“Aku turun di gerbang aja, deh.” Tisha memajukan wajah ke sisi kepala Riana.
“Apa?” Riana menurunkan kecepatan motor untuk bisa lebih nyaman bicara.
Tisha mengulang permintaanya.
“Kenapa?”
“Pengin aja.” Tisha kembali memundurkan wajah, tak mau memperpanjang obrolan. Dia lebih memilih memperhatikan suasana hijau yang dilewati dengan perasaan tak biasa.
Karena kemarin motor Sawala masuk bengkel, maka hari ini gadis itu izin tidak bisa menjemput Tisha. Jadilah Tisha berangkat dengan Riana. Entah kenapa, setelah hampir dua minggu berangkat bersama Sawala, kini dia merasa agak aneh saat kembali dibonceng Riana menuju sekolah. Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang hilang. Mungkin dia rindu? Ah, tak tahulah.
Riana tak mendebat demi mempertahankan mood paginya tetap baik. Begitu tiba di sekolah dia mengikuti permintaan Tisha, lalu berlalu menuju parkiran guru.
Sembari memainkan tali ransel, Tisha melangkah menyusuri koridor. Lagi, dia merasa aneh saat berjalan sendirian setelah kemarin-kemarin digandeng terus oleh Sawala diiringi beragam ocehan tentang hal-hal yang menuriut Tisha oversharing sampai rasanya dia ingin menyumpal mulut Sawala. Namun, kini dia malah ingin mendengarkannya.
“Tisha!”
Langkah gadis bermata sipit itu terhenti. Dengan semangat dia memutar kepala ke belakang. Pikirnya itu adalah Sawala yang akan memenuhi harapannya untuk memperdengarkan cerita. Namun, saat melihat orang yang mendekat, embusan napasnya terdengar lemas. Itu bukan Sawala, melainkan ... “Halo, Tazkia.” Tisha menyapa datar.
Gadis mungil itu memamerkan senyum. “Waktu di perpus aku lupa tanya kamu kelas apa? Kalau dari bet baju kita sama kelas sepuluh, ya, tapi aku belum tahu kamu kelas apa?”
“IPA 1.” Tisha berbalik dan kembali melanjutkan langkah. Dia tidak berniat menanggapi Tazkia lagi. Seperti rencananya lalu, dia hanya ingin mengenal gadis itu sepintas. Tak mau lebih.
Lagi pula itu memang gayanya tiap ada yang mengajak berkenalan. Hanya mengatakan informasi singkat. Tak berminat oversharing hanya demi mendapat teman atau sahabat. Sebab, sendirian pun dia tetap bisa hidup.
“Aku IPA 3, kelas kita tetanggaan. Bareng, ya.” Tazkia mengejar Tisha demi bisa berjalan beriringan.
Tisha hanya melihat sekilas sambil mempercepat langkah, berharap Tazkia tak bisa mengejarnya lagi.
Awalnya Tazkia ngotot memaksakan untuk mengikuti Tisha, tetapi di dekat sebuah pojok baca, dia memilih berhenti. “Kamu duluan saja, Tisha. Sampai jumpa lagi di perpus nanti.”
Tisha tak menyahut, malah berlari menuju kelasnya. Namun, saat sampai di ambang pintu dia dikejutkan oleh dua orang yang keluar. Mereka bukan teman sekelasnya, melainkan anggota Rohis yang sempat membantu Sawala membereskan mukena.
“Eh, Tisha, ternyata kamu anak kelas ini, ya. Barusan kami share info tentang peringatan hari besar Islam yang akan dilaksanakan sebentar lagi, mau ada perlombaan gitu. Ikut, ya.” Gadis dengan tahi lalat di dekat matanya itu menjelaskan dengan senyuman.
Namun, Tisha hanya mematung. Tak berniat menanggapi dengan suara ataupun gesture. Itu sama sekali tak menarik untuknya.
“Eh, kita belum kenalan, ya.” Gadis yang satu lagi bersuara sambil menunjukkan gigi kelincinya. “Aku Ayara dan dia Lidia.”
“Ya.” Hanya itu. Tisha tak berniat memperpanjang kalimat. Dia memilih masuk dengan tergesa bahkan sampai menyenggol bahu dua gadis itu.
“Tisha kamu jadi perwakilan buat kaligrafi, ya?” Ketua murid langsung menodong.
Tisha melihatnya sekilas. “Embung,” putusnya ketus dengan wajah lempeng.
***
“Teman-teman, kali ini kita akan membahas tentang taaruf.”
“Yuhu ....” Koar mengudara dari anggota Rohis yang tengah mendengarkan kajian dari pemateri yang merupakan alumni. Para siswi itu ramai ber-cuit-ria sambil saling senggol. Kebiasaan para remaja saat pembahasan akan merujuk ke romantis.
“Mohon perhatian, Teman-Teman.” Pemateri bernama Syaibah itu bertepuk tangan beberapa kali. “Yang kita bahas kali ini tidak akan fokus ke taaruf yang mungkin teman-teman bayangkan tentang lawan lawan jenis yang akan menuju pernikahan. Namun, lebih ke taaruf secara universal.”
Setelah suasana kembali kondusif, Syaibah membacakan sebuah ayat Al Qur’an dengan suara merdunya. “Yang barusan itu ayat ke-13 dari surat Al-Hujurat yang artinya, ‘Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal’. Nah, taaruf atau mengenal di sana berarti sangat luas, agar kita berhubungan baik dengan orang-orang dari beragam latar belakang.”
Pembahasan berlanjut tentang hablumminannas, hubungan manusia dengan sesama. Pembawaan Syaibah begitu interaktif membuat semua memperhatikannya dengan saksama, termasuk Tisha yang berada di pojokan.
Jumat itu untuk kedua kalinya Tisha mengikuti kajian Rohis. Rasanya dia berada di tempat yang strategis untuk menyandar pada dinding dan terlelap. Namun, bukannya memejamkan mata, dia malah memandang intens pemateri di depan sana. Telinganya menajam tanpa sadar saat mendengar bahasan tentang pertemanan.
“Berarti kita boleh, ya, berteman sama yang bukan muslim?” tanya Ayara.
Syaibah mengangguk-angguk. “Boleh, kita boleh berteman dengan siapa saja. Akan tetapi ..., ada tapinya, ya, teman-teman, kita harus memilah-milah mana yang cukup jadi teman dalam arti saling mengenal dengan interaksi pada waktu-waktu tertentu saja, dan mana yang bisa menjadi sahabat dalam arti kebersamaan juga komunikasinya intens sampai berbagi banyak hal. Usahakan memilih sahabat yang bisa mendekatkan kita pada kebaikan. Karena sedikit banyak sikap kita dipengaruhi oleh orang-orang di sekitar kita, jadi pilihlah yang bisa membuat sikap kita positif.”
“Daripada ribet, mendingan sendiri.”
Tisha tertegun saat mendapati hampir semua orang memandangnya. Dia merutuki diri sendiri yang telah kehilangan kendali sampai tanpa sadar menyuarakan isi hatinya dengan keras. Kini dia hanya bisa menutup mulut dan menunduk.
“Begini, teman-teman.” Syaibah kembali menarik atensi. “Memang bisa dibilang kalau kita lahir, hidup, bahkan mati pun sendiri. Kita punya hak akan ruang sendirian. Namun, ada juga hak akan ruang-ruang kebersamaan, yang kemudian membuat kita tidak pernah bisa benar-benar sendiri. Salah satu faktornya dalah keterbatasan kapasitas yang membuat kita mau tidak mau pada akhirnya akan membutuhkan orang lain. Misalnya dalam kebutuhan materil sehari-hari, enggak semua orang bisa bercocok tanam, enggak semua orang juga bisa menjahit pakaian, maka kita saling membantu untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain.”
Setelah merasa tak lagi jadi pusat perhatian, Tisha pun perlahan mengangkat wajah. Topik yang Syaibah sudah sering ia dengar, terutama dari Riana. Namun, kali ini entah kenapa dia tidak menyimpan dongkol seperti biasanya. Kalimat pertama yang diucapkan pemateri itu membuatnya merasakan sensasi yang berbeda, dia merasa divalidasi.
Selama ini Riana jarang mengamini opininya tentang kesendirian. Kakaknya itu selalu langsung menodong tentang manusia sebagai mahkluk sosial, melewatkan bagian manusia sebagai mahkluk individual.
Pemateri melanjutkan, “Kita juga tidak bisa menafikan bahwa ada kebutuhan moril akan eksistensi. Maksudnya, secara mental kita membutuhkan kehadiran dan pengaruh orang lain dalam hidup kita, begitu pun sebaliknya, mungkin kita juga dibutuhkan orang lain. Ingat bahasan Jumat lalu tentang menjadi sebaik-baiknya manusia?”
Semua berkoar mengatakan ‘iya’. Termasuk Tisha yang tak lagi menahan diri.
“Kita baru bisa jadi sebaik-baiknya manusia kalau bermanfaat, dan untuk jadi bermanfaat maka kita harus berinteraksi dengan orang lain, menjalin hubungan pertemanan, persahabatan, bahkan persaudaraan. Ingat, bahwa dalam Islam, sesama muslim itu bersaudara. Kita harus meneladani Rasulullah SAW yang begitu baik menjalin hubungan dengan para sahabatnya, sampai banyak dari mereka yang dijanjikan surga. Jadi, kita perlu melakukan taaruf, mengenal orang-orang yang mengingatkan dalam kebaikan dan menjadikannya sahabat untuk perjalanan dunia dan akhirat. Insyaallah, enggak ada yang rugi dari sebuah hubungan yang diridai Allah.”
Sesaat hening. Sampai Tisha menginterupsi dengan tangan yang terangkat tinggi.
“Bagaimana, Dek? Ada yang ingin ditanyakan?”
Tisha mengangguk mantap. “Bagaimana jika sahabat itu malah menyakiti?”
Catatan:
Embung: enggak mau (Bahasa Sunda yang kasar banget)