“Penguatan gue simpel kok. Si penulis bilang kalau dia itu laki-laki yang ketus, penuh rahasia, puitis, dimana cerita cinta remajanya pernah booming selama belasan tahun dan sempat ditunggu banget kelanjutan ceritanya. Menurut gue itu kata kuncinya. Coba pikir, cerita cinta remaja apa yang booming belasan tahun lalu dan kelanjutannya ditunggu-tunggu banget?”
Cukup banyak, menurutku. Akan tetapi yang dimaksud oleh Yogi pasti hanya satu.
“Sinetron Cerita Cinta SMA?”
“Kisah Kasih di Sekolah kali.”
“Emang ada sinetron yang judulnya begitu?”
“Ada-adaain aja mah kalo di Indonesia.”
“Aduh, sinetron Indonesia yang ditunggu itu bukan kelanjutannya, tapi kapan selesainya. Heran ngga kelar-kelar padahal cerita udah ngalur ngidul.”
Beberapa dari kami yang mendengar celetukan-celetukan itu langsung tertawa. Sebenarnya arah pembicaraan ini juga sama saja ngalur ngidulnya. Bukannya serius menjawab, malah membicarakan hal yang tidak ada sangkut pautnya.
“Guys, ayolah serius,” sela Eric yang sudah duduk berpangku tangan. Bosan.
Aku tahu. Kalau bukan karena sang kekasih yang meminta ingin ditemani, Eric pasti sudah lebih memilih berselonjor di sofa ruang tengah vila sambil menonton sekumpulan film yang dia punya. Eric sudah menyiapkan itu. Sebenarnya dia pun sudah mencoba menyumbang gagasan acara berupa ‘Nonton Film Bersama’ untuk perpisahan ini, tapi beberapa anak menolaknya dengan alasan hal seperti itu sudah basi dilakukan. Maka dari itu tidak heran jika dia menjalani acara games ini dengan setengah hati.
“Gimana? Ngga ada yang bisa tebak nih?” pancing Yogi. “By the way, lo kan suka nonton film, Ric. Pasti bisa nebak.”
Eric mengedikkan bahu. “Lagi ngga mood.”
“Yog, maksud lo film AADC yang ke-2, bukan?” jawab Dino yang masih belum berhenti memamah kacang. “Waktu itu tuh film dibahas di mana-mana. Banyak juga yang update. Katanya bagus. Ya, gue sih sampai sekarang belom nonton.”
“Ya iyalah tontonan lo kan macam Sadako,” sembur Eca.
Beberapa kulit kacang sontak melayang melewati Tito dengan maksud menargetkan Eca. Menyebabkan Tito kesal, karena di sekitarnya terdapat sampah kulit kacang berserakan. Lelaki itu memang tidak suka kotor dan dia begitu tersiksa setahun ini duduk semeja dengan Dino yang justru terkenal jorok, baik itu jorok kelakuan maupun jorok pikiran.
Yogi menyentikkan jarinya.
“Bener banget! Tebakan Dino, maksud gue. So, film AADC, guys dan film itu terkenal banget di kalangan remaja 14 tahun lalu, ‘kan? Sampai akhirnya sekarang muncul lagi kelanjutannya.”
Kepala kami mengangguk-angguk setuju.
“Jadi lo mau bilang kalau si penulis alias tokoh cowok di cerita tadi sama kayak tokoh cowok di film itu? Rangga, gitu?”
Kali ini Yogi memberikan dua ibu jarinya pada Fani—perempuan terpintar di kelas kami—yang berhasil memberi kesimpulan.
“Nah, kan udah ngga bisa ngelak lagi lo. Tinggal ngaku aja susah banget,” ujar Dinda beranjak dari duduknya.
“Eh, mau ke mana?” tanyaku mendongak.
“Kamar mandi. Suasana dingin begini gue pasti beser.”
“Ya, sorry. Biar seru aja maksud gue,” balas Rangga pasrah, mengingat sekarang orang-orang di sini sudah tahu kisah cintanya yang sangat tidak patut ditiru.
“Rangga ternyata jahat ih.” Tasya berkomentar.
“Loh, kita hidup kan juga buat cari jodoh. Belum tentu pasangan pertama kita itu bakal jadi pasangan kita selamanya. Jadi boleh dong kalau gue ‘nyambi’?”
“Pala lo nyambi!”
“Lo setuju sama gue kan, Jo?” tanya Rangga meminta pembelaan.
Jonathan mengedikkan bahu seraya menyeringai. “Sorry. No comment.”
“Rangga, yang kamu lakukan ke dia itu, ja-hat,” timpal Eca dimana Yogi langsung mendorong wajahnya dengan telapak tangan dan pergi keluar dari perkumpulan. Ingin pergi ke mana dia?
Danu kembali mengembalikan situasi.
“Oke kalau gitu, Rangga berarti udah ngaku ya?” tanya Danu dan Rangga mengiakan dengan bahasa wajah. “Buat Maya, hadiah spesial kita udah berkurang satu nih dan itu buat lo.”
“Makasih, Dan.”
“Ingat kalau lo ngga boleh jawab lagi, tapi boleh bantu yang lainnya kalau misalnya lo mau bantu.” Danu mengingatkan. “Kita lanjut ya?”
“Lanjut!”
“Ayoklah.”
Danu berkutat dengan kacamatanya lagi. “Sekarang waktunya kita tebak siapa tokoh perempuannya. Ada yang mau coba jawab?”
“Apa harus ditebak? Ngga tega denger namanya. Keterlaluan sih lo, Ngga,” ucap Adis yang tak hentinya menempel pada lengan Eric. Padahal lelakinya itu sudah tampak tidak bersemangat.
Adis dan Eric adalah pasangan paling awet seangkatan yang ada di kelas kami. Jarang sekali terlihat bertengkar. Kalaupun mereka berdua ada masalah, pasti juga tidak akan berlangsung lama. Berselang satu atau dua hari, setelah itu kembali bermesraan. Tipe pasangan yang selalu menunjukkan kasih sayangnya, tapi tidak dengan cara yang lebay. Pasangan yang membuatku iri.
“Yailah, masih banyak yang lebih parah dari Rangga kali, Dis,” celetuk Jonathan dengan senyumnya yang meledek. Apa dia baru saja membahas dirinya sendiri?
“Setuju banget. Masih banyak yang lebih jahat,” timpal Sonya tiba-tiba.
Perkataannya barusan itu seakan-akan merupakan sebuah mantra untuk mendatangkan kesuraman, karena aku merasa suasana sekitar mendadak berubah dan kami semua tahu betul kepada siapa perkataan itu dituju.
Danu pun bingung bagaimana menghadapi situasi canggung ini.
“Oke kita lanjut aja. Biar ngga kemaleman juga. Ada yang mau jawab siapa tokoh ceweknya?”
Serupa dengan sebelumnya, kami kembali saling berbisik. Saling bertukar informasi. Ini sudah seperti diskusi saat pembelajaran di kelas. Padahal yang sedang dibahas kini adalah sesuatu yang tidak penting.
“Amel apa Hani ya?”
“Rangga kan pacarnya banyak.”
“Tetep banyakan Jonathan kali.”
“Pacaran sama Hani bukannya kelas XI ya? Tadi kan cerita dia kelas X, waktu MOS.”
“Eh Rangga pernah sama Ayunda juga tau.”
“Lah emang iya? Kapan?”
Di saat yang lain sibuk menebak-nebak, yang kulakukan justru hanya garuk-garuk kepala. Aku benar-benar tidak mendapat klu. Ditambah dengan Dinda yang tak kunjung datang. Pertengahan cerita tadi tidak sempat kudengar akibat melamun dan mungkin saja klunya ada di sana. Lagi pula, di luar sini dinginnya sudah hampir maksimal. Membuatku susah berpikir apalagi fokus, sebab aku justru sibuk menghangatkan diri sejak tadi. Salah jika aku hanya memakai kaus lengan panjang yang tidak terlalu tebal. Seharusnya dilapisi lagi dengan jaket atau sweater.
“Randa? Mau jawab?” tanya Danu ketika melihat Randa juga Eca berdiri dari posisinya.
Randa menggelengkan kepala. “Ngga. Gue cuma mau ambil camilan di kamar,” akunya, lalu pergi bersama Eca.
Kenapa orang-orang seketika pergi secara bersamaan? Di awal tadi Dinda, disusul dengan Yogi, kemudian sekarang Randa, dan Eca. Mungkin ini sedikit berlebihan, tapi aku berharap dia kembali secepatnya, karena aku selalu khawatir ketika tahu dia pergi. Khawatir akibat memikirkan bagaimana jika dia tidak kembali dalam waktu yang cepat. Membuatku ingat akan kejadian saat itu. Kejadian yang membuat rasa sukaku padanya mulai bertambah.