Tanpa sadar Tisha mengulum senyum melihat orang-orang yang tengah menikmati hasil olahannya. Entah kenapa, tetapi hatinya merasakan sesuatu semacam kehangatan. Mungkin karena selama ini yang memakan masakannya hanya Riana, jadi Tisha merasa biasa saja melihatnya. Berbeda dengan sekarang, sedikit keharuan menyusup ke sanubarinya ketika menyaksikan lahapnya orang-orang panti.
Kurang lebih satu jam sudah berlalu, ketiganya sudah berada di Panti Asuhan Lentera Asa. Kedatangan mereka tadi yang bertepatan dengan selesainya anak-anak berolahraga pagi, disambut dengan sangat baik. Anak-anak terlihat begitu gembira, terlebih saat tahu mereka membawa banyak makanan. Setelah mandi, langsung saja anak-anak itu menyerbu wadah-wadah yang sudah ibu panti tata di ruang makan.
“Uh ... kenyang.” Nala berseloroh sambil mengusap-usap perutnya.
“Katakan apa, Dek?” ucap Sawala yang berada di kanan Nala.
Nala menyengir. “Alhamdulillah.”
“Pintarnya,” puji Riana yang berada di sisi lain Nala sambil mengusap kepala anak itu. “Enak makanannya?”
Nala mengangguk antusias. “Sangat enak, Kak. Aku suka jus wortelnya, enggak pahit. Buatan Kakak, ya?”
Riana terkekeh. “Bukan. Kakak mah enggak bisa masak. Ini semua buatan Kak Tisha.”
Netra Nala yang memancar binar beralih pada Tisha. “Waah ... Kak Tisha keren! Aku suka minuman Kakak.”
Pipi Tisha bersemu, malu-malu dia membalas, “Terima kasih.”
“Sama-sama. Semoga nanti aku bisa rasain lagi, ya, hehe,” ucap Nala tanpa malu-malu, diikuti kekehan ringan.
“Iya, boleh.” Sahutan itu begitu lancar lolos dari bibir Tisha. Dia melakukannya secara spontan, dan begitu tersadar dia jadi menggigit bibir bawah. Kok jadi begini? Dia kan tidak mau melibatkan diri lagi, lalu bagaimana sekarang bisa menghindar setelah menyatakan janji? Tisha tidak mungkin menarik kembali perkataannya. Sorot harap Nala mulai membius, membuat Tisha tidak tega, tiba-tiba saja dia begitu ingin menjaga perasaan anak itu.
Selanjutnya, Tisha terus bergulat dengan pertentangan batinnya. Bahkan saat Riana dan Sawala mengajak anak-anak itu untuk bermain dan bernyanyi bersama, Tisha hanya mengatupkan bibir. Dia duduk agak jauh, tetapi tetap memerhatikan keasyikan mereka.
“Kak!”
Tisha baru tersadar karena panggilan itu. Saat menoleh, didapatiya Nala sedang tersenyum. Tisha berdeham. “Ada apa?”
Nala menggerak-gerakkan badan tak keruan. “Nala boleh minta tolong sama Kakak?”
Tisha mengernyit. “Apa?”
"Ini.” Malu-malu Nala mengangsurkan selembar kertas. “Nala lagi belajar huruf bersambung, tapi hasilnya ... jelek. Barusan kata Kak Riana minta tolong ke Kakak, karena Kak Riana dan Kak Sawala lagi ngajarin yang lain.”
Tisha hampir berdecak karena Riana main seenaknya saja. Namun, begitu melihat goresan di kertas Nala, dia sontak meringis. Bentuk tulisannya memang cukup berantakan. Jarak huruf satu dengan yang lainnya terlalu berdempetan, sementara lengkungan tiap hurufnya terlalu ramping, sekilas malah seperti sandi rumput.
Itu membuat Tisha gemas. Meskipun tidak terlalu pintar, tetapi urusan menulis Tisha merasa cukup rapi. Dia selalu menggerakkan pensilnya dengan penuh penjiwaan. Maka, melihat tulisan Nala, membuat Tisha tidak tahan ingin membenarkan.
Tisha mengembalikan kertas pada Nala. Seketika aura muka Nala meredup. Gadis kecil itu merasa ditolak dan hendak beranjak.
Namun, Tisha menahan tangan mungil itu. “Sini, duduk, aku mau lihat cara nulis kamu dulu.”
Mimik Nala kembali semringah. Dengan semangat dia mengangguk-angguk, kemudian bersila di karpet, bersisian dengan Tisha, kemudian mulai menggerakkan pensilnya.
“Begini, Kak.” Nala menunjuk sebaris kalimat–yang selama pembuatannya Tisha perhatikan dengan seksama–merangkai kata 'Nala dan Kak Tisha'.
Tisha pun meminta izin untuk mengambil alih alat tulis Nala, kemudian menyuruh Nala mengamatinya yang akan menulis ulang nama mereka secara perlahan-lahan.
“Wah, bagus banget!” Nala bersorak sampai bertepuk tangan begitu Tisha mengangkat kertas.
Sekali lagi, Nala berhasil membuat Tisha mengulum senyum. Dia senang dengan pujian yang dilontarkan gadis kecil itu, terdengar begitu polos penuh ketulusan.
“Mari kita belajar!” Kadung semangat, tangan Tisha melingkari tubuh Nala sampai jemarinya bertengger di atas punggung tangan anak perempuan itu. Setelah menanyakan kenyamanan Nala, Tisha mulai membimbing untuk membuat huruf 'a'. “Bikin perutnya lebih gendutan, terus ... ekornya agak panjang, biar enggak terlalu mepet sama yang lainnya.”
“Wah, jadi bagus, lebih kebaca!” Nala kegirangan.
Tisha pun ikut senang, dan detik-detik berikutnya dia lewati dengan suasana hati yang baik.
***
Tahu-tahu satu jam sudah berlalu, anak-anak yang lain mulai memasuki kamar masing-masing karena sudah waktunya tidur siang. Riana pun sudah berbisik mengajak pulang. Jelas, Tisha tak membuang waktu untuk menurut.
Namun, pergerakan Tisha untuk bangun, terhenti karena permintaan Nala.
“Sebentar, Kak.” Nala berlari menuju kamarnya. Tak lama kemudian kembali dengan sebuah gulungan kertas yang diikat karet kepang. “Ini untuk Kakak.”
Dengan kaku Tisha menerimanya. Kemudian bangkit, mengikuti Riana dan Sawala berpamitan pada ibu panti, sampai menuju ambang pintu.
“Nanti main lagi, ya, Kak!” Nala berteriak.
Tisha hanya menoleh sekilas dengan senyum tipis. Entahlah. Dia bingung dengan perasaan sendiri. Lebih baik dia suka atau tidak pada gadis apresiatif itu?
***
“Mandi, Sha!” Riana berseru sembari berjalan memasuki ruang keluarga.
Tisha menoleh singkat, tanpa menyahut, kembali menekuni selembar kertas di tangannya.
“Lihat apa, sih?” Riana mendekat ke punggung sang adik.
Tisha menghela napas, cepat menyodorkan kertas itu agar Riana menjauh.
Riana malah duduk di sebelah Tisha. "Ini yang dari Nala tadi?”
Tisha malah menghela napas. “Bikin beban banget.”
“Lho?” Riana mengernyit. “Teteh perhatikan dia bukan anak yang bandel, malah penurut dan santun banget. Di mana bikin bebannya?”
Tisha menunjuk kertas. “Coba lihat tulisannya.”
Riana meneliti isi lembaran itu. Ada gambar dua orang yang bergandengan tangan. Satu berkuncir dua, di bawahnya tertulis 'Nala'. Sedang satu lagi ukurannya lebih besar, berbaju panjang, tulisannya 'Kakak Baik'.
“Ini kamu?” Riana mengusap dagu.
Tisha menjatuhkan punggung ke sandaran sofa. “Iya. Itu beban banget. Aku bukan orang baik.”
“Kata siapa?” Suara Riana agak meninggi. Meski sering mengomeli Tisha, tetapi Riana tidak pernah sedikit pun menganggap Tisha tak baik.
“Ya ....” Tisha mengusap wajah kasar. “Emang ada orang baik yang suka abai? Saat dulu Nala jatuh kan aku mengabaikan dia. Kok bisa dia bilang aku baik?”
Riana menyimpan kertas di meja, lalu tangannya naik mengusap kepala Tisha. “Kamu itu punya dasar untuk menjadi baik. Hanya sedikit kurang diasah aja.”
Tisha menoleh lemas. “Bisa gitu?”
Riana tersenyum. Melihat raut wajah Tisha yang bimbang, Riana malah terharu. Karena menurut Riana itu tanda Tisha sudah menyadari kekurangannya dan mulai tertarik untuk memperbaiki diri. “Bisa dong. Banget malah. Asal kamu mau niat dan usaha.”
“Caranya?”
“Kata kamu Sawala mau ngejar sebaik-baiknya manusia, kan? Ya udah coba tiru apa yang dia lakukan. Sekalian lanjutin tantangan tambahan dari Teteh.”
Tisha mendongak. Ah, entahlah. Apa dia sanggup?