Baru dua jam pelajaran dan Annika sudah kelaparan. Padahal ia sudah sarapan. Namun jam pelajaran kedua akan segera mulai dan ia tidak bisa pergi ke kantin. Annika membayangkan makanan yang akan ia beli saat ia berjalan menuju kelas Matematika. Ia akan membeli siomay dan akan menikmatinya sepenuh hati.
Annika duduk di bangku yang berada di barisan tengah. Satu-persatu, para murid pun datang. Gladys yang duduk di depan Annika, melihat gadis itu, ia langsung berbicara dengan semangat, “Piring kamu kan ya, yang gambar bebek itu?”
“Iya. Kenapa, Dys?” tanya Annika, kebingungan dengan maksud Gladys menanyakan hal itu.
“Tadi aku pinjam untuk ambilin Anya buah. Ngga apa-apa, ya,” katanya.
“Ngga apa-apa. Anya … sakit?”
“Iya. Tadi badannya panas banget. Sebenarnya tadi mau berangkat, tapi engga aku bolehin. Punya kamu yang ada di atas meja jadi aku ambil supaya cepat. Udah mau bel soalnya.”
“Oh, ngga apa-apa. Tapi tumben banget Anya sakit. Semoga cepat sembuh, deh.”
Percakapan mereka terhenti saat Kiara datang. Kerudungnya berantakan, sepertinya ini pertama kali Annika melihat kerudung Kiara berantakan. Ia selalu rapi dan enak dilihat, bahkan saat bermain kasti. Saat ini sehelai poninya bahkan sampai keluar dari bagian depan kerudungnya.
“Aku duduk di sini, yaaa,” katanya.
Annika tersenyum dan mengangguk. “Iya. Rambut kamu keluar, tuh, sini aku benerin,” katanya, seraya memasukkan rambut Kiara supaya tersembunyi.
“Udah?”
“Nah, udah,” kata Annika setelah Kiara rapi kembali seperti biasa.
“Tadi habis dari kantor guru dan ngobrol bentar sama Bu Pamela. Huh, untungnya Bu Diana belum datang,” kata Kiara sembari memandang Annika lekat-lekat, lalu matanya melebar, seakan menyadari sesuatu. “Annika! Astaga, maaf ya, semalem aku engga jadi nyusul kamu. Aku mau bilang, tapi waktu keluar dari kamar aku beneran lupa. Kemarin itu aku ada pertemuan olimpiade. Maaf banget. Nanti malem mau, ngga?”
“Nggak apa-apa,” kata Annika, lalu menampilkan bread smile-nya. Jujur saja, di dalam hatinya ia agak merasa jengah dengan permintaan maaf Kiara. Namun, sedetik kemudian ia merasa kalau perasaannya agak tidak pantas untuk dimiliki terhadap seorang sahabat. Jadi, ia menambahkan, “Boleh. Nanti malam aku belajar di ruang rekreasi lagi. Kalau mau ikutan, naik aja.”
“Oh, oke,” kata Kiara, ia mengeluarkan buku Matematikanya, lalu memiringkan kepala. “Kamu kedengaran kayak … marah.”
“Aku enggak marah, loh, cuma … aku ngerti kamu lagi sibuk banget, Ra. Klub sastra, persiapan olimpiade, banyak tugas juga, jadi kamu engga perlu maksain kalau kamu engga sempat.”
Dahi Kiara berkerut, menimbang-nimbang perkataan Annika. “Aku rasa kamu ngga ngerti. Aku ‘beneran’ mau belajar sama kamu tadi malam. Aku lagi punya waktu kosong. Aku ngga maksain sama sekali.”
Kepala Annika sakit. Percakapan yang bermula lembut dan menyenangkan kini naik ke taraf menegangkan. Untungnya, Bu Diana segera datang dan memecah ketegangan di meja bagian tengah itu. Annika dan Kiara sama-sama mengeluarkan buku mereka. Dan ketika pelajaran dimulai, dengan sifat Bu Diana yang semangat dan ceria, membuat mereka lebih santai. Kedua gadis itu sama-sama lebih dari sekedar tahu bahwa tidak baik membawa emosi dari pembicaraan tadi lama-lama. Sehingga dengan cepat Kiara tampak meminjam pulpen Annika (ia telah menghabiskan satu lusin pulpen bulan ini), dan Annika yang menyelipkan candaan-candaan saat mereka bekerja sama memecahkan ‘teka-teki’ yang diberikan oleh Bu Diana.
Meskipun begitu, percakapan tadi masih diingat Annika. Tampaknya begitu pula dengan Kiara, karena saat bel istirahat berbunyi, dan Bu Diana menutup kelas, Kiara berkata, “Aku bakal ikut ke ruang rekreasi nanti malam.”
“Oke, nanti aku tunggu,” jawab Annika dengan senyumnya.
Mereka keluar dari ruang kelas Matematika. Mereka akan berpisah kelas setelah ini, tetapi mereka ingin membeli camilan dulu di kantin. Annika sudah menginginkan siomay lezat yang akan mengganjal perutnya sampai waktu makan siang nanti.
Saat menuruni tangga, mereka bertemu dengan Kak Farida. Annika dan Kiara memberikan senyum ramah mereka. Semua anak Aqiela Ru’ya memang mengenal gadis itu karena patrolinya setiap malam. Annika terus menuruni tangga, meskipun akhirnya berhenti saat mendengar suara Kak Farida. “Annika Celeste Amaryllis, ya?” tanyanya.
Ah, tapi Kak Farida tidak mengenal semua orang yang dilihatnya.
“Iya, Kak,” kata Annika.
Kak Farida tersenyum, sebuah gestur yang selalu ia sembunyikan di balik topeng wajah tegasnya. Ia memberikan sepucuk surat untuk Annika, lalu berkata, “Ini buat kamu. Selamat, ya. Jangan lupa ke auditorium lebih awal hari Kamis nanti.”
Annika melongo. Ia bahkan tak menyadari kalau Kak Farida telah berlalu. Ia melihat surat itu, terdapat logo prefek Aqiela Ru’ya di penutup luarnya. Oh, ini gawat.
“Kamu daftar prefek, Nik?” tanya Kiara.
“Iya,” kata Annika. Ia merasa sedikit linglung. Dear, datangnya surat dengan logo prefek dan ucapan selamat dari Kak Farida sungguh tak disangka-sangka. Keberadaan Kiara di sisinya juga membuatnya sadar berapa kali ia berkata kalau ia sama sekali tidak mau mendaftar prefek. “Ah, aku baru mutusin untuk daftar hari Kamis kemarin. Malam-malam. Lalu kita engga ketemu sampai hari ini, jadi aku engga kasih tahu kamu.”
“Kita ketemu, Ka. Kenapa sih, kamu? Kita kan ngobrol agak lama di mushola, di ruang makan, kita bahkan duduk deketan waktu pelajaran mufrodat malam-malam. Tapi kamu engga bilang apa-apa.”
Suara Kiara yang dingin dan menyiratkan kekecewaan membuat Annika sadar betapa kacau perbuatannya. Ia menuruni tangga, menuju daerah di bawah tangga yang jarang dilewati orang.
“Iya—jujur aja, aku nggak berani bilang karena aku bakal ‘malu’ kalau taunya engga lolos,” kata Annika, mengingat-ingat pertimbangannya dengan dirinya sendiri minggu lalu.
Kiara meraih suratnya, kemudian membaca isinya, lalu berkata, “Selamat ya, Ka, kamu jadi Prefek Budaya dan Kesenian. Kamu bakal lebih banyak kesempatan ketemu sama Alyssa Mossfield. Sekarang, kamu boleh bilang kalau aku harusnya ‘malu’ karena engga keterima.”
“Oh, maaf, bukan maksudku gitu, Ra,” kata Annika, mulai menyadari kesalahan ucapannya. “Itu cuma perasaanku aja. Aku selalu ngerasa malu kalau gagal, makanya aku ragu-ragu mau bilang. Tapi beneran, aku mau bilang tadi malam di ruang rekreasi. Aku harap aku bisa kayak kamu, tetap santai meskipun gagal, tapi sifat itu engga natural ada di dalam diriku.”
“Aku engga santai sama sekali, Ka. Tahu nggak, sih? Untuk jadi ketua prefek, aku harus jadi prefek tahun ini! Tapi Kak Farida bahkan engga melihatku. Aku nggak ngerti kenapa kamu bisa kayak gitu, Ka. Kenapa kamu pilih prefek budaya juga? Kamu tahu aku udah pilih bagian itu.”
Jantung Annika berdegup kencang. Matanya memanas. Ini pertama kalinya ia dan Kiara bertengkar. “Sebenarnya karena aku berpikir pasti menyenangkan kalau kita bisa ikutan makrab bareng, dan lebih banyak aktivitas bareng. Ah, aku bisa mengundurkan diri, kok. Lagi pula—”
“Aku harap kamu bisa berpikir lebih dewasa, Ka,” ucap Kiara mengakhiri percakapan itu. Ia mengembalikan surat Annika, lalu melenggang pergi meninggalkan lokasi itu.
Annika hanya bisa menatap kepergian Kiara dengan nanar. Ia tak percaya dengan apa yang sudah ia lakukan! Ujung-ujung jarinya terasa dingin. Oh, oh, andai ia bisa mengulang waktu. Apa yang ia lakukan sudah seperti musuh dalam selimut, kan, bagi Kiara? Andai saja ia berani mengatakannya kepada Kiara saat bertemu di mushola, atau di kelas, atau saat berpapasan di koridor.
Annika sudah tidak lapar lagi. Ia berjalan linglung menuju kelas selanjutnya. Melawan arus murid-murid yang berjalan ke arah kantin. Bila dilihat sekarang, ia seakan merebut kesempatan Kiara dengan licik dan penuh rahasia. Tapi sebenarnya … ketika menelusuri lagi jalan pikirannya kemarin, ia sangat yakin Kiara akan diterima. Gadis itu jelas-jelas lebih berhak diterima darinya. Ia bijaksana dan beraura seorang pemimpin. Teman-teman lain selalu mendengarkan pendapat dan sarannya. Ide-idenya selalu dipertimbangkan. Dan … ia juga punya kakak yang merupakan seorang ketua prefek. Sementara dirinya sendiri, ia layaknya tikus kecil yang tak pernah muncul ke pertimbangan para guru, karena sebelumnya ia tak pernah menyibukkan dirinya dalam organisasi maupun perlombaan. Kehidupannya hanyalah belajar seperlunya, bermain dengan puas, dan mengurung diri berjam-jam di ruang musik. Annika mengerutkan dahi. Hasil ini sebenarnya sangat mengherankan …
Perlukah ia bertanya pada Ustazah Soraya?
Ustazah Soraya Keihlani yang merupakan direktur Aqiela Ru’ya merupakan pemegang keputusan utama dalam penetapan prefek setiap tahun. Annika mempertimbangkannya, namun tak bisa memutuskan. Ia tiba di kelas selanjutnya dengan murung dan meletakkan kepalanya di meja begitu mencapai tempat duduk yang ia pilih.
Air mata berkumpul di pelupuk matanya. Oh dear, apa yang telah ia lakukan?