"Cara termudah untuk bangkit dari luka, adalah melupa."
****
"Kerja bagus Princess, kamu tetap kebanggaan Papa," ujar Reno sembari menepuk bahu Kinara. Sesaat, setelah menuruni mobil.
Mereka masih berada di halaman rumah Kinara yang nampak sepi. Tersenyum canggung, Kinara hanya bisa mengangguk singkat, pada pria yang seketika menjadi asing untuknya.
Kinara melihat deretan angka yang tertulis pada Kartu hasil Studi. Angka tujuh berjejer secara vertikal dengan selingan angka delapan yang tidak lebih banyak dari jemari tangannya. Sungguh, apanya yang membanggakan? Gadis itu tersenyum tipis, Reno rupanya masih pandai menghibur hatinya.
"Pa, maafin Kinar ya," ucap Kinara lirih tanpa memandang lawan bicara.
Darah Reno berdesir hebat. Sudah lebih 12 tahun semenjak Kinara menjadi bagian hidupnya. Tidak sekalipun gadis itu terlihat sebegitu terluka. Putrinya memang pandai menipu dunia, berpaling atas segala sakit yang ia terima.
Setitik rasa bersalah menyusup dalam rongga dada Reno. Dahulu, ia sempat membenci putri malangnya itu, hanya karena kesalahan yang bahkan tak pernah ia perbuat.
Reno sangat menyesal, karena pernah bertindak bodoh dengan mengirim Kinara ke negeri yang bermil-mil jauhnya, saat kondisinya begitu memprihatinkan. Sungguh, orang tua macam apa dirinya? Harusnya ia ada di saat-saat tersulit putrinya itu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Luka terlampau pandai membuat orang menjadi gila.
Entah seperti apa keadaan gadis kecilnya itu di luar sana. Entah berapa banyak kesedihan, ketakutan, serta kesepian yang dilaluinya. Entah Berapa banyak beban berat dan luka yang ditanggung seorang diri oleh Kinara. Reno bahkan tak bisa membayangkan, betapa keras hidup yang dijalani Kinara tanpa keluarganya.
Cukup sudah, ia telah kehilangan belahan jiwanya. Maka, ia tidak boleh kehilangan untuk kedua kalinya.
"Pa!" Kinara menggoyangkan lengan Reno. Menyadarkan pria itu dari lamunan panjangnya.
"Ihh Papa! Kenapa nangis? Malu tau ntar diliatin tetangga."
Reno mengusap titik-titik air yang sempat terjatuh dari sudut matanya.
"Kinar sayang Papa." Gadis itu tersenyum begitu tulus.
Iris sebening embun itu berbinar, bak gemintang di langit kelam. Reno terpaku, pada sepasang sorot yang teduh itu. Di sanalah dia bisa melihat segalanya. Kesepian dan kehancuran yang nyata.
Reno meraih tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Mengelus rambut panjang Kinara dengan tangannya yang bergetar. Reno tidak pernah lupa, bagaimana anak berusia lima tahun itu, berdiri di depan Villanya dengan kepala bercucuran darah.
Anak itu telah hancur berkali-kali, kehilangan berulang kali. Hingga kini, luka itu masih menimpanya secara bertubi-tubi. Anak itu bernama Embun, putri setegar karang yang diadopsinya bertahun-tahun silam.
"Pa, Kinar mau ikut ke Bogor. Kinar mau ke tempat Mama."
****
Vero mengeluarkan kotak persegi yang ia simpan di bagian bawah lemarinya. Meraih beberapa foto lama dan sebuah diary tua. Pemiliknya sudah lama menghilang dari dunia. Entah kesulitan apa yang diterimanya di atas sana. Vero hanya berharap, tuhan berbelas kasih pada gadis malang tersebut.
Vero membuka halaman pertama dari jurnal berwarna merah tua. Hanya sebuah foto yang terpajang di sana, potret anak lelaki yang berseragam SMP. Vero tersenyum, itu dirinya.
Di bawah gambar dua dimensi itu, terdapat goresan tinta. Sebaris kalimat yang penuh makna.
Hadiah terindah dari Sang Pencipta.
Selanjutnya, Vero membaca lembar demi lembar yang berisi ratusan kata. Aksara yang menjabarkan kepedihan dan luka. Vero menutup kotak tersebut, mengembalikannya ke tempat semula.
Cukup sampai di sini, dia tidak akan lagi berlarut dalam luka lama.
"Beristirahatlah dengan tenang, Karisha. Awan janji akan berusaha untuk bahagia."
***
"Mama." Kinara bermonolog di bawah payung hitam yang dipegang oleh Reno.
"Apa kabar? Mama baik-baik aja kan di sana?"
Kinara mengusap air matanya dengan ibu jari. "Maafin Lea Ma, Lea masih cengeng. Lea masih bandel, Lea masih jadi anak yang gak sopan."
"Mama jangan marah ya, Lea janji akan jadi anak yang baik."
"Oh iya Ma, hari ini Papa jemput Lea di Kampus. Nilai Lea masih kecil, maafin ya Ma. Lea belum bisa buat Mama bangga," lanjut Kinara tersedu.
"Mama ... makasih."
"Makasih udah besarin Lea, udah ngerawat Lea dan udah sayang sama Lea. Lea gak mau apa-apa lagi. Lea cuma mau jadi anak Mama."
"Alea sayang Mama, Lea kangen, Ma."
Kinara bangkit, menghambur ke pelukan Reno. Isakannya semakin menjadi, Kinara menumpahkan segalanya di bawah langit yang mulai gelap.