“BUSET! MAS! TOLONG MAS! GUE BUTA! GUE BUTAAAAAA!!!!”
Gala yang baru saja tertidur langsung terjingkat ketika suara teriakan Guntur –yang kebetulan satu kamar dengannya– mengagetkannya. Padahal si nomor lima itu baru saja menjemput bunga tidurnya, tapi suara berisik Guntur yang berteriak bahwa ia buta membuka paksa matanya yang sebenarnya sudah sangat lengket. Bimbel hari ini pbenar-benar brutal. Dengan teganya, Pak Dharma menambah jam bimbel kelas duabelas dari dua jam menjadi lima jam. Membuat Gala mau tidak mau kehilangan waktu tidur siang –sore– nya. ujian kelulusan memang dekat, tapi YA NGGAK GITU JUGA.
“MATI LAMPU GOBLOK!” tak lupa Gala mengumpat. Tangannya mengelus dadanya sambil menggumamkan kata sabar. Walau sebenarnya ia juga sempat panik sebentar ketika melihat sekelilingnya gelap. Diam-diam merutuki Guntur yang masih saja bergumam ‘gelap’. Salah Guntur juga sih, habis sholat maghrib kok tidur.
Gala mengusap kasar wajahnya ketika Guntur masih saja merengek di atas ranjangnya. Si nomor lima itu lalu bangkit, tak peduli fakta bahwa ia masih memakai piyama kuning polkadotnya, menarik tangan Guntur dan menuntunnya keluar kamar. Gala dengar suara bising di bawah, pasti saudara-saudaranya ada di sana. Itulah kenapa ia memutuskan untuk keluar kamar saja. Lebih baik mendengar suara bising orang ngobrol daripada suara bising Guntur.
“Kok bangun?” tanya Mas Bumi sambil membawa nampan dengan bubur dan air minum untuk Mama.
Gala mendengus. “Gimana nggak bangun, orang ada klakson di kamar gue,” ucapnya sebal sambil melemparkan diri ke atas sofa. Membaringkan tubuh lelahnya di sana. Yang merasa disebut menulikan telinganya, masih merengek lebih tepatnya. Sedangkan Mas Bumi hanya mengangguk.
“Tadi bukannya rame, kok udah nggak ada orang?” tanya Gala sambil celingukan.
“Itu tuh, di depen. Lo gabung aja. Gue nyusul,” ucap Mas Bumi sebelum benar-benar melangkahkan kakinya masuk ke kamar Mama.
Gala menatap Guntur yang kini juga melempar pandang ke arahnya. Wajah ketakutan Guntur bisa masih terlihat walau samar lewat pencahayaan dari lampu emergency dari dapur. Gala lalu memberi isyarat dengan dagunya, menyuruh Guntur untuk segera pergi ke luar, yang dijawab Guntur dengan isyarat dagunya juga. Terus lo gimana? Kira-kira begitu artinya. Sedangkan Gala tak menjawab, wajahnya ia benamkan di sandaran sofa. Entah itu isyarat bahwa ia lebih ingin tetap di sini atau memang Gala tidak paham isyarat Guntur.
Sedangkan Guntur hanya menggaruk tengkuknya tak gatal, lalu pergi ke luar menyusul tiga yang lainnya. Baru menginjakkan kaki di teras rumah, Guntur sudah disambut oleh banyak hal. Dinginnya malam, suara sumbang Mas Fajar (ah bohong itu, sebenarnya suara Mas Fajar bagus kok, Guntur saja yang gengsi mengatakannya,) dan suara ribut Bintang yang mendebatkan hal-hal yang tidak penting. Guntur lalu mulai menempatkan dirinya di samping Fajar yang masih bersenandung sambil bersandar di tiang teras rumah.
“Ngancani nanging ora iso nduweni~”
Guntur meringis jijik ketika Fajar yang masih menyanyikan lagu yang entah apa judulnya itu mulai menopang dagu dan mengayunkan kepalanya pelan. Akhir-akhir ini Fajar jadi suka lagu galau. Mencuci motor, menyapu rumah, bahkan menjemur cucian pun menyanyikan lagu galau. Entah apa yang terjadi padanya.
“Galau mulu Mas, kenapa sih?” Guntur angkat bicara. Si nomor tujuh itu mungkin terlalu muda untuk mengerti cinta-cintaan. Atau mungkin memang ia tidak peduli.
“Rungkad Tur, lo nggak akan paham, masih kecil,” jawab Fajar tanpa membuka matanya. Si nomor empat itu lalu melanjutkan lagunya. Membuat Guntur dilema. Si bontot itu menoleh ke arah Bintang dan Bara yang kini sedang mendebatkan kenapa orang-orang membalas budi, padahal dia tidak salah. Mendengarnya dari sini saja membuat Guntur pusing, apalagi jika ia duduk di dekat mereka. Mending duduk di sini, di samping Fajar yang kini mengganti lagunya. Setidaknya suara Fajar yang (katanya) sumbang lebih menghiburnya daripada suara ribut Bara dan Bintang.
Sedangkan di tempatnya, Gala masih menenggelamkan kepalanya di sandaran sofa. Si nomor lima itu masih memejamkan matanya saking ngantuknya dia. Maklum, mabok rumus katanya. Sebenarnya Gala belum tidur. Matanya saja yang terpejam. Walaupun terlihat damai dalam tidurnya, sebenarnya diam-diam Gala ini menyimpan was-was. Suara bising di luar –nyanyian Fajar yang seolah-olah menjadi backsound perdebatan Bara-Bintang– bahkan tidak bisa mengusir khayalan seram Gala. Si nomor lima itu tetap memejamkan matanya sampai suara jatuhnya botol Guntur yang semula diletakkan di atas kulkas terdengar, membuka paksa mata Gala yang awalnya terpejam. Pikirannya melayang kemana-mana. Padahal bisa saja botolnya terjatuh karena angin dari luar yang berhembus kencang. Degup jantungnya semakin cepat. Membuatnya mau tak mau melangkahkan kaki meninggalkan sofa biru muda itu menuju teras rumah. rupanya Gala terlalu takut untuk diam di tempatnya.
“Loh, kok bangun? Katanya mau tidur?” komentar Guntur tepat ketika Gala me-nempatkan dirinya di sampingnya. Dirinya yang mengantuk terlalu malas untuk mendengar perdebatan Bara-Bintang di ujung sana. Yah, walaupun suara Fajar juga sedikit mengganggu pendengarannya sebab lagu-lagu galau yang dinyanyikannya. Tapi setidaknya alurnya lebih jelas daripada adu mulut dua saudaranya.
“Nggak jadi ngantuk, lo berisik soalnya,” jawab Gala sambil menunjuknya dengan dagunya.
Sedangkan Guntur membalas ucapan Gala dengan tatapan bingung sambil menunjuk dirinya sendiri. “Gue diem?!”
Alih-alih membalas ungkapan protes Guntur, Gala malah menegur Bara-Bintang yang entah bagaimana ceritanya jadi membahas bubur diaduk atau tidak. “Mending kalian ikut acara debat terbuka deh. Lumayan, banyak cingcong tapi dapet duit.” Bukankah lebih baik begitu? Supaya yang pengang tak hanya teliganya, tapi telinga seluruh rakyat Indonesia.
“Sabi cuy, dapet duit loh,” ucap Bintang sambil menyenggol lengan Bara di samping-nya.
“Boleh, boleh, tapi enaknya ngangkat tema apa ya?”
“Yang ringan aja, komedi gitu.”
“Jangan dong! Yang berbobot dikit kek, sejarah gitu loh.”
“Kayak orang bener aja lo, komedi aja udah!”
“Nggak ya! Nggak ada komedi komedi!”
“Udah sih setuju aja!”
Niat Gala adalah untuk meredakan perdebatan tak berguna mereka demi keselamatan telinganya. Namun bukannya mereda, mereka malah menjadi-jadi. Sepertinya Gala memang harus bersabar.
+++
“Adik-adikmu di depan ya?”
“Berisik ya Ma? Nanti Bumi bilangin biar nggak rame-rame,” ucap Bumi yang dibalas gelengan pelan dari Mama. Bumi yang masih menyendokkan bubur di mangkuk diam-diam menyimpan bingung. Padahal adik-adiknya memang seramai itu.
“Nggak usah lah Mas, biarin aja,” ucap Mama.
Bumi mengangguk tanpa menghentikan tangannya yang mengaduk bubur Mama lalu menyuapkannya. Bumi tersenyum ketika Mama menerima suapan dari Bumi. Pasalnya ini adalah suapan ke sepuluh. Tak seperti biasanya. Kemarin-kemarin, Mama hanya akan makan paling banyak lima suapan. Bahkan biasanya, bubur yang Bumi siapkan hanya habis seperempatnya. Tidak, bahkan lebih sedikit dari itu. Tapi malam ini Mama sudah makan suapan ke sepuluh. Apa mungkin karena tadi pagi Mama tidak mau makan? Pikir Bumi.
Ada banyak kebaikan di hari Kamis ini. Salah satunya adalah Mama yang menerima suapan ke sebelas dan Mama yang menanyakan kabar adik-adiknya. Sejak Bumi duduk di sini, Mama sudah banyak bertanya padanya. Namun bukan pertanyaan tentang Mas Langit seperti biasanya. Melainkan pertanyaan bagaimana sepeda Guntur (sebab seingat Mama, rantainya suka lepas sendiri), kuliah Fajar dan Bara, bimbel Gala, dan sekolah Bintang. mama juga bertanya hal-hal kecil tentang mereka. Tentang Guntur yang masih sering merusak barang-barang di dapur. Tentang Bintang yang suka makan buah manggis. Tentang Gala yang suka memasak. Tentang Fajar yang suka mentertawakan hal-hal kecil. Tentang Bara yang suka terlambat tidur karena main game. Mama menanyakan mereka semua. Mama ingin tau kabar mereka. Bukan lagi Mas Langit yang terus-terusan ditanyakan. Setidaknya Bumi tau bahwa Mama masihlah sayang pada mereka.
“Mama jadi inget dulu kalo mati lampu sering duduk di teras, itu idenya Bapakmu kan?” Benar, itu ide Bapak. Sebab waktu itu, Guntur menangis kencang karena takut gelap. Bahkan boneka sinchan milik Fajar tidak bisa menenangkannya. Itulah kenapa Bapak mengajak anak-anaknya untuk duduk di teras. Membicarakan hal-hal kecil sampai hal-hal besar.
“Ketakutan terbesar itu berasal dari diri sendiri. Kayak adek yang takut gelap. Adek itu bukannya takut gelap, tapi takut ada apa-apa pas lagi gelap. Padahal aslinya nggak ada apa-apa kan?” ucap Bapak sambil mengelus lembut punggung Guntur yang masih sesenggukan walau sudah duduk bersama di teras. “Makanya, untuk menjadi kuat, kita perlu mengalahkan rasa takut kita terhadap apapun.”
Bumi mengangguk. Ikut teringat masa-masa itu. Si nomor dua itu lalu kembali menyuapkan suapan ke duabelas yang ditolak halus oleh Mama. Tak apa. Mama sudah makan banyak malam ini.
“Mas, ke depen yuk, Mama kangen adek-adekmu.”
Tak hanya Bumi yang terkejut dengan penuturan Mama malam itu. Bara dan Bintang yang masih sibuk berdebat tentang apa bedanya katak dan kodok, Fajar yang asyik bernyanyi dan Gala-Guntur yang sibuk bengong ikut terkejut dengan hadirnya Mama dengan kursi roda dan Mas Bumi yang berseri-seri wajahnya ketika mendorongnya. Ada binar terang di mata mereka. Setelah sekian lama tak melihat wajah Mama, mereka rindu. Dengan segera mereka memposisikan diri mereka duduk melingkar di dekat Mama. Wanita paruh baya itu, Mama mereka entah kenapa terlihat sangat cantik malam ini. Tidak, Mama memang selalu cantik. Tidak peduli malam ini atau malam-malam sebelumnya.
“Mama! Guntur kangen banget sama Mama!!” ucap Guntur riang sambil tersenyum lebar yang diikuti oleh yang lainnya. Membuat desiran hangat di dada Bumi yang me-lihatnya.
“Bara juga! Bara juga!”
“Gala juga loh Ma!!”
“BINTANG MA BINTANG!!”
“Fajar juga kangen Ma!!”
Mama tertawa. Tawa yang selalu menjadi candu bagi putra-putranya. Tawa yang mereka rindukan. Tawa yang selalu terdengar merdu walau sudah tak seperti dulu. Mama mereka tak berubah. Walau penyakit ganas itu menggerogotinya. Mama masih sama. Dan Mama tak akan berubah.
“Ma, tau nggak Ma? Guntur punya banyak temen loh di sekolah!” ucap Guntur sambil menepuk tangannya berkali-kali. Cerah sekali wajahnya malam ini. Padahal biasanya Guntur itu selalu cemas ketika lampu tak kunjung menyala. Sedangkan Mama, di bawah sinar rembulan, wajah cantik itu tersenyum penuh arti.
“Halah! Habis dibully dia itu Ma!” sahut Fajar yang seketika membuat Guntur merengut. Dipukulnya habis-habisan bahu kakak keempatnya itu dengan brutal. Membuat gelak tawa di teras kian menggema, mengalahkan suara Fajar yang meminta tolong agar ada seseorang yang mau menghentikannya. “Sakit gilak!! Ini kalo gue patah tulang tanggung jawab lo!” ucapnya di sela-sela pukulan brutal Guntur.
“Alay lo,” sahut Bintang sambil mengorek hidungnya khidmat.
Fajar tak ambil pusing dengan menghiraukan ucapan Bintang. Anak itu memang jagonya berkilah. Mending dia mengusap-usap lengannya yang mungkin sudah tepos sebab dipukuli Guntur daripada sakit telinga mendengar jawaban menyebalkan dari adiknya itu.
“Bagus dong, adek jadi nggak kesepian lagi,” jawab Mama, membuat senyum yang sempat luntur oleh ucapan Fajar tadi merekah kembali. Guntur lalu mulai menceritakan teman-temannya.Seperti Gahar yang menjabat menjadi ketua kelas, Rangga yang sukanya tidur di kelas, Laras yang suka membagi bekalnya, dan lainnya. Persis seperti apa yang biasa ia ceritakan setiap pulang sekolah. Persis, tidak kurang, tidak lebih. Bahkan sepertinya Bara dan Gala hafal apa yang akan Guntur ceritakan. Tak lupa ia sempatkan mengejek Fajar atas pembelaan Mama padanya.
“Cie... yang udah punya temen jalan... nggak sepedaan bareng bocil komplek sebelah deh...” goda Gala –sebagai saksi utama Guntur di cafe waktu itu– sambil menoel-noel dagu si bontot yang kini tersenyum malu. Wajahnya memerah sebab ingat waktu itu tertangkap basah oleh Gala yang baru pulang bimbel ketika ia sedang bersepeda dengan bocah-bocah komplek sebelah. Kalian ingat yang Bara sebutkan suka main sepeda pake kancut warna-warni? Iya, itu teman Guntur.
“Ma! Ma! Mas Bara suka makan mie terus Ma!” ucap Bintang sebagai kompor, yang dibalas tatapan tajam dari Bara yang sedang terdakwa.
“Bintang Ma! Jarang mandi dia Ma!!” balas Bara tak kalah heboh.
“Itu gue hemat air ya! Air itu berharga!”
“Halah bilang aja lo males mandi!”
“Dih, kayak lo rajin aja!”
“Rajin lah!”
Berbeda dengan Mama yang tertawa melihat Bara-Bintang yang sedari dulu memang suka berdebat, empat orang tersisa hanya diam sambil menatap mereka bingung. Oh, berbeda lagi dengan Fajar yang kini terlihat seperti mengumpulkan seluruh oksigen untuk ia masukkan ke dalam hidungnya. Si nomor empat itu, setelah bernapas dengan syahdu, ia lalu berdehem. Bukan untuk melerai Bara-Bintang, mungkin Fajar mau menyanyikan sebuah lagu untuk Mama?
“WUSSHHH!!! Gue punya berita besar!” ucap Fajar sambil berdiri dan mengacungkan jari telunjuknya. Seketika menghentikan perdebatan Bara-Bintang sekaligus mendapatkan atensi penuh dari Mama dan saudara-sudaranya.
“Siapa siapa? Tetangga yang mana?” tanya Gala.
“Astaghirullah... dosa La... taubat,” ucap Bara sambil mengelus dadanya dramatis. Sedangkan Fajar, bukannya menjelaskan apa yang ingin ia bicarakan, malah ikut-ikutan mengelus dadanya.
“Berita apa Mas?” tanya Guntur menyadarkan Fajar. Dengan senyum penuh kemenangan, si nomor empat itu lalu mengambil nafas banyak-banyak. “Ini bener-bener besar sih, yang nggak kuat nggak pa-pa nyingkir dulu.” Fajar mendorong-dorong bahu Gala sebagai akting pendukung.
“Iya, iya, apaan dah cepet,” komentar Bara sambil menopang dagunya.
“Ambil minum dulu aja deh, gue yakin kalian pasti nggak kuat-“
“CEPETAN ELAH!”
Fajar kicep, membalas tatapan saudara-saudaranya yang kini menatapnya kesal. Terkecuali Mama yang kini tersenyum. Ah, sejak dulu Fajar memang begitu. Suka membuat saudara-suadaranya kesal karena tingkahnya yang di luar nalar.
“Oke, jadi gini...”
Semua orang kini menatapnya serius.
“Persiapin diri kalian-“
“Kalo ada yang mukul kepala lo dari belakang, jangan tanya gue Jar,” ucap Bara kesal. Sedangkan Fajar –yang sudah tau bagaimana lanjutannya– bertanya dengan senyuman paling menyebalkan. “Kenapa emang?”
“Ya soalnya gue nggak tau siapa, makanya jangan tanya gue,” jawab Bara mematahkan ekspetasi Fajar.
Laki-laki itu merengut, mengabaikan Bara yang kini tertawa penuh kemenangan. Tapi kenapa Guntur dan Bintang juga ikut tepuk tangan?
“Oke, gausah lama-lama-“
“Lo sendiri yang bikin lama.”
Fajar melirik malas Mas Bumi yang daritadi diam tiba-tiba membuka mulutnya hanya untuk mengomentari Fajar yang sudah tinggal sedikit lagi mengatakan berita besarnya.
“Jadi gini...”
Suasana tegang menyelimuti. Semua orang kini memfokuskan atensinya pada Fajar yang kini berdiri dengan tangan diangkat setinggi mungkin.
“BESOK GUE SIDANG SKRIPSI!”
Hening. Entah karena mereka yang masih mencoba mencerna atau mereka yang saking terkejutnya tak bisa berkata-kata. Namun dalam hitungan detik, suara ribut terdengar.
“HAH?!”
“DEMI APA?”
“NYOGOK LO YA?!”
“Sabar saudara-saudara, sabar... gue tau kalian nggak kuat sama berita besar ini,” ucap Fajar sambil bersidekap. Wajahnya songong sekali, tapi mana peduli saudara-saudaranya. Yang lebih menarik saat ini adalah berita bahwa Fajar akan sidang skripsi besok.
Sedangkan si nomor empat, diam-diam melirik Mas Bumi yang juga terkejut dalam diam. Wajah Mas Bumi biasa saja, tapi matanya tak bisa berbohong.
“Kok bisa?” tanya Mas Bumi yang di balas oleh saudara-saudara yang lainnya. Seruan bahwa pasti Fajar bisa sampai di titik itu atau seruan pasti Fajar akan wisuda sebentar lagi memenuhi teras rumah Pak Surya jam sembilan malam ini. Fajar tersenyum, bukan karena saudaranya membelanya, tapi karena ia tau apa maksud pertanyaan Mas Buminya.
Bisa. Pasti bisa. Fajar masih ingat betapa menyesalnya ia ketika di tengah malam yang dingin itu, ia bukannya mengajak Mas Bumi yang baru pulang berbicara sesuatu yang menyenangkan, tapi malah mengatakan bahwa ia ingin menyerah. Ia menyesal. Selelah-lelahnya Fajar selama mengerjakan skripsi, Mas Bumi pasti lebih lelah karena harus membagi waktu serapi mungkin. Ia harus merawat Mama, harus bekerja, nugas juga. Fajar terus-menerus dihantui rasa sesal yang dalam setelah mengeluarkan apa yang ia simpan rapi dalam dirinya. Namun pagi itu, Fajar melihat ada yang berbeda. Seharusnya sama seperti pagi-pagi yang sebelumnya, tapi senyum Mas Bumi yang terus mengembang, dan cerita-cerita kecil Guntur yang akhirnya terbuka dengan kakak-kakaknya sebelum dan sepulang sekolah, disusul oleh pengakuan Bintang yang berkata bahwa selama ini ia sedang sakit, entah kenapa membuat perasaannya menghangat. Keluarga mereka memang hangat, tapi tak pernah sehangat ini. Belum pernah meja makan di pagi dan malam hari ramai bukan karena mereka yang sedang menggoda Guntur atau menistakan Bara. Meja makan menjadi tempat paling hangat untuk mereka berbagi, dan hanya Fajar yang masih diam di tempat.
Apa lagi yang menghalanginya? Pikirnya. Guntur tetap bersekolah walau kejadian tak mengenakkan menimpanya dan berujung punya banyak teman baru. Bintang tetap ceria walau tak ada yang tau kapan batas waktunya. Gala juga tetap menjadi dirinya walaupun dirinya di cap nakal karena sejarah ‘jagoan’nya. Lalu apa lagi yang menghalanginya? Semua orang tetap berjalan meskipun jalur yang mereka lewati bukan maunya, dan semuanya berakhir bahagia. Skenario indah itu sudah di depan mata, sebab bukan manusia yang mengarang atau membuat jalannya, tapi Yang Maha Esa. Bukan berarti tak berliku, karena jalan menurun lebih terasa menyenangkan setelah kita berusah payah berjalan di jalan tanjakan.
Jika mereka saja bisa, kenapa Fajar tak bisa? Ini adalah pilihannya sejak awal. Jika memang tak ditakdirkan untuknya, seharusnya memang tak terjadi padanya. Setelah lamunan panjang sebelum tidur malam, Fajar akhirnya mengerti sedikit dari luasnya hakikat takdir.
“Gue sih curiga lo pake ilmu hitam ya Mas,” ucap Gala sambil mengelus dagunya sok misterius. Fajar yang mendengar ucapan melantur adiknya itu seketika melempar sandal jepit tepos Guntur yang ada di sampingnya. Namun, setelah sibuk mengaduh, alih-alih membalas serangan Fajar, Gala lebih memilih untuk mengejek sandal jepit Guntur yang sepertinya sudah tidak layak pakai. Bagaimana tidak? Sandal jepit hijau putih itu bahkan memiliki lubang kecil di bagian tumitnya sebab terlalu tepos. Menimbulkan gelak tawa semua orang yang ada di teras.
“Sandal murah dekk!! Sepuluh ribuan!!” ucap Gala menirukan gaya mbak-mbak yang ada di aplikasi tik-tok itu. Si bontot yang diejek hanya diam sambil menyambar sandal yang semula diangkat tinggi-tinggi oleh Gala dengan wajah masam. Kayak asam yang biasa dipakai Mas Bumi masak kata Fajar.
“Semoga sidangnya berhasil ya Mas,” suara lembut Mama menghentikan per-tengkaran Gala dan Guntur yang kini mulai membahas kolor bolong Gala. Mengembangkan senyum setiap orang yang mendengarnya. “Sebentar lagi wisuda ya Mas? Masya Allah anak Bapak.”
Fajar menghangat mendengar pujian Mama yang sudah lama ia rindukan. Tak hanya Fajar, semua saudara-saudaranya bahkan ikut senang walau pujian itu di tujukan oleh Fajar. Mereka rindu Mama. Mereka rindu marah Mama, rindu dipuji Mama, rindu suara Mama. Mendengar pujian Mama barusan, Fajar lalu bangkit dari duduknya lalu menggenggam tangan Mama. “Ma, dateng di wisuda Fajar ya Ma?”
Mama mengangguk. Wajah ayunya tersenyum demikian indahnya. Suasana itu tak berlangsung lama sebab Gala yang kembali mengejek bolong di sandal tepos Guntur. Si nomor lima itu bukan tidak suka suasana menenangkan seperti ini, Gala hanya tidak mau menangis. Beruntungnya Guntur yang awalnya duduk anteng memperhatikan wajah Mama langsung terpancing oleh Gala. Dengan segera ia mengejek kaus sangsang Gala yang tetap dipakai walau sudah bolong terkena obat nyamuk. Kembali meramaikan teras yang semula tenang.
Sedangkan di tempatnya, Bumi hanya diam memperhatikan adik-adiknya men-ceritakan hal-hal kecil yang sudah lama ingin mereka ingin ceritakan pada Mama dengan senyum penuh arti. Adik-adiknya tampak benar-benar bahagia malam ini. Selalu ada cerita di meja makan, namun cerita-cerita kecil itu justru terdengar lebih menyenangkan malam ini. Karena ada Mama. Karena ada Mama yang sejak dulu mereka ingin ceritakan tentang hari-hari mereka. Bumi memilih diam di tempatnya. Tak memberi komentar, tidak pula ikut menceritakan hari-hari beratnya. Malam ini biarlah milik adik-adiknya. Ia bisa bercerita lain kali.
Bumi menatap wajah cantik Mamanya yang kini tertawa mendengar cerita Bintang yang sering dianggap adik Guntur ketika sedang berjalan bersama. Membandingkannya dengan rembulan yang ada di atas sana. Tidak menemukan perbedaan, Bumi memilih kembali memperhatikan adik-adiknya yang kini duduk lebih dekat dengan kursi roda Mama. Malam ini, entah apa yang salah dengannya, Bumi seakan melihat ada Bapak dan Langit yang juga duduk di dekat mereka. Mereka ikut tertawa mendengar cerita-cerita yang ada.
Pak, Bapak apa sudah bahagia di sana? Apa Mas Langit juga ada di sana Pak? Monolog Bumi sambil menatap lamat-lamat bayangan Bapak dan Mas Langit yang kini tersenyum ke arahnya.
Malam ini, tak seperti malam-malam biasanya. Malam ini hangat, padahal seharusnya malam ini dingin sebab hujan rintik-rintik turun perlahan. Malam ini hangat dengan tawa yang Bumi harap tak kan pernah padam. Malam ini hangat sebab ada Mama. Malam ini hangat.
Malam ini hangat sebab ada Bapak dan Mas Langit.