Kejadian itu terjadi sangat cepat. Yang kutahu setelahnya adalah aku jatuh terjengkang dengan rasa nyeri luar biasa pada tulang ekor juga bagian pipi sebelah kanan. Rasanya seperti membengkak, panas, dan berdenyut-denyut. Pandanganku pun buyar. Telingaku hanya mendengar suara lantang Dinda yang memanggil namaku, bersamaan dengan tubuhku yang perlahan terangkat.
Hari ini aku benar-benar sangat sial. Tertabrak orang hingga jus yang belum diminum tumpah mengenai pakaian dan sekarang pipi tak sengaja tertampar permukaan bola basket. Lemparan Joy ternyata kuat juga. Beruntung rahangku tidak bergeser akibat lemparannya.
Sekarang aku sudah berada di ruang UKS. Sebenarnya tidak perlu diperlakukan sampai segininya, hanya saja Dinda memaksa. Menjadikanku seperti orang yang terasingkan. Duduk seorang diri sambil mengompres pipi kananku yang memerah saat kulihat di cermin. Setiap kali mencoba digerakkan atau disentuh dengan jari, tetap tidak kurasakan apa-apa. Mendadak mati rasa. Bagaimana ini?
Suara engsel pintu menarik perhatianku. Sosok Yogi muncul dari balik pintu.
“Gimana? Udah baikan?” tanyanya mendekat. Kepalaku bergeleng menandakan bahwa belum cukup baik. “Sebenarnya ada semacam obat krim, tapi kebetulan banget lagi abis dan anak PMR belum beli.”
Aku ingat sekarang. Yogi adalah ketua PMR sewaktu kelas XI. Tidak heran jika dia begitu perhatian pada orang yang sakit.
“Ngga apa-apa kok. Dikompres pakai es batu juga udah cukup. Tapi udah mau abis juga.”
“Oke kalau gitu gue ambil es batunya lagi. Tunggu ya,” ujar Yogi pergi dengan cekatan.
“Eh, Yogi—”
Dia tidak mendengar panggilanku. Seharusnya tidak perlu dia yang berlari keluar. Aku sendiri bisa melakukannya, karena yang sakit bukan kakiku, jadi aku masih bisa berjalan. Aku tidak ingin merepotkannya. Apa mungkin Yogi masih merasa bersalah atas kejadian jus tadi, makanya sekarang dia berusaha bersikap baik padaku?
“Anaa!” jerit seseorang yang tiba-tiba muncul dari luar ruang UKS. Yogi lupa menutup pintunya, jadi Joy seenaknya masuk tanpa mengetuk pintu. Membuatku kaget. “Ana maaf yaa. Gue ngga sengaja. Aduh pipi lo jadi merah gini. Gimana nih?” tanyanya panik.
Meski terkadang gengnya sedikit menyebalkan, tapi Joy lah yang paling baik dan perhatian di antara dua orang yang lain. Dia yang paling manis juga.
“Ngga apa-apa, Joy. Tenang aja nanti juga ilang.”
“Ih, tapi gue tetep ngerasa ngga enak. Nih gue bawain minuman dingin,” ujarnya menyodorkan sebotol minuman kopi dingin untukku.
Dahiku mengernyit. Memikirkan bagaimana aku harus menolaknya.
“Kalau gue terima minumannya, apa lo bakal berhenti ngerasa salah? Soalnya gue ngga suka kopi. Jadi kalau gue terima pun, yah, udah bisa dibilang effort buat gue.”
“Loh, kata Randa lo suka kopi. Ah ngeselin Randa bohongin gue,” gerutunya memberengut. Perempuan yang satu ini memang mudah dikerjai.
“Lagian kenapa lo tanya Randa? Dia ngga bakal tau apa yang gue suka.”
“Ah iya bener juga.”
“Yaudah sini gue terima. Makasih ya.”
Secercah senyuman langsung menghiasi bibir Joy.
“Ana emang paling baik deh. Tenang aja lo tetep cantik kok,” akunya senang sekaligus memancingku untuk tertawa. Perempuan sepertiku masih saja mendapat rayuan.
“Tetep aja ngga secantik lo,” balasku.
“Ooh kalau itu sih pasti,” balasnya berseri-seri. “Yaudah gue pergi ya. Get well soon.” Joy memberikan kiss bye padaku.
Aku harus bersyukur bahwa yang membuatku celaka adalah Joy, bukan Bella. Jika ternyata benar perempuan itu, tentu aku yang akan disalahkan atas musibah ini dan tidak akan ada bagian dimana dia meminta maaf ataupun menjengukku seperti yang dilakukan Joy.
Tunggu.
Apa susahnya sih menutup pintu?
Sama seperti Yogi, Joy juga pergi meninggalkan ruang UKS tanpa menutup kembali pintunya. Risi rasanya jika setiap kali orang berlalu lalang di koridor, kemudian mereka menyempatkan diri menoleh ke dalam ruang UKS, dan melihatku berada di dalamnya. Serasa ada bagian dari tubuhku yang terbuka dan kubiarkan saja dilihat banyak orang.
Saat aku berdiri di ambang pintu, terlihat sudah giliran anak lelaki yang bermain basket. Dinda dan anak perempuan lainnya tampak sedang istirahat di kantin. Dan kelihatannya, Dinda sedang mengobrol dengan Joy perihal insiden tadi. Perempuan itu memang sudah seperti bodyguard-ku. Aku sangat berterima kasih memiliki sahabat seperti Dinda.
Setelah puas melihat-lihat, kutarik gagang pintu dengan maksud ingin menutupnya, tapi tiba-tiba saja tertahan oleh cengkeraman tangan yang muncul dari balik pintu. Perlahan pintu pun kembali terbuka, diikuti dengan sosok Randa yang menampakkan diri. Dia muncul dengan membawa baskom aluminium berisi beberapa bongkah es batu.
“Apa lo ngga mau izinin gue masuk?”
Tubuhku refleks meminggir ketika sadar jika aku berdiri mengadang jalan, lalu kembali menutup pintu saat Randa sudah masuk ke dalam.
“Sorry, niatnya tadi cuma mau tutup pintu. Soalnya agak risi aja kalau kebuka. Gue ngga tau kalau lo mau ke sini.”
“Santai aja. Tapi apa malah ngga aneh?"
“Aneh kenapa?” balasku bingung.
“Lo malah tutup pintu di saat cuma ada kita berdua di sini. Apa situasi begini ngga lebih buat lo ngerasa risi?” tanyanya menatapku. Sesaat kupikir yang dikatakan Randa ada benarnya. Namun, mustahil. Memangnya dia mau melakukan apa?
“Apa es itu buat gue?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Sekilas kulihat Randa menarik satu sudut bibirnya dan meletakkan baskom di atas meja obat-obatan.
“Yogi minta tolong ke gue buat bawain ini, soalnya sekarang giliran timnya main.”
Aku mengangguk-angguk paham. Mengambil alih baskom itu dan memindahkannya ke atas meja yang tak jauh dari tempat tidur. Memasukkan satu per satu es ke dalam kantong kompres.
“Oya, kopi ini buat lo aja,” ujarku memberikan minuman kopi tadi pada Randa. “Dari Joy. Kebetulan gue ngga suka kopi, jadi sayang kalau ngga diminum,” tuturku lebih memberi penekanan saat menyebut nama Joy. Sengaja agar Randa tahu bahwa kopi inilah yang merupakan usulan darinya.
Tanpa membahas apa pun, dia mengambilnya.
“Udah, ‘kan? Ngga ada yang lain?” tanyanya langsung membuka tutup botol dan meminumnya dengan santai.
“Udah kok. Makasih banyak. Jangan lupa tutup pintunya.”
Memang setelah itu aku tidak melihatnya lagi, karena sedang fokus dengan aktivitasku sendiri. Hanya saja aku tahu kalau Randa sudah berbalik pergi. Setelah kantong kompres penuh dengan batu es, aku kembali duduk di atas tempat tidur. Dan rupanya, sejak tadi Randa masih berdiri di ambang pintu.
“Mau gue bawain jus mangga?” tanyanya menawarkan diri.