Annika baru melihat Kiara seusai shalat Magrib berjamaah. Saat berdzikir, ia melihat Kiara yang shalat di shaf tak jauh darinya. Namun gadis itu tak melihatnya sampai Ustazah Medina meninggalkan tempat imamnya. Artinya, murid-murid sudah diperbolehkan untuk meninggalkan mushala untuk melanjutkan aktivitas mereka.
“Annika,” sapa Kiara dengan ramah saat Annika baru keluar dari mushala. Rupanya Kiara menunggunya di dekat pintu mushala. “Kamu udah makan sore belum? Makan, yuk.”
Rona wajah Kiara yang cerah dan senyumnya yang tulus membuat perasaan Annika membaik. Ia melupakan perbuatan Kiara siang tadi yang membuatnya sedih.
“Belumm. Aku ambil piring dulu, ya.”
“Oke! Aku juga, kok. Jangan lama-lama, ya! Aku mau kasih tahu kamu sesuatu. Penting banget.”
“Pasti! Engga akan lama-lama,” kata Annika dengan senyum cerahnya.
Gadis itu membuktikan perkataannya dengan berjalan secepat mungkin ke kamarnya, lalu kembali lagi ke koridor. Ia sudah melepas mukenanya, menyisakan piyama kelinci yang menggemaskan. Kiara sudah keluar dari kamar satu tanpa perlu Annika menunggunya.
“Yuk, ke ruang makan,” begitu katanya.
Murid-murid Aqiela Ru’ya memiliki kebebasan dalam mengatur waktu sore mereka, kecuali malam setelah Isya, yang wajib digunakan untuk belajar. Oleh karena itu, ruang makan jarang sekali penuh. Ada kelompok anak yang memilih makan sebelum Magrib dan ada yang setelah Magrib.
Ruang makan asrama ditata dengan simpel. Terdapat enam meja panjang yang masing-masing dikelilingi oleh delapan kursi. Meja yang lebih besar lagi menempel tembok, dan berisi berbagai menu yang telah disiapkan oleh juru masak.
Menu sore ini kelihatan lezat, yaitu pepes ikan nila. Annika mengambil sepotong untuk melengkapi nasi di piringnya, begitu pula dengan Kiara. Kemudian mereka pun duduk di kursi yang kosong.
“Kamu mau bilang apa tadi?” tanya Annika.
Kiara senyum-senyum. Matanya sampai berkilau-kilau semangat. “Tapi sebenarnya ini masih rahasia, sih. Jangan bilang ke siapa-siapa, ya.”
“Iya iya, aku engga bilang.”
“Nggak lama, kok. Sebentar lagi semua anak tahu, tapi aku pengen kasih tau ke kamu duluan.”
“Oh. Memangnya apa, sih? Aku udah penasaran, nih.”
“Sekolah mau mengundang Aliyya Mossfield.”
Mata Annika melebar. Aliyya Mossfield. Ia adalah penulis serial ‘Aquatrix Little Sleuth Society,’ atau yang biasa disebut serial ALSS, karena namanya yang panjang. Tak hanya terkenal di Kirania, ia terkenal di negeri-negeri lain pula, seperti Irelia, Xuile, West Firch, East Firch, dan masih banyak lagi. Ia menulis tentang komunitas rahasia lintas negara bagi para gadis kecil yang berhasil menyelesaikan kasus di daerah masing-masing. Plotnya yang cerdas dan kalimatnya yang sederhana membuat karya-karyanya banyak disukai orang dari berbagai usia. Salah satunya Annika. Dan tak sulit untuk menemukan pembaca buku-buku Aliyya Mossfield lain di Aqiela Ru’ya.
“Beneran, Ra? Ya ampun! Aku seneng banget!” pekik Annika tertahan. Matanya berbinar-binar, telapak tangannya sampai mengepal karena saking senangnya.
“Iya! Katanya udah setuju. Cuma aku engga tahu kapannya. Bisa jadi ke sininya akhir semester nanti. Annika! Percaya ngga, sih, kita bakal ketemu Aliyya? Padahal kita terkurung di sekolah ini.”
“Nggak percaya! Aku udah terlanjur mengira kalau aku engga akan ketemu Aliyya selama-lamanya, kecuali kalau aku jadi terkenal juga.”
“Hahaha, sama, sih,” tawa Kiara, lalu menyuapkan nasi ke mulutnya.
“Tapi Ra …”
“Tapi apa?”
“Beneran kan? Nanti aku terlanjur senang taunya engga jadi.”
“Jadi. Insya Allah. Udah deal soalnya. Nih, aku dikasih tahu sama Ashna. Ashna! Siniii,” kata Kiara sambil melambaikan tangannya pada Ashna yang baru saja datang mengambil seporsi nasi.
Ashna tersenyum saat melihat Kiara. Sepertinya, sih, karena wajahnya tertutup masker. Ia berhenti dan duduk di kursi samping Kiara. “Kalian makan berdua terus, ya?”
“Iya, doong. Temenku, nih, dari kelas satu!” kata Kiara ceria.
Ashna geleng-geleng kepala. “Yang temenan dari kelas satu dan ngga terpisahkan kayaknya cuma kalian, ya?”
“Oh, kita kan punya resep rahasia.”
“Apa memangnya?” tanya Ashna sambil membuka maskernya. Kulitnya pucat dan terdapat setitik tahi lalat di ujung hidungnya. Annika yakin, kalau sudah lulus nanti, ia akan paling cepat melupakan wajah Ashna. Ia selalu menyembunyikannya di balik masker. Katanya, ia bisa mendeteksi debu layaknya dust sensor. Kalau ia merasa banyak debu di udara, ia akan pakai masker, dan kalau tak banyak, ia akan menanggalkan maskernya.
“Rahasia, Na. Iya, kan, Ka?”
“Hum! Rahasia,” kata Annika menyetujui.
Ashna mendengkus. “Ya udah, nggak penasaran juga,” katanya, lalu mulai memakan makanannya.
Kiara hanya tertawa saja, Annika juga. Mereka makan dengan damai. Tapi Annika jadi keheranan—Kiara tadi ingin mengatakan sesuatu pada Ashna, kan? Ia menimbang-nimbang dan memutuskan untuk bertanya sendiri saja. Ini terkait Aliyya Mossfield. Bagaimana mungkin ia akan mengabaikannya?
“Oh iya, Ashna. Kata Kiara, sekolah mau mengundang Aliyya Mossfield, ya?”
Mata Kiara melebar. Buru-buru mengunyah makanannya, dan berkata, “Oh iya, hahaha. Aku tadi mau nanyain, ya?”
Annika mengerutkan hidung dan tersenyum, mengejek Kiara. “Iya, kamu bisa-bisanya lupa.”
“Engga tahu, deh, akhir-akhir ini aku kayak lupaan mulu.”
“Iya, Nik. Jangan kasih tahu yang lain dulu, loh. Sebentar lagi bakal ada pengumumannya. Yang pasti setelah pengangkatan prefek tahun ajaran baru,” jawab Ashna. “Oh, kamu engga ikutan daftar prefek, Nik? Kiara katanya udah daftar, loh.”
“Engga deh, aku belum minat,” kata Annika. “Memangnya kamu mau daftar jadi prefek apa, Ra?”
Aqiela Ru’ya merupakan salah satu sekolah di Kirania yang menggunakan sistem prefek untuk menjaga tata tertib sekolah. Anak kelas empat dan lima diperbolehkan untuk mendaftar, yang nantinya akan dievaluasi oleh para guru, kemudian hasilnya akan diumumkan. Ada banyak macam prefek, mulai dari prefek tata tertib, prefek perpustakaan, prefek olahraga, prefek kebudayaan, prefek lingkungan, prefek akademik, prefek kesejahteraan siswa, prefek keagamaan, prefek kebersihan, prefek asrama, sampai prefek sosial. Masing-masing prefek diberikan lencana biru yang menunjukkan kewenangan mereka.
Semuanya dipimpin oleh satu ketua prefek. Untuk menjadi ketua prefek, ia harus memiliki baik karakter, kecerdasan, dan kepemimpinan. Tidak ada pendaftaran, karena jajaran guru langsung yang akan memilihnya. Syaratnya adalah ia telah menjadi prefek pada tahun sebelumnya. Oleh karena itu, setiap anak yang mendaftar sebagai prefek harus tahu kalau kemungkinan mereka bisa menjadi ketua prefek, sehingga jika tidak ada halangan berat, maka mereka tidak boleh menolak.
“Awalnya sih, mau prefek akademik. Tapi sainganku sangat berat. Contohnya, cewek yang ada di sampingku ini,” kata Kiara sembari menunjuk Ashna dengan ujung-ujung jarinya.
“Nggak berat,” protes Ashna setelah mengelap sudut bibirnya dengan tisu.
“Berat,” kata Kiara memutuskan. “Jadi aku daftar prefek kebudayaan. Slotnya yang paling banyak soalnya. Jadi lebih besar kemungkinan diterimanya. Ayo, dong, Ka, daftar bareng!”
“Duh, Ra. Kayaknya baru namaku dibaca Bu Najma aja formulirku langsung dibuang ke tong sampah.”
Kiara tertawa. Ia sampai tersedak, lalu minum air. Tapi Ashna menunjukkan muka seriusnya, layaknya sedang presentasi di kelas. “Nggak boleh berpikiran buruk gitu, Nik. Selama kamu coba, pasti ada peluang untuk berhasil. Bu Najma baik loh, engga mungkin berbuat kayak gitu.”
“Tapi Na, kamu memangnya engga lihat, ya? Bu Najma galak bangettt. Matanya tajam banget kalau ngeliatin kita lagi pegangin alat-alatnya. Nyeremin banget,” kata Kiara setelah membuat dirinya sendiri batuk-batuk. Kini suaranya sudah lebih normal.
“Nyeremin bukan berarti jahat, loh. Inget ngga, dulu waktu tangannya Lumi berdarah kena pisau, Bu Najma yang rawat lukanya. Bahkan kasih cadangan plester buat Lumi.”
Ashna benar-benar orang yang serius. Annika jadi lelah sendiri mendengarnya. Apalagi siang tadi ia baru bertemu dengan Bu Najma. Ia lalu berkata, “Udah udah, aku cuma bercanda,” yang berhasil menghentikan obrolan itu. Meskipun masih harus mendengar teguran akhir Ashna, bahwa ia tidak boleh bercanda sembarangan.
Mereka melanjutkan makan dengan tenang. Sampai Kiara membuka percakapan lagi. “Kalau tahun ini, makrabnya bakal di mana, ya? Apa bakal di Gardika lagi?”
“Mungkin. Lagipula cuma dua kemungkinan. Kecialu sama Pantai Blilis. Jadi, pasti antara dua tempat itu,” jawab Ashna. Kecialu dan Pantai Blilis adalah dua destinasi wisata yang terkenal di Kota Runcana. Kecialu merupakan kawasan wisata yang terletak di lereng Gunung Gardika. Jaraknya hanya setengah jam berkendara dari Aqiela Ru’ya. Sementara itu, untuk mencapai Pantai Blilis, murid-murid harus menempuh dua jam perjalanan untuk mencapainya.
“Prefek ada makrab kayak gitunya?” tanya Annika, takjub juga. Karena Aqiela Ru’ya adalah tipe pondok pesantren yang ketat sekali mengatur keluarnya para murid. Kecuali sakit, mereka hampir tidak mungkin bisa keluar dari kompleks Aqiela Ru’ya.
“Ada! Kata Kak Regina lumayan seru. Nanti tinggal di penginapan atau diriin tenda. Ada api unggun. Banyak permainan. Lalu jalan-jalan. Katanya jalan-jalannya jauh deh, kalau di Pantai Blilis, anak-anak prefek bakal jalan di garis tepi pantai sampai ketemu pantai-pantai lain. Ada sharing-sharing juga, makanya itu deh, biasanya vibe-nya langsung beda kalau mereka udah balik ke asrama lagi,” jelas Kiara.
“Seru banget kayaknya. Dari dulu aku selalu penasaran rasanya jalan dari pantai satu ke pantai lain.”
“Ikutan makanya, Nik,” kata Ashna seraya menatap Annika. Ia telah menghabiskan makanannya. “Ini aku yang kecepetan makannya apa gimana, ya? Kalian kan udah makan duluan sebelum aku,” katanya sembari meletakkan sendok dan garpunya di piring secara tengkurap. Ia mengelap bibir dan memakai lagi maskernya. “Aku duluan, ya. Mau siap-siap shalat Isya.”
“Iyaaa. Duluan aja. Ini Annika makannya memang lama,” kata Kiara pada Ashna yang telah berdiri.
Mata Annika menyiratkan ketidakpercayaan. “Kamu juga! Ikan kamu masih utuh gitu.”
“Nggak, tau. Lihat, bagian bawah badannya udah aku makan,” kata Kiara membela diri sambil membalik ikannya. Memperlihatkan satu sisi yang telah bersih dan hanya menyisakan duri.
Ashna menatap kedua gadis di hadapannya dengan jengah. Ia hanya memperingatkan, “Jangan lama-lama makannya, nanti keburu azan Isya,” lalu meninggalkan meja mereka untuk pergi dari ruang makan.
Annika dan Kiara melanjutkan makan mereka hingga habis. Annika masih penasaran soal makrab para prefek, dan menanyakan hal itu pada Kiara. Aqiela Ru’ya memiliki peraturan ketat soal keluar sekolah. Murid-muridnya hanya boleh keluar sekolah setiap tiga bulan sekali, yaitu saat hari penjengukan. Itu pun mereka harus bersama orang tuanya. Jadi jika ia tidak dijenguk, maka tidak boleh keluar kompleks sekolah sama sekali. Itulah mengapa bisa menjajaki dunia luar sungguh menarik bagi murid Aqiela Ru’ya, salah satunya Annika.
Dengan senang hati, Kiara menjelaskannya pada Annika, “Didampingin sama ustazah. Ada tukar kado juga.”
“Beneran? Beli kadonya gimana?” tanya Annika, mengingat murid-murid Aqiela tidak diperbolehkan membawa uang. Dalam bertransaksi, sehari-hari mereka menggunakan kartu pelajar yang telah diisi dengan sejumlah saldo. Yang tentunya, hanya berlaku di dalam sekolah saja. Misalnya kafetaria, minimarket sekolah, Aqiela Blooms, dan lain-lain.
“Terserah, sih. Bisa beli di minimarket, atau kalau mau, nanti saldo kita diuangin di ustazah, lalu bisa untuk belanja, deh, di luar sekolah.”
“Oh, seru banget. Kalau aku pasti beli di luar sekolah. Di deket sini kan ada toko aksesoris yang lumayan besar. Mantap ya, privilege jadi prefek.”
“Iya! Makanya itu Ka, banyak yang daftar. Iya, kan?”
“Iya. Di kamarku hampir semuanya mengisi formulir,” kata Annika, mengingat Sheila saat membagikan formulir pendaftaran prefek di kamarnya.
“Kamu juga, dong. Nanti kalau lolos kita bisa main bareng! Nanti kita foto-foto di Kecialu. Belum pernah, kan?” goda Kiara. Meskipun Aqiela Ru’ya tak memperbolehkan muridnya membawa barang elektronik, namun kamera adalah pengecualian.
“… Belum. Huh, lucu ya, udah tiga tahun tinggal di Runcana tapi belum pernah naik ke Kecialu. Padahal jaraknya engga begitu jauh dari sini. Tapi Ra, tanggung jawabnya … aku belum mampu, deh. Tugas-tugas sekolah aja aku suka kewalahan. Kalau nambah jadi prefek nanti gimana …”
“Menurutku kamu bisa, deh. Tapi kalau kamu emang engga mau, ngga apa-apa,” kata Annika.
Mereka mengobrol selama beberapa saat. Tak lama kemudian, azan Isya berkumandang. Annika dan Kiara segera mencuci piring mereka dan bersiap-siap shalat Isya.
⊹˚. ♡.𖥔 ݁ ˖
Annika mengetuk-ngetukkan ujung pensilnya ke kepala. Berkali-kali membaca paragraf tugas Bahasa Irelia-nya, namun ia tak paham-paham juga. Ia memutuskan untuk rehat sejenak, mengambil botol air minum yang ia simpan di sisi meja, lalu meminumnya.
Ia melihat ke sekeliling kamar. Teman-temannya tengah belajar di meja belajar masing-masing. Sepuluh dipan di kamar ini diletakkan berhadap-hadapan. Di setiap sela dipan terdapat meja yang dapat digunakan untuk belajar bagi pemiliknya. Sementara itu, para murid bisa menyimpan pakaian mereka di laci-laci di bawah dipan.
Aqiela Ru’ya memiliki peraturan tentang belajar malam yang lumayan ketat. Setiap anak diperbolehkan untuk belajar di tempat mana pun yang mereka inginkan, asalkan masih di dalam asrama, dan tidak berisik. Kadang-kadang, prefek akademik akan berkeliling dan menegur siapa pun yang tidak serius dalam belajar.
Sebenarnya belajar sendirian seperti ini adalah sesuatu yang asing bagi Annika. Ia hampir selalu belajar dengan teman lain. Paling sering adalah Kiara. Tapi Kiara tadi berkata kalau ia harus mengerjakan tugas kelompok dengan Ashna. Diam-diam, Annika merasa kesepian.
Mau tak mau, ingatannya melayang pada hal-hal menyenangkan yang dikatakan Kiara tadi. Betapa menyenangkannya bisa menjelajahi hutan Kecialu, atau merendam kaki di air Pantai Blilis. Melihat monyet-monyet kecil dengan ekor panjang yang menari-nari. Melihat matahari terbit dari tepi pantai. Mengenakan jaket tebal dan berdesakan di dalam tenda bersama teman-teman lain. Pasti merupakan pengalaman yang menyenangkan. Ia akan punya hal yang lebih mengesankan untuk ditulis di Aqiela Ru’ya Daily dibandingkan hari-hari biasanya.
Namun tanggung jawab menjadi prefek tidaklah ringan. Prefek tidak punya banyak anggota. Bahkan satu tugas bisa jadi hanya dipegang oleh satu prefek saja. Misalnya prefek tata tertib. Artinya ia benar-benar harus bertanggung jawab penuh atas tata tertib para siswa tanpa adanya teman untuk berbagi tugas.
Annika memandang planner Aqiela Ru’ya Daily yang terselip bersama buku-buku lain di dalam rak. Meskipun belum sebulan mengisi, namun ia merasa ia lebih semangat mengisi saat ada kejadian mengesankan di hari itu. Misalnya saat ia berhasil memainkan ‘Dew Overture’ pada kalimbanya untuk pertama kali tanpa melihat partitur. Atau saat ia mewawancarai Bu Arin, sang juru masak, untuk tugas Kemampuan Komunikasi. Tak akan terasa hingga Aqiela Ru’ya Daily tahun ini penuh dan hanya akan dipenuhi oleh hari-harinya yang monoton. Sama seperti tahun-tahun lalu.
Kesempatan ini nggak akan datang lagi, kan? Annika pernah dengar bahwa selagi masih muda, ia harus mencoba banyak hal. Benar. Kenapa ia tak mencoba saja? Lagi pula belum pasti ia akan lolos. Ia hanya akan mendaftar dan tidak akan patah hati kalau tidak lolos. Ia tak terlalu menginginkan jadi prefek, kok. Ia hanya ingin berjalan-jalan di Kecialu atau Pantai Blibis bersama Kiara dan menciptakan memori baru bagi persahabatan mereka. Belum juga Annika selesai berpikir, tanpa ia sadari, bibirnya telah memanggil Sheila.
“Shei.”
Sheila menoleh. Meskipun kelihatannya belajar dengan penuh konsentrasi, tapi ia selalu sadar dengan sekitar. “Kenapa, Ka?”
Wajah Sheila yang melihat ke arahnya membuat Annika gugup juga. Benar kan, apa yang ia lakukan? Ah, Sheila baik, kok, jadi engga akan menertawakanku. Namun, Annika takut suaranya terdengar teman-teman lain, jadi ia naik ke atas kasurnya supaya lebih dekat dengan Sheila. “Anu … kamu masih punya formulir prefek engga?” Sheila terdiam. Annika jadi merasa kalau ia seharusnya tidak bertanya pada Sheila karena jelas-jelas gadis itu telah membagikan semua formulir yang ia bawa di hari itu. “Kalau udah habis, ngga apa-apa, kok.”
“Masih, masih, Nik. Tunggu, ya. Aku kayaknya masih sisain empat, deh, di sini. Mana, yaaa?” gumam Sheila sembari mencari di raknya. Hingga kemudian menemukan formulirnya di dalam mapnya. “Ah, ini!”
“Makasih, Sheei,” kata Annika sembari menerima selembar kertas itu.
“Sama-sama. Buat kamu, Ka?” tanya Sheila.
“Ummm—rahasia!”
Sheila hanya tertawa, lalu melanjutkan belajarnya lagi. Sementara itu, Annika melihat formulir itu dengan jantung berdegup kencang. Oh, ini pertama kali ia melakukan hal ini. Pertama kalinya berinisiatif melakukan sesuatu yang sifatnya bukan keharusan. Melihat kolom-kolom yang harus ia isi, ia merasa bingung juga. Apa yang harus ia isi pada kolom pengalaman organisasi? Ia sungguhan tak punya, kecuali kalau klub musiknya bisa dikategorikan sebagai organisasi. Namun, ia menenangkan diri. Meyakinkan diri bahwa ia hanya akan mendaftar saja tanpa menjadi stress soal hasilnya nanti. Jadi, dengan hati ringan, ia menorehkan penanya pada halaman kertas itu.
Jam belajar malam telah berakhir. Bukannya menyelesaikan tugas Bahasa Irelia-nya, ia malah selesai dengan formulir prefek yang telah terisi lengkap di tangannya. Annika tersenyum. ‘Ah, selesai. Aku akan bersikap santai soal ini. Hahaha. Kalau diterima alhamdulillah, kalau tidak, aku akan baik-baik saja dan menjadikannya candaan seumur hidup,’ pikirnya, kemudian menyerahkannya pada Sheila.
Mata Sheila yang tadinya mengantuk langsung mencerah. “Oh, beneran buat kamu sendiri, Nik. Keren!”
“Nggak keren sama sekali. Pendaftarannya terakhir besok, ya?” tanya Annika.
“Iya. Diumuminnya Senin depan. Semoga keterima, ya.”
Annika tak bisa berkata-kata mendengar doa Sheila. Sheila sampai memiringkan kepala melihat Annika yang diam saja.
“Nik, aamiin, dong.”
“I—iya, aamiin.”