Annika lebih sibuk pada minggu keempatnya setelah tiba di Aqiela Ru’ya dibanding minggu-minggu sebelumnya. Tugas datang bergantian, bahkan bersamaan, seakan dengan senang hati menimpuki kepalanya supaya tak bisa beristirahat. Hari Jumat kemarin yang harusnya bisa untuk bersantai pun harus disajikan kepada para tugas dengan hormat. Kalimba yang biasanya Annika mainkan di balkon kini belum ia sentuh selama dua hari. Membaringkan diri dengan tenang pada salah satu rak milik Annika.
Begitu pula dengan Kiara. Ia benar-benar tidak ada waktu bersantai. Ia seakan kembali ke asrama Manna hanya untuk tidur dan makan. Saat bertemu di koridor sekolah atau di mushola, mereka hanya saling menyapa singkat. Senyum mereka sama-sama ceria. Namun, Annika menyadari kalau kantung mata mulai timbul di bawah mata Kiara. Membuat Annika curiga kalau-kalau Kiara masih belajar dengan lampu mati seperti yang dikatakan oleh Runa.
Annika mulai sadar bahwa perbedaan kamar dan kelas mau tidak mau membuat banyak perubahan pada hubungan mereka. Saat mereka sibuk dulu saat SMP, setidaknya mereka bisa bersama-sama. Tapi kini tidak. Aqiela Ru’ya punya peraturan ketat soal bermain ke kamar lain. Para murid tidak boleh terlalu lama berada di kamar lain, atau bahkan sampai tidur di sana. Apabila dilakukan, maka poin anak itu akan dikurangi.
Seharusnya ia sadar sebelumnya. Namun, ia masih menyukai Kiara, dan tidak rela pertemanan mereka merenggang. Sekalipun ia lebih sering bermain dengan Danila atau Sheila, Kiara masih berharap bisa melakukan pertemuan-pertemuan kecil bersama Kiara seperti sebelumnya. Minum susu, pergi ke perpustakaan, menulis review bersama setelah menonton film (anak-anak Aqiela Ru’ya harus menulis review setelah menonton film di ruang rekreasi), bermain kasti, atau sesederhana mengobrol sampai malam seperti sebelumnya.
Setelah shalat Isya, ustazah Medina mengajar kitab ‘Akhlaqul Banaat’ pada murid-murid asrama Manna. Annika duduk di samping Danila, yang tengah serius mencatat. Sementara itu, Kiara berada di barisan yang lumayan jauh, ia duduk bersama teman-teman sekamarnya.
Setelah pelajaran selesai, murid-murid segera naik ke atas untuk belajar. Beberapa murid ada yang telah menyiapkan buku-buku mereka di ruang makan. Mejanya yang besar membuatnya cocok jadi tempat belajar kelompok. Namun, Annika sudah punya ide mengenai tempat belajarnya yang terbaik malam ini.
Belajar di kamar memang nyaman, namun lama-lama jenuh juga. Annika membutuhkan suasana baru. Jadi, setelah melepas mukena, ia mengambil buku dan gelasnya. “Aku mau belajar di atas, Dan. Mau ikut?”
Danila menggeleng, wajahnya menunjukkan penyesalan. “Aku ada tugas Sastra Kirania sama Gladys. Mau belajar di kamar aja.”
“Oke! Aku naik dulu, yaaa,” kata Annika.
Sebelum naik ke atas, Annika turun dulu ke lantai satu untuk mengambil air panas di ruang makan. Rupanya masih antri. Setelah tiga orang, ia baru bisa mengisi gelasnya. Saat ia ingin naik ke tangga, ia bertemu dengan Kiara. Gadis itu membawa buku-buku tebalnya. Ah, ia memang sedang belajar untuk mengikuti olimpiade sains.
“Annika!”
“Iyaaaa. Mau belajar di sini, Ra?”
“Iya. Kamu juga?” tanya Kiara.
Annika menggeleng. “Aku mau di ruang rekreasi,” katanya, diam-diam melihat sekeliling ruang makan. Tetapi baik Ashna, Lumi, maupun anggota klub sastra lain yang Kiara sering belajar bersama mereka tidak ada di sana. Klub sastra di Aqiela Ru’ya sebenarnya merupakan kamuflase bagi klub belajar yang super ambisius. Oleh karena itu, tidak semua orang bisa masuk ke sana.
“Bukannya di atas ramai, ya, Ka?”
“Hehehe, nggak ramai, kok. Nggak ramai kalau Kak Farida lagi keliling,” kata Annika, menyebut kakak kelas yang saat ini masih menjabat sebagai prefek akademik. Salah satu tugas prefek akademik adalah memastikan semua murid belajar malam dengan baik. “Oh, biasanya kamu juga enggak apa-apa belajar di ruang rekreasi.”
“Hehehe. Iya, sih. Cuma … materi yang sekarang aku pelajari lagi susah. Ah, aku ikut kamu aja, deh. Sama aja di sini juga banyak orang. Kamu bikin susu? Mau juga, dong. Tapi antri banget. Kamu naik duluan aja, aku bikin susu dulu nanti nyusul kamu naik.”
“Oke! Aku naik duluan, yaa!” kata Annika dengan senyum cerahnya, lalu keluar dari ruang makan.
Annika bersenandung saat menaiki tangga satu persatu. Saat tiba di rooftop, langit malam kelihatan amat indah. Bintang-bintang berkelip seakan menyapanya. Karena Aqiela Ru’ya terletak di dekat hutan yang tentunya tidak ada hewan-hewan yang membutuhkan lampu untuk menerangi liang mereka, bintang malam selalu terlihat jelas. Mengingatkan Annika pada salah satu musik yang telah lama ingin ia mainkan, yaitu ‘The Wave of Stars.’
Rooftop saat ini telah dipenuhi oleh ratusan pakaian. Menghalangi pandangan Annika menuju gazebo yang letaknya berada di tengah tepi kanan rooftop, salah satu tempat favorit bagi murid-murid Aqiela Ru’ya untuk belajar. Namun, Annika tak perlu melangkah di antara pakaian-pakaian dengan berbagai macam jenis wewangian untuk mendengar bahwa sudah ada orang yang belajar di sana. Kiara pasti senang kalau ia berhasil mendapatkan tempat di sana. Sepi dan tertutup.
Akhirnya, Annika melangkah masuk menuju ruang rekreasi. Ruangan ini adalah satu-satunya ruangan kedap suara di asrama. Televisi layar lebar merupakan pusat perhatian. Sofa-sofa yang nyaman ditata di depan televisi membentuk huruf U, di tengah-tengahnya digelar karpet yang lembut dan tebal. Ruangan ini juga cukup besar, karena harus memuat enam puluh orang penghuni asrama.
Selain area menonton, terdapat pula area membaca buku. Terdapat rak-rak buku kayu yang berjajar dan membentuk ruangan tersendiri. Sofa dengan ukuran lebih kecil terletak di antara rak-rak buku, istimewanya, sofa di sini memiliki meja, tidak seperti sofa di depan televisi.
Ada pula meja ping pong di sudut ruangan serta sebuah treadmill. Intinya, ruang rekreasi merupakan ruangan yang didesain untuk anak-anak asrama berkumpul dan berinteraksi.
Beberapa anak sudah datang dan belajar. Annika mengambil tempat di salah satu sofa yang ada di area rak buku. Ia meletakkan buku-bukunya di atas meja. Untungnya, ia tidak terlalu banyak tugas. Ia hanya perlu mengerjakan sepuluh soal latihan pelajaran Fiqh.
Sampai ia sudah mencapai nomor lima, Kiara belum juga muncul. Annika sampai pergi ke luar ruangan, kalau-kalau Kiara salah paham dan mengira Annika mengajaknya duduk di teras. Namun, Kiara tidak ada. Karena semakin malam dan waktu belajar semakin singkat, akhirnya Annika masuk lagi.
Setelah semua soal sudah berhasil ia kerjakan, Kiara tetap tidak datang. Annika hanya menghela napas. Susu yang ia buat sudah hampir dingin. Sayang sekali kalau tidak diminum sekarang. Tapi mereka selalu meminumnya bersama. Kalau nanti Kiara datang, gadis itu akan merasa ditinggal.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Anak-anak yang belajar sambil tiduran di sofa pun sudah terlelap. (Yang kalau ada Kak Farida datang, mereka akan diberi peringatan keras). Ada tiga orang di karpet yang sedang mengobrol dengan suara rendah, tetapi dua menit tiga menit selalu diselingi tawa keras. Mengambil air panas tidak selama itu, kan?
Mungkin ia harus mengecek Kiara.
Annika meraih jaketnya. Udara malam hari di Aqiela Ru’ya selalu sangat dingin. Itu karena sekolah ini dibangun di kaki Gunung Gardika. Ia beranjak dari mejanya dan berjalan menuju pintu.
Saat ia membuka pintu, seorang gadis juga tengah membuka pintu. Mata Annika melebar. Namun, rupanya bukan Kiara. Melainkan Danila, yang datang dengan jaket putih-merah mudanya. Ia tersenyum pada Kiara. Pipinya yang bulat memerah karena udara dingin. “Oh, udahan belajarnya?”
“Belum. Mau cari Kiara.”
“Ah, tadi dia pergi dan pakai jilbab, enggak tahu ke mana. Kayaknya ada pertemuan.”
Bahu Annika melemas, namun tetap menjaga ekspresi wajahnya. “Oh, kalau gitu … ya udah, deh. Enggak jadi. Kamu udah selesai belajarnya sama Gladys?”
“Udah. Rasanya bosen di kamar aja. Tadi kamu ajak aku ke sini, ya udah aku naik aja.”
“Hehe, ayo, daripada nanti kamu ketiduran,” kata Annika sambil membiarkan Danila masuk ke ruang rekreasi.
Mereka pun belajar bersama untuk kuis besok. Tetapi karena materinya hanya satu bab, mereka tak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Akhirnya mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol. Mereka berbicara tentang masa-masa SMP dulu, yang membuat mereka tak bisa menahan tawa.
Annika tak menyangka malamnya akan berakhir seperti ini. Tapi tidak apa-apa, biskuitnya sudah habis dan susunya sudah ia minum sebelum benar-benar dingin. Saat jam belajar malam berakhir, mereka turun ke kamar dengan perasaan ringan.
Namun, saat menulis di Aqiela Ru’ya daily-nya, Annika ingat kalau ia belum memberi tahu Kiara soal pendaftaran prefek-nya. Namun segera menenangkan dirinya, ah, ia dan Kiara kan memang belum sempat mengobrol tiga hari ini. Ia juga kemungkinan besar tidak diterima. Berbeda dengan Ashna maupun Kiara sendiri yang jelas-jelas akan ditunjuk sebagai prefek. Annika menutup diarinya. Beberapa menit kemudian, lampu dimatikan. Ia dan Danila berbicara sebentar, lalu ia benar-benar tertidur. Ia bahkan tidak sadar saat Ustazah Medina datang untuk mengecek kondisi kamar dan tak sengaja menutup pintu kamar terlalu keras.