Gue seneng akhirnya bisa juga buat dia luluh (pendekatan hampir enam bulan cuy, akhirnya dapet juga!). Pokoknya gue bakal berusaha lebih baik selama ngejalanin hubungan sama dia. Tapi nyatanya sebesar apa pun usaha gue, kalau emang bukan jodoh ya mau gimana lagi? Sebenernya emang gue yang salah sih, gue khilaf. Gue sempet sengaja kenalan sama cewek lain waktu liburan. Cewek Bandung, geulis euy! Bahkan sampe tukeran nomor hp, chat, telponan, dan gue ngga kasih tau ke cewek gue.
“Ya iyalah. Helloww, mana ada cowok yang ngaku ke ceweknya kalau dia habis kenalan sama cewek lain?” celetuk Bella.
Jonathan tiba-tiba saja tertawa geli. Hanya dia yang menanggapi cerita ini dengan cara seperti itu. Aku yang baru saja sadar dari lamunan, mencoba kembali masuk ke dalam acara. Kukira lamunanku sudah berlangsung cukup lama, tapi ternyata Jeff belum juga selesai membacakan cerita di surat pertama. Masih tersisa empat surat lagi.
Makanya waktu dia tau sendiri soal itu dari temen gue (sialan emang dan lebih sialnya lagi, sampe sekarang gue ngga tau orang itu siapa), dia marah dan langsung minta putus.
“Mampus!” seru Dinda.
Perempuan ini sepertinya begitu terbawa suasana. Namun, tetap saja ada baiknya jika mulutnya dijaga. Tidak baik seorang perempuan melontarkan kata-kata menyumpah seperti itu.
Hasilnya, gue cuma pacaran sebulan sama dia. Sadis emang. Pendekatan hampir enam bulan, eh pacarannya cuma sebulan. Perasaan yang gue bilang tadi kayak berlayar naik perahu, ternyata ngga seseru yang gue pikir. Soalnya tuh kapal akhirnya melempem. Ya iyalah, orang cuma dibuat dari kertas! Ngga bakal bertahan lama.
Jadi, say good bye lah buat first-sight gue, and say you'll die lah buat orang yang mulutnya bocor.
“The end,” ujar Jeff tersenyum sambil bertepuk tangan sendiri ketika telah selesai membacakan cerita.
Sayangnya tidak ada dari kami yang menyambung tepukannya. Kami justru saling berbisik satu sama lain. Entah itu berbisik untuk membahas siapa dua orang tokoh yang dimaksud ataupun berbisik untuk mengomentari cerita yang berdasarkan kisah nyata itu. Bahkan Jonathan pun diam dengan wajah merengut setelah sebelumnya dia sempat cekikikan.
“Oke makasih buat Jeff yang udah bersedia jadi pembaca pertama kita. Lo boleh duduk lagi.”
Danu kembali memimpin acara. Sementara Jeff memilih duduk di sebelahku. Air mukanya tampak senang karena telah melakukan sesuatu untuk acara ini.
“Good job, Jeff,” ucapku memuji.
“Thanks, Ana. Kamu pasti bisa menebaknya,” balasnya yakin. Padahal aku sendiri tidak yakin jika aku mampu.
Danu berdehem sambil memasukkan kembali surat pertama ke dalam amplop merah jambu.
“Menarik ya ceritanya. Kalau gitu, siapa yang mau nebak pertama kali?”
Tidak ada satu pun tangan yang terangkat. Kami justru saling melempar pandangan seolah memberikan kesempatan yang lain untuk menjawab. Walau aku hanya mendengar bagian awal dan akhir cerita, tapi kupikir cerita tadi seperti cerita buatan yang mengada-ada. Jika benar ada yang seperti itu, berarti sang tokoh lelakinya sangatlah jahat, karena bisa-bisanya dia berkenalan dengan perempuan lain di saat sedang menjalin hubungan dengan sang tokoh perempuan, dan tidak mengaku pula?
“Rangga,” jawab seseorang. Suaranya kecil, tapi bisa langsung terdengar dengan jelas sebab suasana saat ini sedang hening-heningnya. “Tokoh cowoknya, Rangga.” jelas Maya sekali lagi.
Kulihat Rangga terkejut saat mendengar namanya disebut. Saking terkejutnya, jambulnya itu sampai terlihat lebih tinggi dari ukuran semula. Sejak saat itulah mulai bermunculan respons tak menyangka, serta gumaman-gumaman yang tak jelas dari tiap mulut di sini. Terutama dari mulut para perempuan yang merasa ikut dijahati perasaannya.
“Wah Rangga, bisa jahat juga lo ya ckck,” celetuk Eca. Rangga bisa saja mengelak bahwa itu bukan dirinya.
“Asal nebak nih, Maya. Dari mana lo tau kalau yang nulis surat itu gue?” tanya Rangga membela diri. Aneh saat aku berpikir jika acara ini mulai terasa seru.
Danu menepuk-nepuk kedua tangannya seraya berseru, “Ayo guys pada diam dulu. Biar kita dengar penjelasan dari Maya. May, kenapa lo bisa tebak kalau cowoknya itu Rangga?”
Aku berharap ada keajaiban dengan volume suara Maya. Kalau tetap sama seperti biasanya, itu artinya kami-lah yang lagi-lagi harus menahan ego untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun, sebab suara Maya sangatlah kecil.
Maya menarik napas dalam-dalam. “Sebenarnya alasanku ini bisa dibilang ngga terlalu kuat sih.”
“No problem, May. Jelasin aja,” timpal Danu.
“Okay, jadi … sebelumnya kalian dengar teriakan Dinda tadi, ‘kan?”
“Eh, apa? Lo sebut nama gue?”
Dinda segera mengoreksi apa yang baru saja dia dengar. Usai mendengar suara Maya yang pelan, kemudian langsung mendengar suara Dinda, telingaku seketika berdengung. Serasa berdiri di pinggir pantai yang tenang, kemudian dengan cepat berganti berdiri di tengah angin badai. Kentara sekali perbedaannya.
“Kerasin, May,” pinta Dino yang sedari tadi tak henti mengunyah kacang goreng hingga habis beberapa bungkus.
Maya menarik napas lagi.
“Dinda tadi sempat teriak kata ‘mampus’, ‘kan? Dan waktu itu pas banget aku ngga sengaja lihat ekspresi Rangga. Dia kayak kesel dan ngga terima dibilang gitu sama Dinda. Jadi, aku pikir cerita itu punya Rangga,” jelas Maya sejelas-jelasnya.
Suasana hening sejenak.
“Ooh Rangga, jadi lo marah sama gue?” gerutu Dinda. “Ucapan itu emang pantes buat lo, seharusnya lo tau diri!”
“Apaan sih, udah dibilang itu bukan gue!”
“Udah, ngaku ajalah. Penjelasan Maya itu masuk akal,” tambah Dinda melambaikan tangan tak acuh.
“Ehm siap-siap perang. Siap-siap penggagas acara tanggung jawab,” celetuk Eca di balik telapak tangannya.
Yogi yang ada di sampingnya terkekeh-kekeh, sedangkan Randa hanya tersenyum menjengkelkan seperti biasa. Sementara Sonya—sang penggagas acara—yang merasa terpanggil, langsung mengamati mereka bertiga lekat-lekat dari balik kegelapan dengan tatapan yang tak ramah.
Suasana beranjak memanas. Rangga adalah anggota ekskul teater. Dia bisa memanfaatkan modal aktingnya untuk terus menyanggah. Namun, apa untungnya juga jika dia tidak mengaku? Toh ujung-ujungnya para penulis cerita harus memberi tahu identitasnya.
“Apa ada yang punya jawaban lain? Atau justru ada yang mau bantu nguatin jawaban Maya?”
Sesosok tangan berkulit putih terangkat ke udara dengan gemulai.
“Danuu, Joy boleh bantu jawab ngga?” tanyanya begitu manis. Semakin terlihat manis dengan bandana pita berwarna krem yang menghiasi kepalanya. Hanya saja sangat disayangkan, inisiatif Joy itu malah memancing masalah baru.
“Alah ngga usah! Bikin lama!” protes Dinda.
“Dinda dikeluarin aja deh dari acara ini. Bisanya cuma marah-marah doang!” ujar Tasya geram.
“Heh! Ngga kelar-kelar deh. Lanjut aja, Dan,” sahut Sonya lebih geram.
Sonya memang memiliki kegalakan yang setingkat dengan Dinda, tapi dalam versi lebih perempuan. Masih lebih menjaga kata-katanya. Berbeda dengan Dinda, apa yang ada di kepalanya langsung saja dikeluarkan tanpa dicerna pantas atau tidaknya.
“Aduh, Sonya. Bilang aja kalau lo mau cerita lo yang melegenda itu cepet-cepet dibacain, ‘kan?” tambah Bella yang langsung kepada inti.
“Tutup mulut cerewet lo ya.”
Dan, yang bisa kulakukan hanyalah menghela napas. Bahkan Jeff sampai menepuk dahinya sendiri diikuti dengan gelengan kepala. Aku tahu Jeff awalnya tidak terlalu mengerti kalimat-kalimat seperti itu, karena yang dia tahu hanyalah kalimat Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, jika setiap harinya, selama hampir satu tahun, dia selalu menyaksikan fenomena adu mulut seperti ini di dalam kelas, tentu dengan sendirinya dia akan paham, plus lelah juga.
“Gue bantu penguatan deh,” tutur Yogi.
Akhirnya Yogi mulai mengeluarkan kemampuan otaknya. Spontan aku dan yang lain mengarahkan mata padanya.
Terlebih aku. Ada tujuan lain kenapa aku begitu antusias melihat ke arahnya.
“Biasa aja lihatnya,” goda Dinda menyenggol pelan bahuku.
“Ssst,” balasku tersipu.