"Ekhem. Sini obatnya! Ekal aja yang ngobatin" ucapnya.
Rekal pun dengan telaten mengobati luka yang ada di lutut Rara. Lututnya agak sobek jadi mengeluarkan darah.
"Sakit" ucap Rara jujur.
Rekal menoleh dan langsung meminta maaf.
"Nah, udah selesai" ucapnya. Rara pun lega karena lukanya tersebut perih.
"Perih tau"
Rekal langsung mengembalikan obat merah nya ke tempatnya semula dan kembali menatap Rara dengan lekat.
Rara pun langsung terkejut dengan tatapan tersebut, "K-kenapa?" tanya Rara.
"Sekarang Ara jujur sama Ekal!" ucap Rekal dengan nada yang serius.
Rara mengerjapkan matanya berkali-kali. Karena, Ia seperti baru pertama kali melihat sosok Rekal yang lain.
"Ekal serem" ucapnya takut.
Rekal langsung merubah raut mukanya, "M-maaf bidadari. Ekal cuman mau tau penyebab Ara jatoh"
Raut wajah Rara langsung berubah seketika. Dan Rekal langsung membuang mukanya ke arah samping. Seolah-olah Rekal tau siapa yang mencelakai bidadarinya, tetapi, Rekal ingin tau kebenarannya dari mulut Rara sendiri.
Rara masih tak kunjung bicara. Dan tiba-tiba bel jam masuk pun berbunyi.
Kringg...
"Udah bel" ucap Rara dan hanya mendapat anggukan dari Rekal. "Kok cepet banget, ya?"
"Ayok ke kelas!" ucap Rekal sembari mengulurkan tangannya untuk membantu Rara turun dari brankar.
Rara hanya terdiam dan tak menghiraukan uluran tangan dari Rekal.
"Ara bisa sendiri kok"
Rekal menghela nafasnya dan langsung membantu Rara turun. Rara terkejut karena Rekal masih mau membantunya walaupun Rara tahu kalau sebenarnya Rekal masih agak kesal soal yang tadi.
"Kan Ara udah bilang kalau Ara bisa sendiri" ucap Rara.
"Tapi sekarang udah ada Ekal yang selalu ada buat Ara walaupun Ara selalu bilang bisa sendiri" ucap Rekal.
Rara terdiam. Beginikah rasanya dicintai?
"Terpaksa, kan?" tanya Rara secara tiba-tiba.
Rekal langsung menatap Rara dengan muka yang terkejut, "Terpaksa dari mana? Ekal ngelakuin semua ini karena tulus dan gak ada unsur terpaksa, paham?" ucap Rekal yang sangat lembut.
Rara hanya bisa mengangguk pelan.
~~~
Saat waktunya untuk pulang, Rara masih menunggu Rekal di parkiran. Rekal masih belum keluar juga.
"Aduh, Rekal mana, sih?"
Rara sangat-sangat kesal karena Rekal tidak keluar-keluar juga dari kelasnya. Di saat orang-orang sedang mengeluarkan motornya, Rara masih diam. Rara hanya melihat orang-orang, dan tak sengaja Ia melihat matanya menangkap sosok lelaki yang bernama Reja.
Dan pada saat itu juga, Rara berusaha untuk memalingkan muka agar tidak bertatap-tatapan dengan Reja. Reja baik, hanya saja waktu itu Ia sedang brengsek.
Tapi ternyata Reja malah menghampiri Rara.
"Ra" panggilnya.
Rara terkejut dan menoleh, "Iya, ada apa?"
"Belum pulang?"
Rara hanya menggeleng. Tak lama kemudian, Reja kembali bertanya, "Kenapa? nunggu Rekal?"
Dan jawaban Rara pun hanya anggukan saja. Entah kenapa, Reja malah kesal dengan sikap jual mahal nya Rara.
Reja langsung memegang tangan Rara, "Ayo, pulang bareng gue aja! Rekal nggak usah lo tungguin!" ajak Reja.
Rara terkejut, tapi, Ia langsung melepas paksa tangan Reja karena takut menjadi salah paham bagi orang yang melihatnya.
"Lepas, Ja! Lepas!!"
Rara terus memberontak saat tangannya terus di pegang oleh Reja.
"Pulang sama gue, Ra! Gue masih sayang sama lo"
Saat mendengar kalimat tersebut, Rara langsung terdiam sejenak. Ia memikirkan cara agar Ia bisa melepaskan tangannya dari genggaman Reja.
Satu ide pun muncul di otaknya, tangan sebelah kiri Rara langsung mengelus pipi Reja dengan lembut. Dan Reja pun ikut terdiam karena merasa kalau Rara itu baper dengan kata-katanya. Tapi, sedetik kemudian...
Plak
Rara langsung menampar Reja dengan tangan kirinya itu dan otomatis Reja langsung melepaskan tangan Rara dan Ia mengelus pipi nya sendiri yang tengah kesakitan. Rara benar-benar kesal dengan ucapan Reja barusan.
"Lo pikir, gue bakal baper dengan kata-kata lo yang bilang masih suka sama gue?"
Rara langsung tertawa remeh, "Cih, Rara yang gampang baperan hanya Rara yang dulu. Dan kata-kata lo itu semuanya bullshit, nggak akan mempan di gue yang sekarang."
Reja menatap Rara dengan tatapan yang sulit di artikan. Dan di kejauhan ada Rekal yang melihat interaksi Rara dengan Reja.
"Kok lo sekarang kayak gini, sih?" tanya Reja.
Rara maju selangkah lebih dekat.
"Lo yang buat gue begini. Lo yang buat gue jadi cewek mati rasa dan gak percaya akan cinta. Lo yang buat gue jadi nggak percaya sama semua lelaki di dunia ini. Dan lo yang buat gue trauma sama semua lelaki yang berusaha untuk dekat dengan gue."
"Dulu, kisah kita memang sebentar. Tapi sayangnya rasa trauma itu yang sulit untuk hilang." lanjutnya.
Reja kembali terdiam. Rasa bersalahnya selalu menyelimutinya, ingin meminta maaf tapi Rara sudah tidak ingin berbicara dengannya.
"Gue-
"Aduh panas, lama banget sih ngobrolnya?" tanya Rekal yang tiba-tiba datang dengan gaya nya yang sangat kalem.
Rara kembali membulatkan matanya. Ia takut kalau Rekal akan salah paham terhadapnya.
"Kal, gue cuman-
"Paham" ucap Rekal dengan lembut sembari melihat ke arah Rara.
Tatapannya pun langsung berbalik kepada Reja, "Lo ngapain di sini? Rara pulang sama gue, bukan sama lo"
Tangan Reja mengepal, "Gue cuman nggak mau liat dia nunggu lama"
Rekal langsung tersenyum remeh.
"Lo siapanya Rara? pacarnya aja bukan. Lo itu cuman mantan yang bikin Rara trauma, kan?"
Reja langsung maju selangkah lebih dekat, "Maksud lo, apa?!" ucap Reja dengan nada yang sudah tidak bersahabat.
"Apa? gue bicara jujur." balas Rekal. Rekal pun langsung menunjuk-nunjuk Reja, "Lo itu lelaki brengsek yang bikin Rara trauma. Lo camkan itu!"
Ingin melawan tapi tak bisa, karena ucapan itu benar adanya. Yang bisa di lakukan oleh Reja hanyalah diam.
Rekal kembali melihat ke arah Rara, "Ayok pulang, Bidadari"
Setelah itu, Rekal dan Rara pun pergi dari parkiran meninggalkan Reja yang diam dengan pikiran yang berisik.
"Gue salah, tapi gue masih cinta sama Dia"