Tisha tersenyum melihat jam tangannya. Dia senang karena di hari kedelapan bisa segera ke perpustakaan tepat waktu, bersamaan dengan berbunyinya bel pertanda jam istirahat.
Dalam perjalanan, Tisha berpapasan dengan Riana. Kakaknya itu memang sudah kembali mengajar seperti biasa. Tadi pagi bahkan mereka berangkat bersama. Namun, untuk pulang nanti, Riana menyuruh Tisha untuk tetap bersama Sawala, karena katanya Riana ada sesuatu yang harus diurus. Entah apa itu, Tisha tak mau mencari tahu, mungkin berkaitan dengan kegiatannya di pusat kabupaten satu minggu kemarin.
“Assalamu'alaikum, Bu,” ucap Tisha sesopan mungkin. Di sekolah mereka memang bersikap sangat formal dan profesional. Meskipun Tisha belum pernah diajar langsung oleh Riana, karena Riana mengajar kelas sebelas, tetapi Tisha harus tetap menghormatinya.
“Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Riana tersenyum di tengah keribetan membenahi bawaannya. Kini dia sedang mendekap buku siswa yang cukup banyak.
Hal itu seketika mengingatkan Tisha pada kejadian beberapa hari lalu, saat dia bersama Sawala membantu membawakan buku milik guru yang sedang hamil. Apakah sekarang Tisha harus melakukan hal serupa terhadap Riana?
“Uhm ... boleh saya bantu bawakan bukunya, Bu?” Akhirnya Tisha menawarkan diri setelah menimbang singkat. Dia pikir tidak apa-apa melakukan itu. Lagipula memang tantangan dari Riana kan yang menyuruhnya untuk mencoba mengikuti hal-hal yang Sawala lakukan.
Sesaat, Riana agak mengernyit. Dia heran mendengar adiknya berucap demikian. Meskipun begitu, dia memilih untuk menerima tawaran itu. “Oh, boleh. Ini, tolong, ya. Terima kasih.”
Tisha hanya membalas dengan anggukan, kemudian berjalan di belakang Riana, menyusuri teras-teras kelas sampai ke perpustakaan.
Begitu memasuki bangunan penuh buku itu, Tisha mengikuti arahan Riana untuk meletakkan bawaannya di meja penjaga, lalu mengisi buku pengunjung. Setelahnya dia mengedarkan pandangan. Keadaan sekitarnya begitu ramai dengan hilir-mudik para siswa. Netra Tisha menyipit, berusaha menemukan keberadaan Sawala. Sayangnya, meski sudah banyak sudut yang dia perhatikan, kakak kelasnya itu tidak kunjung kelihatan.
Akhirnya Tisha memutuskan untuk mencari Sawala ke tempat buku baru. Namun, karena kurang fokus dengan jalannya, di belokan rak dia menabrak seseorang.
“Aduh ....” Ringisan terdengar.
Tisha yang baru sadar dan berusaha menyeimbangkan diri, menoleh, melihat sesosok gadis mungil terduduk di lantai sambil menunduk dalam, memegangi kakinya.
Tisha gelagapan. “Maaf, ya,” ucapnya merasa bersalah.
Gadis itu mendongak, kemudian menunjukkan senyuman. “Eh, enggak apa-apa,” balasnya tergagap sembari berusaha bangkit dan membenahi rok.
“Itu ....” Tisha menggerakkan dagu ragu. “Perlu diobati kakinya?”
Gadis itu menggeleng. “Enggak perlu.”
Tisha mengangguk. Baiklah. Semaunya gadis itu saja. Dia tidak akan memaksa, karena dia bukan Sawala. Eh? Tisha baru ingat tujuannya, ingin mencari Sawala, tetapi Tisha segan pada orang yang baru ditabraknya. Tidak enak jika langsung pergi begitu saja.
“Sedang mencari buku, kah?” Akhirnya Tisha melakukan sesuatu yang bukan gayanya sama sekali, basa-basi. Dia sendiri juga heran, dari mana datangnya keinginan berkata demikian? Ah, tetapi dia tidak mau mengambil pusing, anggap saja ini langkah memenuhi tantangan tambahan.
Gadis itu mengangguk. “Iya, aku sedang mencari buku tentang virus pada hewan.”
Kening Tisha agak bergelombang, sepertinya dia familier dengan itu. Oh, dia ingat, itu adalah bahasan biologi minggu kemarin. Refleks Tisha menelisik gadis itu. Sedetik kemudian pupilnya melebar, menyadari bahwa gadis itu satu angkatan dengannya. Belum lama ini Tisha melihatnya dibantu oleh Sawala di parkiran, saat sedang kesulitan mengeluarkan dan menyalakan motornya.
“Sudah menemukannya?”
“Sudah.” Bukannya ceria, gadis itu malah terlihat lemas.
Tisha melihat tangan gadis itu masih kosong. “Di mana?”
Perlahan, gadis itu mengangkat tangan, mengarahkannya pada rak paling atas di dekat mereka.
Tisha membandingkan postur tubuh gadis itu dengan posisi buku yang ditunjuknya. Tidak seimbang. Rak itu terlalu tinggi.
“Tadi aku lagi jinjit-jinjit, mau ambil itu, tapi ....” Gadis itu menggantung kalimatnya sambil memainkan jemari.
Tisha menahan napas, menyadari tabrakannya mengganggu usaha gadis itu. Sebagai kompensasi, maka Tisha mengajukan diri. “Boleh aku bantu ambilkan?”
Gadis itu mengangguk cepat. “Tolong, ya.”
Begitu Tisha berhasil mengambil dan menyodorkannya, gadis itu segera menerimanya dengan mata yang berbinar. “Terima kasih banyak.” Nada gadis itu begitu riang. Wajahnya pun berubah cerah.
Tisha menggaruk tangan, salah tingkah. “Masih ada lagi yang mau dicari?” Ah, dia sadar sudah kebablasan, tetapi dia tak berniat berhenti.
“Iya.” Wajah gadis itu bersemu, malu-malu. “Aku mau nyari buku fiksi terjemahan.”
“Uhm ....” Tisha memutar kepala, kemudian mengarahkan tangannya ke sebuah sudut. “Kayaknya ada di sana.”
“Iya, kah?” Gadis itu antusias.
Tisha mengangguk. Lima hari menemani Sawala di tempat ini, membuatnya mulai mengenali isinya. Dia bahkan hafal beberapa rak berisi buku-buku tertentu. “Mau aku bantu cari?”
“Eh, enggak merepotkan?”
Tisha tercenung sekejap. Harusnya, jika jiwa apatisnya mode on dia akan langsung menjawab repot, kan? Namun, kenapa sekarang lidahnya kelu untuk menolak dan malah mengajak, “Ayo ke sana!”
Sepuluh menit berikutnya Tisha habiskan dengan menemani gadis itu berkeliling. Ternyata gadis itu mencari cukup banyak buku, katanya untuk makin memantapkan pemahamannya akan materi yang telah dijelaskan guru. Melihat bagaimana antusias dan rajinnya, Tisha yakin gadis itu adalah siswa yang cerdas seperti Sawala.
Setelah menyelesaikan data peminjamannya, gadis itu mendekap buku-buku itu dengan erat. Saat menuju ambang pintu, memandang Tisha lekat-lekat. “Sekali lagi, terima kasih banyak, ya.”
“Sama-sama.” Tisha hanya membalas sekenanya dengan tatapan tak biasa. Semacam menyiratkan keharuan? Ah, entahlah, yang jelas bagi Tisha mendapat ucapan terima kasih merupakan hal yang mengaduk perasaan.
Saat Tisha akan membalikkan tubuh, suara gadis itu kembali menginterupsinya.
“Eh, kita belum kenalan.” Tangan gadis itu terulur. “Nama aku Tazkia.”
Tisha menggigit bibir. Bimbang untuk menyambutnya.
“Nama kamu siapa?” Tazkia kembali bertanya.
Membuat Tisha membuang napas. Baiklah, mungkin tidak ada salahnya untuk menambah kenalan. Ya, ingat, Tisha hanya akan menjadikan gadis itu kenalan, tidak mau lebih. Akhirnya, tangan kanan Tisha terulur. “Aku Tisha.”
“Wah, sama-sama T. Semoga kita bisa berteman, ya,” tanggap Tazkia ceria.
Tidak mau! jerit Tisha dalam hati.
“Kalau gitu aku pamit, ya.” Tazkia berjalan sambil melambaikan tangan. “Sampai jumpa lagi, Tisha.”
Tisha hanya mengatupkan bibir. Dia tidak masalah jika harus bertemu Tazkia lagi. Namun, cukup dari jauh. Jika harus dari dekat apalagi sampai harus berinteraksi lagi ... Tisha mending kabur saja.