Pagi ini awal aku masuk sekolah kembali, setelah hampir seminggu tidak masuk sekolah karena mengikuti turnamen futsal. Aku baru saja memarkir sepedaku saat tiba-tiba beberapa adik kelas datang menghampiriku.
“Kak Adit, selamat, ya!!” ucap mereka sambil sibuk menjabat tanganku.
Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tak hanya di parkiran sepanjang perjalanan menuju kelasku, banyak mata yang melirik kemudian tak lama terdengar suara berbisik. Hari ini mendadak aku menjadi artis. Apa mungkin karena ulahku di pertandingan futsal kemarin? Akh ... sumpah, aku gak suka jadi terkenal seperti ini.
Akhirnya aku terpaksa mempercepat langkahku agar tiba di kelas. Saking cepatnya aku berlari, aku tidak melihat kalau ada Ranti yang keluar dari kelas. Sontak kami tabrakan dan Ranti terjatuh karena ulahku itu.
“Kamu gak papa?” tanyaku sambil mengulurkan tangan membantunya berdiri tegak. Ranti tersenyum menyambut uluran tanganku.
“Iya, aku gak papa, kok. Kenapa kamu berlarian seperti itu, Dit?”
Aku tidak menjawab hanya tersenyum meringis. Ingin rasanya aku jawab kalau aku pengen cepat ketemu kamu, tapi aku keburu malu lebih dulu.
Ranti sudah berlalu pergi sementara aku gegas masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkuku. Aku melihat Erwin tampak sibuk menyalin sesuatu.
“Apa itu, Win?” tanyaku penasaran.
“PR matematika. Buruan kerjain!!”
Aku menghela napas sambil menyandarkan punggungku ke kursi. “Bukannya kita kemarin sudah izin tidak masuk karena ikut lomba, Win. Jadi kenapa harus ngerjain PR? Akh ... aku males. Lagian aku gak paham. Nanti saja deh pinjam catatannya saja.”
Erwin tidak peduli dengan ucapanku dan makin sibuk menyalin jawaban PR. Selang beberapa saat, bel tanda masuk berbunyi. Tepat dugaanku kalau guru matematika mengizinkan aku dan Erwin tidak mengerjakan PR. Malah beliau minta kami menyalin catatan teman untuk mengerjakan soal-soal. Aku sedikit lega mendengarnya.
Pelajaran matematika berlangsung dengan cepat, entah mengapa pelajaran kali ini terasa begitu mudah bagiku. Padahal semalam aku belum memperlajarinya. Pergantian pelajaran tiba dan seperti biasa Ranti selalu menoleh ke belakang untuk mengambil buku di dalam tasnya.
Dengan sengaja aku perhatikan dia dan sepertinya dia menyadari, mata kami bertemu. Aku langsung tersenyum menyapa.
“Aku boleh pinjam buku catatan matematikanya?” pintaku dengan sopan.
Ranti tersenyum, menganggukkan kepala kemudian menyodorkan buku catatannya ke arahku.
“Terima kasih,” ucapku lagi.
“Iya.” Suara imut nan menggemaskan itu sudah keluar dari bibir Ranti dan aku suka mendengarnya.
Kemudian Ranti sudah bersiap hendak membalikkan badan, tapi aku kembali bersuara dan membuat dia mengernyitkan alisnya.
“Terima kasih sekali lagi, ya!! Karena sudah datang ke pertandingan kemarin,” imbuhku.
Ranti terdiam beberapa saat kemudian tersenyum sambil mengangguk kembali.
“Iya.” Lagi-lagi suara imutnya terdengar merdu di telingaku dan aku langsung tersenyum. Aku suka akhir-akhir ini kami semakin sering berinteraksi, tidak seperti sebelumnya. Siapa tahu setelah ini aku bisa semakin dekat dengannya.
Waktu istirahat tiba, aku sengaja ke kantin bersama Erwin. Kami sudah kelaparan dan ingin segera mengisi perut dengan bakso. Erwin sudah memesan bakso untuk kami berdua. Baru saja aku memasukkan satu buah baso ke mulutku, tiba-tiba datang beberapa orang adik kelas menghampiri dan langsung duduk di sampingku.
“Kak Adit, ya!! Kak, aku Wulan. Aku mau ucapin selamat. Gara-gara Kakak sekolah kita menang ... .”
Aku tidak mendengar lagi apa yang dikatakan adik kelasku itu. Bicaranya nyerocos kayak gak ada remnya. Erwin yang duduk di depanku sampai ketawa melihat ekspresiku. Ujung-ujung pembicaraan Wulan yang panjang tanpa rem cakram itu adalah dia pengen kenalan denganku. Pengen lebih dekat katanya.
Aku pengen ketawa mendengarnya. Apalagi Erwin, dia sudah menahan tawa sedari tadi membuat perutku geli saja.
“Gimana, Kak. Mau kenalan lebih dekat denganku?” pungkas Wulan kemudian.
Aku menelan ludah sambil menelan sisa kuah bakso di mulutku. “Loh, bukannya tadi sudah kenalan kok minta kenalan lagi,” jawabku dengan entengnya.
“Eng ... maksudku lebih dekat, Kak.”
“Lah ini duduknya juga udah dekat. Kalau terlalu dekat ‘kan gak boleh katanya.” Lagi-lagi aku mencoba bicara santai. Sepertinya Wulan tidak suka dengan jawabanku, dia langsung cemberut dan memajukan beberapa senti bibirnya.
Lalu dengan lesu, Wulan bangkit. “Ya udah, Kak. Kalau gitu.” Dia sudah pamit pergi meninggalkanku dan Erwin begitu saja.
“Nah loh, Dit. Anak orang dibikin nangis.”
“Apaan sih, Win? Wong dia udah kenal namaku pakai minta kenalan lagi. Aneh, kan?”
Erwin mengangguk sambil tersenyum. “Iya, aneh. Gara-gara futsal kemarin kamu langsung jadi artis, Dit.”
Kami sudah berjalan meninggalkan kantin kini. Aku hanya tersenyum mendengarkan ucapan Erwin. Andai saja yang berkata seperti Wulan tadi Ranti, pasti lain ceritanya. Aku tentu tidak akan menjawabnya dengan ketus dan tentu saja tidak membuatnya cemberut. Sayangnya saja itu bukan Ranti.
“Eh, kamu jadi pinjam buku catatannya Ranti, Dit?” Erwin bertanya lagi.
“Iya. Emang kenapa?”
Erwin menghela napas panjang. “Ya ... padahal aku mau pinjam. Catatan Ranti itu rapi dan enak dibacanya.”
“Ya udah nanti kalau udah selesai aku pinjemin.” Erwin tersenyum kesenangan.
Memang kami butuh banget buku catatan itu mengingat dua minggu lagi akan diadakan ujian akhir semester. Sebentar lagi aku akan menginjak kelas 9 dan setelah itu berlanjut ke jenjang yang berikutnya. Apa itu artinya aku akan segera berpisah dengan Ranti dalam waktu dekat ini?
Entahlah, aku tak tahu. Bisa jadi, sekolah tidak mengacak kelas kami, bisa juga iya. Lalu bagaimana dengan perasaanku? Apa aku terus menyimpannya tanpa pernah memberitahu ke Ranti? Lalu bagaimana kalau dia malah tidak memiliki rasa yang sama denganku. Ini masih terlalu awam, masih terlalu jauh perjalananku. Biarkan saja seperti ini.
Namun, semua yang aku katakan di perjalanan menuju kelas langsung menguar ke udara. Aku terkejut begitu masuk ke dalam kelas melihat Ranti sedang duduk bersebelahan dengan Arik. Jengkelnya lagi mereka sedang asyik bersenda gurau. Memangnya apa yang membuat Ranti tertawa seperti itu. Apa Arik lebih menarik dari aku?
Aku geram, berjalan dengan cepat melewati bangku Ranti lalu duduk dengan sengaja menghempaskan pantatku.
“Sialan!!” makiku dalam hati.
Aku gak mau memakinya terang-terangan. Bisa-bisa Ranti mengira aku marah padanya. Padahal saat ini darahku mendidih, dadaku bergejolak dan tangan ini sudah mengepal siap memukul siapa saja.
Tiba-tiba Erwin berdiri sambil membawa buku siap meninggalkan aku.
“Kamu mau ke mana, Win?” tanyaku.
“Lah ini ‘kan waktunya Bahasa Indonesia. Kita duduknya ‘kan cewek cowok, Dit. Masa lupa?”
Aku langsung menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungku ke kursi. Astaga, pantas saja tadi Ranti duduk dengan Arik. Kenapa juga aku sampai lupa peraturan ini? Apa mungkin gara-gara gak masuk seminggu kemarin.
“Hallo, Adit Sayang. Kita ketemu lagi, nih.” Si Genit Yanti, teman sebangkuku sudah menyapa.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Terpaksa aku duduk dengan cewek super cerewet ini selama mata pelajaran Bahasa Indonesia. Untung saja pelajaran Bahasa Indonesia tidak seharian penuh. Kalau tidak, bisa tuli telingaku mendengar suara cemprengnya Yanti.
Tanpa sadar mataku terus melirik ke arah Ranti. Cepat atau lambat, aku harus memberitahu Ranti tentang perasaanku. Aku tidak mau terlambat mengatakan semuanya dan menyesal saat dia sudah menjauh.