

Pesona gadis manis di depanku ini membuat aku tak berdaya. Kenapa juga hanya aku yang merasakannya? Kenapa dia tidak merasakan apa yang aku rasa juga? Atau jangan-jangan dia juga merasakannya hanya tidak mengatakannya.

“Dit, katamu mau ngambil garisan. Gak jadi?” Ranti menginterupsi lamunanku.

Aku tersenyum kemudian menganggukkan kepala.

“Iya, aku ambil dulu. Tunggu bentar!” Aku gegas berlari ke bangkuku dan pura-pura mengambil sesuatu di laci mejaku. Padahal jelas-jelas penggarisku tersimpan rapi di dalam tasku.

Aku kembali menghampirinya. “Bareng ke parkiran, yuk!”

Ranti terdiam dan menggeleng. Dia menolak ajakanku.

“Maaf, Dit. Aku dijemput, hari ini aku baru saja didaftarkan les oleh Mama. Itu sebabnya pulang sekolah aku langsung ke tempat les.”

Aku terdiam mendengarnya. Ternyata tepat dugaanku kalau hari ini Ranti tidak membawa sepeda dan dijemput ortunya. Untung saja aku segera balik ke kelas dan tidak menunggu di parkiran.

“Hmm ... gitu. Jauh tempat lesnya?”

“Aku gak tahu. Kata Mama deket dari sekolah.”

Aku hanya terdiam sambil menganggukkan kepala. Ranti cukup pintar di kelasku bahkan masuk lima besar, kenapa juga dia masih membutuhkan les tambahan. Apa dia belum cukup puas dengan nilai-nilainya selama ini.

“Kamu sudah siap menghadapi ujian akhir semester besok, Dit?” Ranti tiba-tiba bertanya mengalihkan topik pembicaraan.

Lagi-lagi aku terdiam dan tidak menjawab langsung pertanyaannya. Sekilas aku bisa menangkap kalau Ranti masih memikirkan study-nya. Sementara aku ...

Akh ... aku jadi malu dengan diriku sendiri. Harusnya aku sibuk belajar untuk menghadapi ujian akhir semester besok. Bukannya sibuk mencemaskan perasaanku pada gadis ini. Aku masih terlalu belia untuk mengenal cinta. Cinta monyet lagi. Mungkin sebaiknya aku urungkan saja niatku kali ini. Bukan karena aku takut ditolak Ranti, tapi aku takut dia menganggapku hanya pemuda yang suka main-main dan tidak serius dengan masa depannya apalagi sekolahnya.

“Dit, aku duluan, ya!!” Ranti membuyarkan lamunanku. Belum sempat aku menjawab Ranti sudah berlalu pergi.

Aku melihatnya berlari keluar gerbang. Ada seorang wanita paruh baya yang menunggunya di atas motor. Itu pasti ibunya Ranti. Aku memicingkan mata sambil melihat sosok Ranti dari kejauhan hingga menghilang.

Aku menghela napas panjang sambil memejamkan mata kemudian sebuah kuluman senyum sudah terukir di wajahku. Hari ini banyak sekali peristiwa yang membuatku tertampar dan intropeksi diri. Mungkin kali ini bukan saatnya untuk mengutarakan perasaanku, mungkin aku hanya diperbolehkan belajar saja.

Siapa tahu dengan giat belajar membuat aku semakin dekat dengan Ranti. Entah bagaimana caranya mulai hari ini aku akan memacu semangat belajarku. Aku juga tidak mau kalah dengannya. Aku ingin meraih cita-citaku dan mewujudkannya.

Sebuah tepukan tiba-tiba mendarat di bahuku, aku menoleh dan langsung tersentak kaget begitu melihat Erwin sudah berdiri di depanku.

“Gimana? Udah, belum?”

Astaga!! Kenapa aku melupakan makhluk satu ini? Dia pasti marah karena aku membuatnya menunggu lama. Siap-siap pulang sekolah ini uang sakuku terkuras. Aku harus membelikan bakso sebagai upeti untuk Erwin.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dramatisasi Kata Kembali
711      371     0     
Short Story
Alvin menemukan dirinya masuk dalam sebuah permainan penuh pertanyaan. Seorang wanita yang tak pernah ia kenal menemuinya di sebuah pagi dingin yang menjemukan. \"Ada dalang di balik permainan ini,\" pikirnya.
Dosa Pelangi
644      382     1     
Short Story
"Kita bisa menjadi pelangi di jalan-jalan sempit dan terpencil. Tetapi rumah, sekolah, kantor, dan tempat ibadah hanya mengerti dua warna dan kita telah ditakdirkan untuk menjadi salah satunya."
About love
1283      598     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
Under a Falling Star
1066      625     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
Flower With(out) Butterfly
441      305     2     
Romance
Kami adalah bunga, indah, memikat, namun tak dapat dimiliki, jika kau mencabut kami maka perlahan kami akan mati. Walau pada dasarnya suatu saat kami akan layu sendiri. Kisah kehidupan seorang gadis bernama Eun Ji, mengenal cinta, namun tak bisa memiliki. Kisah hidup seorang gisaeng yang harus memilih antara menjalani takdirnya atau memilih melawan takdir dan mengikuti kata hati
SAMIRA
323      201     3     
Short Story
Pernikahan Samira tidak berjalan harmonis. Dia selalu disiksa dan disakiti oleh suaminya. Namun, dia berusaha sabar menjalaninya. Setiap hari, dia bertemu dengan Fahri. Saat dia sakit dan berada di klinik, Fahri yang selalu menemaninya. Bahkan, Fahri juga yang membawanya pergi dari suaminya. Samira dan Fahri menikah dua bulan kemudian dan tinggal bersama. Namun, kebahagiaan yang mereka rasakan...
Invisible
738      463     0     
Romance
Dia abu-abu. Hidup dengan penuh bayangan tanpa kenyataan membuat dia merasa terasingkan.Kematian saudara kembarnya membuat sang orang tua menekan keras kehendak mereka.Demi menutupi hal yang tidak diinginkan mereka memintanya untuk menjadi sosok saudara kembar yang telah tiada. Ia tertekan? They already know the answer. She said."I'm visible or invisible in my life!"
Fallen Blossom
563      365     4     
Short Story
Terkadang, rasa sakit hanyalah rasa sakit. Tidak membuatmu lebih kuat, juga tidak memperbaiki karaktermu. Hanya, terasa sakit.
Kutunggu Kau di Umur 27
4998      2028     2     
Romance
"Nanti kalau kamu udah umur 27 dan nggak tahu mau nikah sama siapa. Hubungi aku, ya.” Pesan Irish ketika berumur dua puluh dua tahun. “Udah siap buat nikah? Sekarang aku udah 27 tahun nih!” Notifikasi DM instagram Irish dari Aksara ketika berumur dua puluh tujuh tahun. Irish harus menepati janjinya, bukan? Tapi bagaimana jika sebenarnya Irish tidak pernah berharap menikah dengan Aks...
Fix You
994      590     2     
Romance
Sejak hari itu, dunia mulai berbalik memunggungi Rena. Kerja kerasnya kandas, kepercayaan dirinya hilang. Yang Rena inginkan hanya menepi dan menjauh, memperbaiki diri jika memang masih bisa ia lakukan. Hingga akhirnya Rena bersua dengan suara itu. Suara asing yang sialnya mampu mengumpulkan keping demi keping harapannya. Namun akankah suara itu benar-benar bisa menyembuhkan Rena? Atau jus...