"Non Kinar, buka pintunya Non."
"Pergi Bi!"
"Bibi mohon, Non teh gak boleh ngurung diri seperti ini. Non Kinar belum makan apa-apa dari tadi malam."
"Aku bilang pergi Bi, pergi!"
"Tapi, Non-"
Prangggg!!!
Sesuatu yang keras terdengar dari dalam ruangan itu, Bi Mina terperanjat bukan main. Dalam hati ia hanya berdoa agar gadis itu tidak melakukan tindakan bodoh dengan pecahan kaca yang terdengar bersahutan itu.
Tok tok!
"Kinar, ini Papa," panggil Reno.
"Kamu jangan pikirkan perkataan Abang Kamu. Kinar anak Papa, Kinar anak Mama."
Di dalam sana tangisan Kinara semakin menjadi, perkataan Reno yang begitu lirih, semakin membuat kacau perasaannya.
"Pergi Pa!"
"Papa gak akan pergi sebelum kamu buka pintunya untuk Papa."
"Kinar gak mau ketemu Papa!"
"Papa akan tetap di sini sayang."
"Get lost!"
"Kinar mohon pergi Pa, Kinar mau sendiri," lirih gadis itu dengan suara lemah.
Reno mengalah, ia pasrah pada permintaan Kinara. Putrinya itu butuh waktu menenangkan diri, dia butuh waktu untuk berdamai dengan kenyataan.
****
Rupanya, waktu berjalan seolah merangkak. Tiga hari Kinara harus menginap di salah satu bangsal rumah sakit. Malam itu Adzqya memutuskan pulang ke Jakarta untuk melihat keadaan adik bungsunya. Kondisi Kinar saat itu sangat memprihatinkan, matanya sembab dengan cekungan di bawah mata. Kamarnya berantakan dengan pecahan beling di mana-mana.
Di pergelangan tangan Kinara terdapat beberapa sayatan benda tajam serta telapak kakinya dipenuhi bercak darah yang sudah mengering. Entah apa yang telah dilakukan gadis itu terhadap dirinya sendiri. Setelah sekian tahun, Qya baru melihat lagi bagaimana adik yang begitu disayanginya itu menyakiti dirinya sendiri.
Adzqya merasa bersalah, dia merasa gagal menjadi seorang kakak yang baik. Harusnya setelah pulang ke tanah air keadaan Kinara akan jauh lebih baik namun yang terjadi malah sebaliknya. Malam itu Kinara tak hentinya menangis, meraung seperti orang depresi. Dan dari bibir mungil itu tak berjeda siapa? Kenapa? Dan banyak lagi tanya yang tak mampu Qya balas dengan kebenaran.
Saat Kinara menanyakan siapa orang tua kandungnya? Adzqya membisu, hanya air mata yang mewakili betapa tidak berdaya dirinya dengan pertanyaan semacam itu. Qya hanya bisa menjawab dengan kata maaf yang terus di ulang, sampai Kinara kehabisan tenaga lalu hilang kesadaran di pelukannya.
"Kak, Kinar mau pulang."
"Gak bisa sekarang sayang, nanti kalau kondisi kamu sudah jauh lebih baik kakak janji akan bawa kamu pulang."
"Kinar maunya sekarang Kak, Kinar gak mau di sini. Kinar benci ruangan ini, Kinar benci terlihat lemah dengan berada di tempat terkutuk ini."
"Kakak mohon tunggu sebentar lagi, Dokter Marlin bilang kondisi Kamu makin memburuk. Kakak gak mau terjadi apa-apa sama Kamu," balas Qya.
"Kinar gak peduli Kak, Kinar gak mau lagi berjuang untuk hal yang sia-sia. Kita semua tau akhirnya akan gimana, Kinar lelah berharap pada keajaiban."
"Dont say like this dear."
Kinara menghela napas, kemudian melirih. "Kak please, Kinar cape. Take me a home."
"Fine."
Entah sedalam apa rasa sakit yang gadis itu alami, tidak ada yang bisa menjelaskan betapa hancurnya Kinar saat itu.
"Keluar Kak! Kinar mau sendiri," pintanya lemah.
Sesak sepenuhnya masih menyelimuti dada, pernyataan yang dilontarkan Alan terus bergema seolah enggan keluar dari tempurung kepalanya.
Bagaimana bisa dunia begitu jahat padanya, siapa dia sebenarnya? Siapa sebenarnya Aleasha Kinara di dunia ini? Siapa orang tua kandungnya? Mengapa mereka meninggalkan dirinya?
Setetes cairan bening meluncur dari sudut mata Kinara. Bohong jika dirinya baik-baik saja karena, kilatan luka terpancar jelas dari sorot sebening embun itu.
Kinara semakin tenggelam dan terpuruk, tetesan itu kini menjelma isakan.
'Kenapa Tuhan? Kenapa engkau terlalu kejam pada manusia lemah ini?'
Gadis itu bermonolog dalam hati. Batinnya kian dipenuhi tanya, yang tak bisa ia temui jawabannya.
'Kenapa Mama harus pergi? Kenapa Papa ninggalin Kinar? Kenapa Abang membenci Kinar dan sekarang kenapa Kakak bohong sama Kinar?'
'Oh semesta betapa buruk takdir yang kau tulis untukku'
****
Hari berganti bagai bunga yang berguguran untuk digantikan pucuk yang baru mekar. Kinara melangkahkan kaki memasuki area Kampus yang hampir setiap hari di datanginya itu. Empat hari ia absen dengan alasan pergi ke luar kota, padahal ia menginap di bangsal rumah sakit selama itu. Seperti pagi-pagi lainnya, mereka yang berpapasan menyapa Kinara yang hanya dibalas dengan senyuman tipis.
Kinara berjalan gontai, memasuki kelas dengan sweeter biru langit yang membalut tubuhnya. Sesampainya di tempat duduk, Kinara menenggelamkan wajah di meja. Badannya sangat lemas karena belum pulih seutuhnya. Terlebih suasana kelas yang sangat berisik, membuat kepalanya ikut berdenyut nyeri.
"Ki."
"Hmm...." Kinara membalas tanpa mengangkat wajahnya. Entah sejak kapan Anna tiba di sampingnya.
"Lo kenapa?" Tanya Anna seraya menggoyangkan bahu Kinara.
Anna menempelkan punggung tangan ke dahi Kinara. "Ki Lo sakit?"
"Gak apa-apa."
"Woii badan Lo panas banget dah!" Dengan terpaksa Kinara mengangkat wajahnya.
"I'm Okay."
"Pala Lo oke! Ke ruang kesehatan gih! Gue anterin ya."
"Emang gak belajar?"
Anna menggeleng. "Dosen pada rapat."
Dengan langkah pelan Kinara meninggalkan ruang kelas diikuti Anna yang menjaganya dari samping.
Tiba di Ruang Kesehatan, Kinara langsung membaringkan tubuhnya. Ia memejamkan mata berusaha menyembunyikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, supaya Anna tak mengetahuinya. Kinara tidak mau dipandang lemah, terlebih dia tidak mau membuat sahabatnya ikut sedih.
"Ki gue balik dulu ya, kalau ada apa-apa telepon aja. Nanti Gue ke sini lagi bawain lo makanan," pamit Anna. Kinara mengangguk lalu tersenyum tipis.
Tinggalah Kinara seorang diri di ruangan terkutuk yang penuh dengan obat-obatan itu. Seketika Kinara teringat pada Vero, genap tiga hari ia tidak memberi kabar kepada kekasihnya itu, terakhir ia berpamitan ke luar kota melalui pesan singkat yang ia kirim di malam itu.
Di tempat lain, Vero berlari menuju Ruang Kesehatan, setelah mengetahui bahwa Kinara sudah kembali ke sekolah. Banyak pertanyaan yang mengusiknya tiga hari terakhir. Tentang bagaimana keadaan Kinara? Apakah ia sudah sampai di Bogor? Kapan ia pulang? Dan mengapa ponsel nya tidak bisa dihubungi?
Dari jendela, Vero bisa melihat gadisnya itu sedang berbaring dengan mata terpejam. Pelan, Vero membuka pintu lalu masuk dengan langkah yang ia buat sepelan mungkin, agar Kinara tidak terbangun.
Vero mengamati kedua mata Kinara yang terpejam damai, bahunya naik turun dengan ritme yang sedikit cepat, serta hela napas yang sedikit berat. Awalnya Vero mengira gadis itu tengah terlelap. Namun, samar-samar ia mendengar isakan dan melihat bahu Kinara yang berguncang.
Cemas, tangan Vero tergerak mengusap rambut Kinara membuat cewek itu membuka matanya. Vero melihat jelas mata Kinara yang sembab.
"Kak Vero," ucap Kinara dengan suara parau. Sadar Vero memergokinya menangis, secepat mungkin Kinara mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Ngapain di sini?"
Vero tersenyum tipis menatap wajah Kinara yang pucat. "Harusnya gue yang nanya gitu, lo sakit? Kenapa gak ngabarin gue Ki?"
Kinara duduk menatap dengan pandangan kosong. "Maaf gak sempat, gue cuma gak enak badan."
"Kenapa ponsel lo gak aktif?"
"Lupa di charger."
"Lupa sampai tiga hari?"
"Maaf," ujar Kinara lemah.
"Gue gak butuh permintaan maaf! Lo gak baik-baik aja Ki, kenapa?" tanya Vero, memegang kedua bahu Kinara.
Kinara mencoba tersenyum namun malah air mata yang menetes. "Gue baik-baik aja, gak usah khawatir."
"Kenapa Lo nangis?"
Kinara makin terisak, sepertinya hanya air mata yang bisa mewakilkan perasaannya saat ini.
"Gue gak suka ngeliat cewek nangis, apalagi cewek itu lo." Vero menangkup wajah Kinara, lalu mengusap jejak air mata gadis itu dengan ibu jarinya.
"Gue udah bilang, lo selalu punya gue buat cerita."
Kinara langsung memeluk Vero dan menumpahkan segalanya ke dada bidang milik cowok itu. Vero hanya bisa membelai rambut panjang Kinara sembari membisikkan kata-kata untuk menguatkan kekasihnya tersebut.
"Gue tau lo lagi kacau, dan gue juga tau sakitnya menerima kenyataan pahit. Tapi gue gak mau ngeliat lo lemah kaya gini Ki. Ini bukan lo banget, jujur gue lebih suka lo marah-marah seharian daripada diem dan nangis kaya gini."
Air mata Kinara makin deras, kata-kata Vero sukses membuat dadanya sesak.
"Get well soon, jangan pernah berpikir lo sendirian di dunia ini. Bahkan ketika lo merasa gak berguna buat siapapun, lo berharga, seenggaknya buat gue!"
Setelah kalimat panjang itu pandangan Kinara memburam, kemudian semuanya menjadi gelap.