Annika berjalan menyusuri koridor menuju kantin. Kali ini ia sendirian. Ia sudah mencari Kiara di kelas Geografi, tapi gadis itu tak ada. Padahal biasanya mereka selalu makan siang bersama. Akhirnya, karena perutnya yang keroncongan, dan jam istirahat yang hampir habis, Annika pun pergi sendirian ke kantin.
Kantin di Aqiela Ru’ya terletak di gedung utama atau gedung administrasi. Tak heran kalau suasananya sangat ramai, dengan anak SMP dan SMA yang memenuhi meja. Beberapa booth dengan layar berwarna-warni tersedia untuk menawarkan berbagai pilihan menu. Annika membeli ayam rica-rica dan sayur kacang panjang. Ia membayarnya menggunakan kartu pelajarnya. Itulah mengapa kartu pelajar sangat penting bagi murid Aqiela Ru’ya. Di dalamnya sudah ada sejumlah uang dengan batas tertentu untuk digunakan di kantin maupun di minimarket sekolah. Setiap melakukan pembayaran, orang tua akan mendapat laporannya.
Ia memilih salah satu kursi yang terletak di dekat tiang. Kantin Aqiela Ru’ya memiliki konsep ruang terbuka dengan pemandangan taman di tengah sekolah. Ia memakan makan siangnya, namun mau tak mau, pikirannya melayang pada sikap Kiara.
Jujur saja, ini bukan pertama kalinya Kiara tidak makan siang dengannya. Annika selalu mencari Kiara setiap bel istirahat siang berbunyi saat kelas mereka berbeda, tapi gadis itu seakan ditelan bumi. Ketika turun ke kantin, Kiara juga tidak ada. Annika menggigit bibir dalamnya. Ia merasa hanya dirinya yang masih berpegangan erat pada kebiasaan lama mereka ini. Benar, ya, kutukan itu?
Annika menggelengkan kepala. Oh, ia harus lebih dewasa. Kiara boleh makan siang dengan siapa saja. Ia pasti punya teman dekat dari kelas-kelas yang diambilnya. Dan dirinya pun bisa makan dengan siapa saja. Ia mengingat ajakan Sheila selepas pelajaran tadi yang ia tolak seketika.
Ayam rica-rica yang ia makan rasanya lumayan enak. Ia mencobanya hanya karena booth-nya lebih sepi dibanding yang lain. Ingatkan ia untuk mengatakan pada Kiara kalau ia harus mencobanya.
“Annika! Kamu kok baru makan?” saat sedang fokus-fokusnya merasakan lezatnya dagiing ayam sampai kepalanya bergoyang-goyang, terdengar suara seseorang yang familiar. Kiara tengah duduk di kursi di hadapannya sambil menyedot smoothie-nya yang baru ia beli.
“Iya,” kata Annika, mendadak bingung, tak tahu juga harus berkata apa. “Kamu memangnya sudah makan?”
“Sudah! Tadi makan di gazebo sama Ashna. Kamu makan ayam apa?”
Annika tercekat. Sungguh, betapa ia malu dengan dirinya sendiri setelah mencari-cari Kiara, padahal gadis itu sudah makan dengan Ashna.
“Ayam rica-rica. Mau coba?”
“Boleh?” tanya Kiara dengan mata berbinar. Ia mengiris ayam Annika sedikit lalu memakannya. “Mmmm! Enak banget. Enak banget, Nik. Aku heran kenapa Runa bilang engga enak. Aku jadi engga pernah coba selama tiga tahun.”
“Sama,” tawa Annika. “Runa pasti puas banget sekarang.”
“Hum. Dia makan ayam seenak ini lebih banyak dari kita. Licik. Mau, ngga? Smoothie stroberi,” kata Kiara sambil menyodorkan smoothie-nya.
“Nggak—dan, aku tahu kali kalau itu smoothie stroberi. Kamu pasti belinya yang stroberi.”
“Hehehe. Aku ngerasa jatahku minum smoothie-ku bakal sayang kalau aku beli rasa lain yang meragukan.”
“Kamu kan minum setiap hari! Kamu bisa relain satu hari untuk coba rasa yang lain, kayak alpukat, atau mangga, atau wortel, semuanya enak banget.”
“Wortel? Nggak deh, makasih.”
“Siapa tahu kayak kamu coba ayam rica-rica ini. Ternyata enak, kan?”
Mereka mengobrol selama beberapa saat sembari Annika menghabiskan makan siangnya dan Kiara menghabiskan smoothie-nya. Perasaan Annika lumayan membaik dengan Kiara yang berbicara dengan ceria siang ini. Benar kata Runa, Kiara jadi agak sensitif. Kadang-kadang ia akan menjawab sekenanya, atau bahkan tak menjawab sama sekali kalau sedang sibuk. Tapi ia selalu muncul lagi keesokan harinya dengan mood yang lebih baik yang menyenangkan Annika. Ia jadi lega bahwa persahabatan mereka tetap baik-baik saja.
“Kamu selalu makan siang di gazebo, ya?” tanya Annika.
“Gazebo? Oh, iya. Seru ternyata makan siang di sana. Udaranya segar karena banyak pohon. Dekat sungai kecil juga. Rasanya sebelas dua belas kayak piknik di Bukit Momiland,” kata Kiara dengan semangat.
“Oh—kalau gitu, aku mau juga. Ajak aku.”
Kiara tiba-tiba terdiam. Matanya menunjukkan kalau ada sesuatu yang mau ia katakan, tetapi ia masih menimbang-nimbangnya.
“Kenapa Kiara? Eh, ngga bisa, ya?”
“Umm, kamu beneran mau makan sama Ashna?”
“Memangnya Ashna kenapa? Dia lumayan baik, kok.”
“Ah, iya, sih. Aku takut kamu akan bosan. Ah, ah, sebenarnya … aku makan siang dengan Klub Sastra.”
“Oh. Aku kira—kalau begitu, ngga jadi. Aku ngga bilang apa-apa tadi.”
Kiara tersenyum. Ia menyedot sisa smoothie-nya. “Kamu udah pilih film buat besok?”
“Belum, nih. Aku masih bingung mau ‘La La Heart’ dan ‘Paws and Paws,’ atau ‘La La Heart’ dengan ‘Starfooled’, atau ‘La La Heart dengan ‘Peony,” kata Annika menyampaikan kebingungannya. Saat hari libur, ‘bioskop’ di ruang rekreasi setiap asrama akan dibuka. Anak-anak diberikan jatah untuk menonton dua film. Oleh karena itu, murid-murid Aqiela Ru’ya sangat berhati-hati dalam memberikan voting mengenai film yang akan mereka tonton.
“Jadi La La Heart pasti, ya?”
“Hum. Aku belum sempat nonton waktu perpulangan kemarin. Kalau kamu?”
“Belum tahu, sih.”
“Oh—gimana kalau … nanti sepulang sekolah ke perpustakaan dulu. Lihat-lihat koleksi DVD di sana supaya dapat inspirasi!”
Wajah Kiara mencerah, lalu mengangguk-angguk. “Boleh! Aku kayak udah menghabiskan semua film bagus di dunia, tapi perasaanku pasti salah kalau sampai di perpustakaan nanti.”
“Oke! Nanti aku ke kelasmu, yaaa. Biologi di lantai satu, kan?” ucap Annika memastikan.
“Iyaa nanti aku tunggu.”
Beberapa murid di sekitar mereka telah meninggalkan kantin. Kiara yang menyadari hal itu segera melihat jam tangan peraknya. “Tujuh menit lagi bel masuk. Ke sekolah sekarang, yuk.”
Annika membereskan makanannya, lalu meraih tasnya dan berjalan bersama Kiara keluar kantin. Mereka menapaki jalan setapak yang memutari taman menuju ke gedung SMA. Gedung sekolah di Aqiela Ru’ya ada dua, satu SMP dan satu SMA. Keduanya berbentuk huruf U yang diletakkan saling membelakangi. Sehingga setiap gedung memiliki halaman pribadi masing-masing. Di belakang kedua gedung itu merupakan taman yang kini mereka lewati.
Mereka berpisah di lantai satu. Annika naik tangga menuju lantai dua. Pelajaran siang ini adalah Seni Musik yang ruangannya terletak di sayap kanan bangunan. Beberapa anak telah tiba di kelas, mereka tengah sibuk mengobrol tentang sesuatu, kedengarannya tentang pendaftaran prefek, yang sama sekali tidak menarik bagi Annika. Jadi, ia tak menyapa mereka dan membiarkan dirinya menyelinap di antara bangku-bangku dan duduk di bangku yang paling jauh. Ia membuka-buka buku musiknya, menebak lagu yang akan mereka mainkan nanti. Ia bersenandung pelan, sampai tak sadar bahwa ada orang yang mendekatinya.
“Annika, aku duduk di sini, ya.”
Annika mendongak, dan melihat Danila yang berdiri di sisi meja. “Iya, duduk aja. Engga ada orang, kok.”
“Oke! Huh, untungnya belum terlambat,” kata Danila setelah duduk dan melihat jam yang terletak di atas papan tulis.
Annika menyadari Danila yang terengah-engah, bahkan dahinya berkilau oleh keringat. “Kamu habis dari mana memangnya?”
“Habis dari asrama. Kartu pelajarku ketinggalan. Mau ke perpustakaan soalnya nanti sore. Mau pinjam buku.”
“Oh! Mau bareng aku sama Kiara, ngga? Kita juga mau ke perpustakaan.”
“Umm—boleh, deh.”
Annika tersenyum. Obrolan ringan mereka terputus oleh suara bel berbunyi. Pelajaran pun dimulai. Tak butuh waktu lama hingga melodi indah mengalun dari ruangan itu.
⊹˚. ♡.𖥔 ݁ ˖
Annika turun ke lantai satu bersama Danila. Mereka melihat ke ruang kelas Biologi. Tapi tak seorang pun ada di sana. Kelasnya kosong melompong.
“Kalau di saat-saat seperti ini aku ingin Aqiela Ru’ya membolehkan kita bawa hp,” gerutu Annika. “Pasti mudah sekali menemukan Kiara.”
“Mungkin mereka sedang di lab. Ayo cari Kiara di sana,” usul Danila.
“Oh iya! Kenapa aku engga kepikiran? Yuk!”
Mereka berjalan menuju ruang laboratorium. Sayangnya, di sana juga tidak ada siapa-siapa. Hanya Bu Najma, penjaga ruang laboratorium, yang memandang mereka dengan galak. Wajahnya sangat kusut, sampai-sampai Annika bertanya-tanya apakah ia berbuat salah padanya.
“Mau ngapain ke sini?” tanya Bu Najma setelah membuka pintu kaca lab. Kegiatannya merapikan kertas-kertas mini di tangannya terhenti.
“Mau cari temen, Bu. Tapi udah pada pulang, ya?” kata Annika.
“Nggak ada yang ke sini jam pelajaran siang. Mau apa?”
…
“Ngga ngapa-ngapain, Bu. Makasih, Bu. Kita pergi dulu,” pamit Annika, lalu berjalan cepat pergi dari depan pintu laboratorium. Ia mendengar Danila menyusulnya, yang tak lama kemudian terlihat di sampingnya. “Ya ampun—galak banget.”
Danila tertawa. “Serem, ya?”
“Banget. Aku jadi merasa tertangkap basah mau mencuri.”
“Hahaha. Mungkin Bu Najma begitu karena saking takutnya alat-alatnya pecah. Kasihan juga sebenarnya. Makanya kan kalau kita di lab, tajam banget matanya ngawasin kita. Kalau ada yang pecah dan yang mecahin engga ngaku, Bu Najma yang tanggung jawab.”
“… Huh, tapi kita bahkan engga mau masuk. Mau lihat dari kaca pintu aja.”
“Iya …”
Mereka berjalan hingga mencapai lobby, yang letaknya di lantai dasar di bangunan paling tengah. Beberapa siswa masih ada di sekolah meskipun sudah jam pulang. Mereka duduk di sofa yang disusun di tengah-tengah lobby. Dinding kaca yang menghadap ke halaman menunjukkan para murid yang tengah berjalan meninggalkan sekolah.
“Mau nyari Kiara dulu, Nik?”
Kiara melihat Danila yang menunggu jawabannya, dan menyadari bahwa ia amat gusar bukan hanya karena Bu Najma yang galak, tapi ia tak bisa menemukan Kiara di mana pun. Bu Najma memang selalu ketus seperti itu, biasanya Annika masih bersikap santai saat menghadapinya.
“Mungkin lagi di kamar mandi …” kata Danila.
Kasihan sekali Danila kalau harus menunggunya. Annika membenarkan posisi tasnya. Mau tak mau teringat bahwa ini bukan pertama kalinya Kiara menghilang setelah membuat janji. Tangannya meremat tasnya. Jangan-jangan persetujuan Kiara siang tadi hanyalah untuk menyenangkan hatinya? Tanpa memikirkan kata-katanya sama sekali.
“Kayaknya enggak, deh. Mungkin dia lupa, atau ada janji lain. Yuk sekarang aja ke perpusnya,” kata Annika.
Mereka berjalan keluar dari area sekolah, kemudian menyusuri jalan di tepi taman. Annika mengoreksi dirinya sendiri dalam hati. Kalau ia bersikap sangat sensitif, ia sendiri yang akan merusak persahabatan mereka. Padahal bisa jadi Kiara lupa, atau punya sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan. Ia akan bertanya pada gadis itu nanti, lalu memutuskan sikapnya.
“Annika, itu kayaknya Kiara, deh …” kata Danila seraya menunjuk ke arah taman, tepatnya ke sebuah gazebo yang memiliki tiang-tiang berwarna putih.
Pandangan mereka terhalang oleh tingginya rerimbunan bunga lavender. Namun di sela-selanya, Annika bisa melihat ada beberapa anak yang masih mengenakan seragam di sana. Salah satunya adalah Kiara, yang sedang tertawa karena perkataan seseorang. Ashna. Melihat beberapa teman yang lain, mereka adalah anak-anak berprestasi yang tergabung dalam klub sastra. Di atas meja terdapat buku-buku tebal di hadapan masing-masing anak.
Mata Annika menyipit. Ia teringat perkataan Kiara siang tadi. Timbul keengganan dalam hati untuk menghampirinya. “Oh, iya, Kiara. Tapi kayaknya lagi ada pertemuan klub sastra. Ya udah, kita duluan aja.”
Danila masih melihat ke arah Kiara, kemudian ke arah Annika, memastikan bahwa temannya itu telah yakin dengan keputusannya. Kemudian berkata, “Ya udah deh, ayo,” saat melihat Annika yang benar-benar serius.
Annika menggigit bibirnya. Berkali-kali ia meyakinkan diri bahwa Kiara pasti lupa dengan janji mereka. Lupa merupakan sesuatu yang manusiawi, kan? Allah saja memaafkan manusia kalau lupa. Ia juga nggak boleh menyimpan kekesalan yang tak perlu dalam hati sampai ia benar-benar tahu alasan Kiara. Ia pasti akan bertanya kepadanya.
Menonton film merupakan acara yang ditunggu-tunggu bagi setiap murid di Aqiela Ru’ya. Setibanya ia di rak penyimpanan DVD di perpustakaan, ia berharap akan menemukan semangatnya lagi. Namun, semuanya terlihat membosankan sekarang. Film-film yang menarik hampir semua sudah diputar di asrama. Kepalanya juga tak berhenti berdengung. Terus-menerus mengganggunya dengan pikiran yang tak menyenangkan untuk diperhatikan.
Pada akhirnya, Annika tetap menetapkan pilihannya. ‘La La Heart’ dan ‘Starfooled’, yang pada awalnya memang sudah ia nominasikan. Diam-diam, Annika merasa kunjungannya ke perpustakaan ini hanyalah membuang-buang waktu. Sebuah pikiran jahat dari sudut otaknya menambahkan, ‘Itulah kenapa Kiara engga datang. Ia punya kegiatan yang lebih bermanfaat dan menyokong masa depannya dengan teman-teman barunya.’
Annika menghela napas. Tapi ia dan Kiara memang sering berkunjung ke bagian DVD seperti saat ini setiap hari Rabu sore. Mereka akan membaca blurb di belakang DVD, kemudian saling menebak jalan ceritanya, dan menertawakan poster film. Hari Rabu sore yang dipenuhi canda tawa.
“Annika. Udah selesai lihatnya?” tanya Danila yang tiba-tiba datang. Ia membawa dua buah buku.
“Udah. Yuk, pulang.”
“Oke. Aku udah selesai pinjam, kok. Yuk.”
Mereka berjalan keluar perpustakaan dan menuruni tangga untuk keluar dari gedung. Matahari sore bersinar terang dan menyilaukan saat mereka berjalan menuju asrama.
“Kamu udah nanam tanaman apa, Nik, semester ini?” tanya Danila.
Setiap anak di Aqiela Ru’ya diberikan satu petak tanah untuk mereka gunakan. Taman di depan asrama (yang juga berseberangan dengan gedung auditorium) adalah tempatnya. Pada awal semester mungkin gundul, namun menjelang akhir semester, baik bunga maupun sayuran tumbuh dengan subur, memberikan pemandangan indah yang membanggakan bagi penghuni asrama. Terlebih asrama Manna dan Akasia yang tepat berada di depan taman. Anak-anak bisa menjual hasilnya di Aqiela Blooms, sebuah toko yang dikelola oleh klub bertani. Dan tentu saja, kebanyakan pelanggan dan penjual adalah anak-anak kelas lima, mereka wajib untuk menanam sayuran.
“Belum nanam, hehehe. Kalau kamu?”
“Mau coba nanam kentang. Nanti habis shalat Ashar mau ke kebun. Mau ikut?”
“Nggak deh. Aku belum beli benih.”
Setelah tiba di asrama, mereka segera shalat berjamaah. Annika langsung tiduran di ranjangnya begitu sampai di kamar. Ia membuka laci di samping dipan untuk mencari jajannya. Ia meraba-raba dasar laci, tapi tak menemukan apa pun, dan teringat bahwa stik biskuit cokelat terakhirnya sudah ia makan.
Sementara itu, Danila telah mengganti seragamnya menjadi jilbab santainya. Hari sudah sore, tapi wajahnya terlihat lebih cerah dari sepulang sekolah tadi. Ia meraih sekantong benih yang terletak di salah satu laci miliknya.
“Beneran engga mau ikut? Kamu bisa pakai benihku, aku beli kebanyakan kemarin.”
“Beneran,” kata Annika meyakinkan, kemudian melihat outfit Danila yang menyegarkan. Jilbab hijau yang dipadukan dengan celemek berkebun yang ia rajut sendiri. Hanya melihatnya saja, Annika jadi membayangkan hal-hal seru di kebun nanti. “Eh, tunggu—ikut, deh.”
“Ayo, aku tungguin.”
Annika segera berganti baju. Ia mengenakan jilbab pastelnya yang dilengkapi dengan pita. Lebih baik ia bermain di luar dibandingkan hanya bergelung di kasurnya.
Mereka menghabiskan waktu sore dengan berkebun. Menyenangkan sekali melihat tunas-tunas yang baru bermunculan di petak milik teman-teman lain. Danila tersenyum melihat Annika yang menjadi lebih ceria dibandingkan saat pulang sekolah tadi.