Read More >>"> Rumah (Sudah Terbit / Open PO) (Bab 11) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
MENU 0
About Us  

Bumi meregangkan otot tangannya setelah beraktivitas berjam-jam lamanya. Senyumnya masih setia menghias wajah tampannya. Padahal siang ini terik sekali, tapi rupanya tak mampu melunturkan senyum Bumi sejak ia memakai seragamnya pagi ini.

Entahlah, Bumi tak punya alasan khusus mengapa ia bisa tersenyum seperti ini. Bara masih suka bangun kesiangan. Bintang masih suka menyisakan makanannya. Fajar dan Gala masih suka ribut setiap pagi untuk menggoda si bungsu yang cepat ngambeknya. Guntur pun masih cengeng. Semua berjalan seperti biasa. Namun keterbukaan Guntur yang akhirnya mau bercerita sepulang sekolah, Bintang dan penyakitnya, Fajar dan kesulitannya selama kuliah dan struggle adik-adiknyadi hari-hari berikutnyalah yang seakan mengangkat beban-beban itu di pundaknya.


Sedikit berlebihan, tapi memang benar adanya. Bumi merasa hidup. Bumi merasa, bahkan di hari-hari berikutnya, Bumi akan baik-baik saja. Selama ada adik-adiknya, Bumi merasa akan selalu baik-baik saja.


“Udah? Cepet banget,” ucap Kun sambil bertepuk tangan pelan. Laki-laki dengan wajah tampan mirik orang Jepang itu tersenyum ketika melihat Bumi kini menunduk sambil tersenyum malu-malu. Kun ini dulunya kakak tingkat Bumi sewaktu di kampus sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti kuliah. Katanya sih bosan. Dan sejak tau bahwa Bumi membutuhkan pekerjaan untuk menopang ekonomi keluarganya seorang diri, Kun tidak segan-segan membantu Bumi untuk bergabung di kantor pos dekat kampusnya.


Kun ini, walau wajahnya seperti mafia-mafia Jepang (katanya), Kun ini sebenarnya hatinya baik kok. Namanya saja Kurniawan. Entah apa artinya, tapi suatu hari, Kun pernah bilang begitu setelah membantu Bumi membawakan beberapa barang untuk dimasukkan ke dalam truk.


“Hehe... iya,” ucap Bumi ketika Kun merangkulnya dan mengajaknya duduk di dekan lemari pendingin. Tangan kanannya meraih dua botol es teh dan memberikannya pada pemuda di sampingnya. Bumi sempat menolaknya sebelum akhirnya ia menerimanya. Di pelototin Kun soalnya.


“Lagi  semangat nih?” tanya Kun setelah meneguk es tehnya. Bumi menganguguk semangat. “Iya.”


“Pantesan senyum mulu. Adik-adikmu gimana kabarnya?” tanya Kun sambil menyenggol pelan lengannya. Bumi tak langsung menjawab, laki-laki itu menyelesaikan satu tegukan lagi sebelum menjawab pertanyaan Kun.


“Baik, alhamdulillah,” ucap Bumi yang dibalas senyuman oleh Kun yang masih memperhatikan wajah lawan bicaranya. Bumi ini sudah seperti adiknya sendiri. Diam-diam merasa bangga atas usaha Bumi selama ini. Pemuda ini sudah berjuang sekeras itu sampai bisa berada di titik ini. Kun bukannya tidak tau bagaimana kisah Bumi dan adik-adiknya. Bagaimana Bumi harus berperan menggantikan Bapak, Mama dan Langit yang tak ada kabar. Bagaimana Bumi harus menafkahi adik-adiknya. Bagaimana Bumi harus mengubur cita-citanya demi pendidikan adik-adiknya. Kun benar-benar tak habis pikir. Sebesar apa kesabarannya. Mereka sama-sama berhenti sekolah untuk alasan yang berbeda. Jika Kun berhenti karena memang merasa tak cocok, maka Bumi berhenti sekolah untuk mengangkat pendidikan adik-adiknya. Kun masih ingat sekali ucapan Bumi waktu itu,


Pengorbanan itu nggak akan kerasa berat kalo kita ikhlas Mas Kun. Bukan berarti gue ngerasa berat ngelepasin cita-cita, tapi gue mikir, kalo dengan ngorbanin cita-cita gue bisa numbuhin cita-cita lima adik gue, gue bakal ngerasa seneng banget.


Bumi, sebesar itukah kesabaranmu? Kun mengambil nafas dalam, setelah itu merangkul pundak kokoh Bumi. Tertawa. Entah apa yang perlu di tertawakan. Entah mentertawakan dirinya yang tak lebih dewasa dari Bumi, atau mentertawakan semesta yang entah kenapa memperlakukan Bumi begitu kejamnya. Karena sejujurnya, terkadang takdir itu begitu lucu. Hidup hanya sekedar bercanda saja sampai tanpa disadari, kita sudah mencapai puncaknya.


“Kapan-kapan gue harus main ke rumah nggak sih?” canda Kun yang dibalas anggukan oleh Bumi. “Harus dong, nanti gue kenalin adik-adik gue.”


Kun tertawa. Diam-diam membayangkan betapa senangnya bertemu adik-adik Bumi yang selama ini hanya ia dengar lewat cerita di penghujung hari. Tentang Bara yang suka sekali begadang tapi bangunnya selalu kesiangan. Tentang Fajar yang suka sekali membuat saudara-saudaranya kesal. Tentang Gala yang walau seperti berandal tapi dia bisa diandalkan dalam urusan memasak dan bersih-bersih. Tentang Bintang yang suka sekali membuat keributan. Dan Guntur yang tingkahnya di luar nalar dan cengeng. 


“Kun Fayakun!”


Kun memutar bola matanya kesal, lalu menoleh sambil mendengus. “Kun ye Kun! Manggil gitu lagi gue kepang gigi lo!” ucapnya kesal.


Sedangkan di depan pintu gudang, Narnia –perempuan yang ditaksir Kun sejak zaman purba– terkekeh dengan tatapan mengejek. Mereka ini memang suka sekali bertengkar. Bahkan tak ada hari mereka lewati tanpa adu mulut. Barangkali karena itulah Mbak Nia tidak sadar bahwa Kun selama ini menyimpan rasa padanya. 


“Serah gue lah, mau manggil lo Kuntilanak juga suka-suka gue,” ucap Nia sambil melenggang pergi, lalu kembali beberapa menit kemudian. Tangannya menenteng bubble wrap dan gunting untuk ia sodorkan kepada Kun yang berjalan ke arahnya dengan perasaan kesal. Tangan Kun seketika menyahut benda yang disodorkan Nia padanya. 


Bumi menopang dagunya. Memperhatikan kedua seniornya itu masih adu mulut walau tangannya sudah mulai mengemasi paket yang ada di depannya sedangkan Nia mulai mengetik resi. Sebenarnya Bumi ini tidak masalah dengan adu mulut mereka berdua. Lucu saja pikirnya. Mungkin karena Bumi sudah tau bahwa salah satu di antara mereka sudah menyimpan rasa, jadi perdebatan tidak penting itu terlihat menggemaskan di matanya.


“Bumi! Tolongin dong!”


Bumi menoleh cepat, menemukan seorang teman sedang membawa banyak sekali barang di tangannya sampai menutupi setengah wajahnya. Bumi lalu segera menyusulnya dengan kekehan kecil.


“Itu itu, disana. Barangnya banyak banget anjir,” gumam Lukas. 


Bumi mengangguk mengerti, segera menghampiri motor di depan kantor pos. Sedikit terkejut ketika melihat banyaknya barang-barang yang dibawa pengemudi motor itu. Dan kerennya, itu adalah barang-barang yang menurut Bumi, jika dia yang membawanya pasti hanya bisa membawa setengah dari yang dibawa orang itu. Ajaib nian, orang sakti jangan-jangan, pikirnya.


Lepas dari lamunannya, Bumi lalu mendatangi motor tersebut sambil mengambil beberapa barang. Tuh kan, benar, Bumi hanya bisa membawa tiga barang saja. 


“Udah Mas?” tanya Bumi sambil membenarkan posisi barang-barangnya.


“Udah Mas.” Bumi mengangguk dan segera berbalik. Namun kemudian terhenti ketika menyadari bahwa suara yang baru saja ia dengar begitu familiar di telinganya. Seraknya khas sekali.

Bumi lalu berbalik sedikit, sampai terlihat pakaian yang dipakai sopir motor itu. Kaos hitam dengan tulisan ‘beatbox’ berwarna putih. Bumi tau kaos itu banyak yang punya, tapi bekas tip-ex di ujung bawah kanan tidak mungkin semua orang punya kan?


Dengan segera Bumi langsung menyodorkan barang-barangnya kepada Lukas yang baru saja datang menghampirinya. Seketika cemberut saat Bumi hanya menyodorkan barang-barang yang ada di tangannya tanpa mengatakan sepatah katapun. Sedangkan Bumi langsung melenggang tanpa memedulikan Lukas yang ingin sekali protes. 

Bumi berjalan cepat menuju motor beat putih pink di depan kantor pos ketika terdengar suara mesin motor yang dinyalakan. Ada banyak orang yang muncul di pikirannya. Mulai dari Bara, satu-satunya yang punya kaos dengan noda tip-ex di rumah –sebab Bumi tau pasti kejadian di mana Bara tak sengaja menduduki kertas post it milik Guntur yang baru dia tip-ex, Gala, yang bisa jadi pinjam kaos Bara (karena sejak dulu Gala pengen), atau Fajar (yang ini asal nebak saja). Si nomor dua itu langsung mencekal lengan pemuda di depannya –yang Bumi sangka pasti salah satu di antara orang yang ada di pikirannya. Dan benar saja, tepat sasaran.


“Bara?”


Bumi terdiam sejenak, memperhatikan wajah adik pertamanya. Entah kenapa otaknya merasa buntu saat ini. Melihat Bara yang sepertinya juga terkejut mendapatinya berada di tempat ini.
Emosinya ia tahan. Bumi tak ingin kesalahpahaman seperti yang dialami Gala juga terjadi pada Bara. Setelah mengambil nafas dalam, Bumi memutuskan untuk bertanya tanpa menyudutkan. Bumu harap kali ini, langkahnya tak lagi salah.


+++


Sejak dulu, Bumi selalu melarang adik-adiknya untuk bekerja lebih dari menjaga warnet Mas Irwan kecuali untuk magang. Bukan karena Bumi tak ingin adik-adiknya tak memiliki pengalaman bekerja, Bumi hanya ingin semua adik-adiknya fokus dalam pendidikannya. Bumi hanya mengizinkan mereka bekerja jika sedang ada tugas kerja lapangan atau magang di suatu tempat, tak masalah. Karena itu juga bagian dari pendidikan mereka. Bumi tak mengizinkan mereka bekerja selain itu, walau ia tau maksud mereka hanya ingin membantunya, tapi Bumi tetap melarang keras mereka bekerja. Bagi Bumi, itu kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga. Kewajiban adik-adiknya hanya belajar.


“Nih,” ucap Bumi sambil menyodorkan secangkir kopi kepada adik di depannya. Bara sendiri hanya mengangguk pelan, tak berani menatap Bumi di depannya.


Bumi mengambil nafas dalam. Meredam sekuat tenaga emosi yang sempat ingin ia luapkan. Kejadian Gala menjadi salah satu pelajaran yang tak akan pernah Bumi lupakan. Si nomor dua itu masih menatap Bara intens, membuat Bara semakin tak enak dibuatnya.


“Jelasin.” Tak sedingin intonasi ketika menyidang Gala di rumah, Bumi mencoba merendahkan lagi nada bicaranya. 


“Gue kerja Mas,” hanya itu yang mampu Bara ucapkan. Apa lagi? Memang benar kan bahwa dia bekerja? Bara tak mau mencari alibi sekedar membantu teman atau apapun itu. Mencari-cari alasan hanya akan memperpanjang masalah.


“Uangnya kurang? Butuh uang tambahan?” tanya Bumi.


Bara menggeleng. “Enggak Mas,” jawabnya masih tak berani mengangkat kepalanya. Sedangkan Bumi menghela nafasnya. Tidak, dia harus menahan emosinya. Tak perlu dibentak, Bara bukan lagi anak kecil.


“Terus kenapa? Kenapa kerja Aldebaran?” bulu Bara meremang ketika Bumi memanggil nama lengkapnya. Entahlah, sejak dulu Bumi hanya akan memanggil Bara dengan nama lengkapnya ketika dia benar-benar sedang serius. Mungkin karena itu Bara selalu merinding ketika Bumi memanggilnya begitu.


Bara mencoba menelan ludahnya susah payah. “Buat bantuin Mas biayain rumah sakit Bintang.”


Bumi menyandarkan punggungnya. Tangannya menutupi wajahnya sejenak, lalu mengusapnya kasar. Ia tau hal seperti ini akan terjadi cepat atau lambat. Pasti akan ada salah satu di antara adik-adiknya yang nekat mencari uang untuk membantunya. Bukannya Bumi tidak merasa berterimakasih. Bumi sangat terharu sejujurnya. Bumi hanya tak ingin adik-adiknya sakit karena harus memikirkan dua hal dalam satu waktu. Bukan pula Bumi tidak percaya adik-adiknya. Bumi hanya khawatir, sungguh.


“Gue nggak tega kalo ngeliat lo sampe lembur gitu. Padahal watu itu Bintang belum sakit. Gue nggak bisa bayangin gimana lo kerja pas tau kalo Bintang sakit,” lanjut Bara.


Aldebaran, apa kau sedang mengasihani kakakmu? Bukankah kau tau bahwa kakakmu ini tak mau dikasihani? Kakakmu ini bisa melakukan banyak hal asal kau tau. Mengasihaninya hanya akan mematahkan dirinya Aldebaran. Rasa kasihan dari orang lain itu amat menyakitkan.


“Lo nggak perlu ngelakuin itu Bara.”


“Tapi gue ngerasa perlu Mas.”


Jeda sebentar. Membiarkan hati mereka yang berbicara tak karuan disana tanpa ada yang mendengar. 


“Gue juga sakit setiap liat lo pulang tengah malem, berangkat paginya lagi, pulang lagi malem-malem. Gue juga ikutan sakit Mas, gue ikut capek.” Bara menatap kakak keduanya yang masih menutup wajahnya. Menahan semuanya di dadanya.


“Gue lebih sakit liat lo kerja Bara. Gue akui gue capek, tapi ngeliat kalian belajar tanpa harus mikir besok bakal makan apa udah cukup buat gue,” ucap Bumi.


“Gue bukan anak kecil lagi Mas, gue bisa jaga diri, gue bisa ngatur waktu,” bela Bara. Sedangkan Bumi menggeleng. Sudah cukup hanya dia saja yang memikirkan apakah adik-adiknya kekurangan setiap malam sebelum tidur. Cukup dia saja yang memikirkan apakah gajinya cukup untuk makan sebulan. Cukup dia saja yang memikirkan bagaimana cara mem-bayar semua tunggakan yang ada. Cukup dia saja. Adik-adiknya biar senang saja.


“Sejak kapan lo kerja?” tanya Bumi setelah terdiam cukup lama.


“Sejak Bintang sakit.”


Bumi menghela nafasnya.  “Bara, habis ini lo berhenti, cukup fokus sekolah aja ya dek,” ucap Bumi tak memberi Bara cela untuk membela dirinya. “Biaya rumah sakit Bintng biar Mas yang urus. Gue bisa kok, tunggakan Mama sama Bapak udah selesai, jadi ada uang lebihnya.” Bara juga tau itu Mas, tapi Bara Cuma pengen bantu Mas kerja buat adik-adik Mas. Bara Cuma pengen bisa kayak Mas. Pengen bisa setegar dan sekuat Mas.


“Lo gaperlu sampe kerja-kerja kayak gini dek, biar Mas aja, Mas masih mampu kok. Kalo mau bantu Mas, urus rumah sama adik-adik aja di rumah. Mas nggak sepeka kamu soalnya.”


Bukan itu maksud Bara Mas…


“Bukan gue ngelarang lo kerja, atau biar lo ga punya pengalaman kerja Bara. Gue Cuma pengen lo fokus aja sama sekolah lo. Fokus sama pendidikan. Seenggaknya lo bikin bangga Bapak Bara, lo jadi sarjana. Anak Bapak jadi sarjana.”


Bara mengernyit. Kenapa hanya dia yang disebut? Kenapa hanya dia dan adik-adiknya yang disebut? Kenapa ‘lo’ dan anak bapak? kenapa bukan ‘kita’?
“Kenapa harus gue dan anak-anak Bapak? Lo kan juga sekolah?” pertanyaan Bara lolos begitu saja sebelum Bumi menyelesaikan dialognya. Membuat terdiam Bumi yang kini menatap Bara sendu.

“Kenapa lo sampe segitunya pengen kita jadi sarjana Mas? Apa yang nggak lo capai sampe lo pengen kita sampe di sana?”


Bumi tau maksud pertanyaan Bara. Bukan untuk mengatai dirinya yang ambisius atau terlalu menekan adik-adiknya. Bara ingin tau, apa yang menjadi kegagalan terbesar seorang Bumi sehingga ia sangat ingin adik-adiknya mencapainya untuk mengangkat nama Bapak?


“Karena gue udah nggak sekolah, Bara.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
FIREWORKS
438      309     1     
Fan Fiction
Semua orang pasti memiliki kisah sedih dan bahagia tersendiri yang membentuk sejarah kehidupan setiap orang. Sama halnya seperti Suhyon. Suhyon adalah seorang remaja berusia 12 tahun yang terlahir dari keluarga yang kurang bahagia. Orang tuanya selalu saja bertengkar. Mamanya hanya menyayangi kedua adiknya semata-mata karena Suhyon merupakan anak adopsi. Berbeda dengan papanya, ...
Prakerin
6744      1859     14     
Romance
Siapa sih yang nggak kesel kalo gebetan yang udah nempel kaya ketombe —kayanya Anja lupa kalo ketombe bisa aja rontok— dan udah yakin seratus persen sebentar lagi jadi pacar, malah jadian sama orang lain? Kesel kan? Kesel lah! Nah, hal miris inilah yang terjadi sama Anja, si rajin —telat dan bolos— yang nggak mau berangkat prakerin. Alasannya klise, karena takut dapet pembimbing ya...
Acropolis Athens
4451      1828     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.
Premium
Dunia Tanpa Gadget
10003      2758     32     
True Story
Muridmurid SMA 2 atau biasa disebut SMADA menjunjung tinggi toleransi meskipun mereka terdiri dari suku agama dan ras yang berbedabeda Perselisihan di antara mereka tidak pernah dipicu oleh perbedaan suku agama dan ras tetapi lebih kepada kepentingan dan perasaan pribadi Mereka tidak pernah melecehkan teman mereka dari golongan minoritas Bersama mereka menjalani hidup masa remaja mereka dengan ko...
Kala Badai Menerpa
1046      514     1     
Romance
Azzura Arraya Bagaswara, gadis kelahiran Bandung yang mencari tujuan dirinya untuk tetap hidup di dunia ini. Masalah-masalah ia hadapi sendiri dan selalu ia sembunyikan dari orang-orang. Hingga pada akhirnya, masa lalunya kembali lagi untuknya. Akankah Reza dapat membuat Raya menjadi seseorang yang terbuka begitu juga sebaliknya?
Langit Indah Sore Hari
113      98     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Miracle of Marble Box
2505      1190     2     
Fantasy
Sebuah kotak ajaib yang berkilau ditemukan di antara rerumputan dan semak-semak. Alsa, Indira dan Ovi harus menyelesaikan misi yang muncul dari kotak tersebut jika mereka ingin salah satu temannya kembali. Mereka harus mengalahkan ego masing-masing dan menggunakan keahlian yang dimiliki untuk mencari jawaban dari petunjuk yang diberikan oleh kotak ajaib. Setiap tantangan membawa mereka ke nega...
Teman Berakhir (Pacar) Musuhan
572      362     0     
Romance
Bencana! Ini benar-benar bencana sebagaimana invasi alien ke bumi. Selvi, ya Selvi, sepupu Meka yang centil dan sok imut itu akan tinggal di rumahnya? OH NO! Nyebelin banget sih! Mendengar berita itu Albi sobat kecil Meka malah senyum-senyum senang. Kacau nih! Pokoknya Selvi tidak boleh tinggal lama di rumahnya. Berbagai upaya buat mengusir Selvi pun dilakukan. Kira-kira sukses nggak ya, usa...
Cinta dalam Impian
101      80     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
Jelek? Siapa takut!
2823      1273     0     
Fantasy
"Gue sumpahin lo jatuh cinta sama cewek jelek, buruk rupa, sekaligus bodoh!" Sok polos, tukang bully, dan naif. Kalau ditanya emang ada cewek kayak gitu? Jawabannya ada! Aine namanya. Di anugerahi wajah yang terpahat hampir sempurna membuat tingkat kepercayaan diri gadis itu melampaui batas kesombongannya. Walau dikenal jomblo abadi di dunia nyata, tapi diam-diam Aine mempunyai seorang pac...