Tiga belas Januari, pukul tujuh malam di Rustic Cafe. Tidak ada yang berubah dari cafe itu setelah terakhir kali Fujiyama mengunjunginya.
Fujiyama tidak menyangka bahwa Meira akan datang lebih dulu dan menunggunya di pojok balkoni. Seolah tau jika tempat itu adalah tempat favoritnya.
Kali ini Meira memakai baju yang lebih stylish dari pada biasanya. Kaos putih berlengan panjang dengan dilapisi cardigan berwarna abu-abu muda keunguan dan dipadukan dengan celana jins hitam yang membuatnya tampak lebih tinggi dan ramping.
"Long time no see, Sir."
"Yeah, last time you seems hate me for the rest of your life," Fujiyama masih dengan kata-kata pedasnya. "But right now you want to meet me here, correct me if I was wrong."
"You're right. I hate you back then." Meira tidak lagi dengan sikapnya yang berusaha merendah. Kini ia menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya.
"I don't understand why you asking me to live with you that time. At first, I thought you try to booking me or something like that."
"But then I remember there is no way someone so stright like you do it without a reason, right? So tell me your reason, Sir. I hope it's good one to hear."
Hening sesaat.
Fujiyama terkesiap dengan sikap Meira yang baru ia ketahui. Wanita di depannya ini ternyata tak kalah mengintimidasi dari dirinya. Padahal selama ini tidak terlihat demikian.
Setelah menghela nafas panjang, akhirnya Fujiyama menjelaskan tentang profesinya sebagai broker saham.
Itu adalah profesi yang sesuai dengan passion, minat serta menjadi kebanggannya. Fujiyama menekuni bidang itu sejak lama dan tidak pernah ada masalah yang berarti selama ia bekerja.
Namun belakangan ini apalagi sejak ia pindah ke Indonesia, ia bertemu dengan beberapa klien yang etos kerja dan prinsipnya tidak sevisi-misi dengannya.
Parahnya lagi klien-klien ini adalah klien prioritas yang menggunakan jasa broker dari perusahaanya sejak lama. Tentunya ikatan masa kerja mereka telah terjalin kuat.
Di sinilah Fujiyama merasa perlu menjaga prinsipnya dan memutuskan untuk ikut dalam rotasi kerja ke daerah lain yang jauh dari Ibukota.
Meski semua hal itu sudah dilakukan namun tentu saja budaya kerja yang ia hindari akan tetap melekat di lingkungan kerjanya. Maka dari itu ia membutuhkan sebuah alibi yang kuat untuk melindunginya dari hal-hal di luar kendalinya.
Meira mendengarkan dengan seksama. Sesekali ia memotong dan menanyakan beberapa hal seperti siapa saja orang-orang yang terlibat. Tentu Fujiyama tidak menjawab dengan detail dan hanya menyebut lima orang tersukses di sana.
"That's why i need a housemate. If I just had a janitor then it will be weird to used it as an excuse."
"So, you need a housemate who can stay at your house and be your shield from your crazy client."
Fujiyama tersentak ketika mendengar Meira menyebut para kliennya gila.
"Well, it's sounds good to me. I can accept that." Meira mengangguk- angguk.
"You willing to join me?"
"But I have some request before it. May I see your ID Card? You seen mine so let's be fair, okay?"
Setelah diam sesaat Fujiyama merogoh dompet yang ada di saku celana dan menyerahkan kartu identitasnya pada Meira.
"So, what's my benefit, if i agree with this agreement?" Cepat saja Meira langsung mengembalikan kartu identitas Fujiyama. Ia hanya ingin memastikan kata single tertulis di sana.
Barulah Fujiyama menjelaskan hal-hal yang akan menjadi keuntungan untuk Meira.
Pertama Meira tidak perlu membayar uang sewa tempat tinggal. Ia bebas tinggal di rumah Fujiyama secara gratis.
Kedua Meira juga akan diberi uang tambahan untuk merawat rumah Fujiyama agar tetap aman, bersih tanpa ada kerusakan di mana pun.
"I will trust you to keep salary for my helper. I had a janitor actually. You don't need to do anything there but just keep and watch at them while cleaning or repair something."
"You can manage the money that i give to you. You can also make it yours when there is no reparation needed but you must remember, i wont give you double credit when something big happend. It's all your responsibility as my housemate."
Fujiyama juga menambahkan kalau ada satu cctv di dalam dan di luar rumahnya. Namun hal itu saja tidak cukup membuatnya percaya pada orang lain untuk masuk ke rumahnya tanpa ada pengawasan. Karena itu ia hanya mengijinkan assisten rumah tangga untuk datang sekali seminggu ketika ia memang sedang ada di rumah.
"So, how? It's sound easy to me." Fujiyama tersenyum tipis sambil menatap Meira.
Untuk sesaat mereka hanya diam dan saling menatap.
"What's your janitor doing usually?" Setelah hening beberapa saat Meira membuka suara.
"Cleaning my house of course." Pria bermata kehijauan itu sedikit bingung.
"Cleaning, laundry, iron your clothes, cooking for you. Isn't it?"
"Not with the cooking but you can say so."
"I will do it." Meira menurunkan tanganya dari atas meja. Posisi duduknya jadi lebih tegak dari sebelumnya.
"You will clean my house? No. I ask you to be-"
"But, not as your housemate."
"Pardon?"
"Wife. I will be your wife."
Fujiyama tidak bisa menutupi ekspresi kagetnya. Pria yang biasanya berwajah tenang dan dingin itu kehilangan wibawanya hanya dengan satu kata dari lawan bicaranya.
"That's my first rule and request Sir." Meira menatap Fujiyama dengan lebih serius.
"Oh, don't get me wrong. It's just a shield I need to wear too."
Meira yang biasanya terkesan sedikit canggung dan selalu mengutamakan profesionalitas kini berubah menjadi sosok yang berani dan tegas.
Semua ide yang diungkapkan Fujiyama memang terdengar menarik. Namun akan aneh bila di praktikkan di negara ini khususnya wilayah ini.
Fujiyama terbiasa hidup di negara-negara yang menganut hukum liberal sehingga ia lupa kalau tidak semua negara menganut hukum dan memiliki norma yang serupa.
Bila memang ingin tinggal seatap berdua maka harus ada hukum sah yang sangat kuat untuk menjembatani mereka. Tidak lain adalah pernikahan.
Dengan pernikahan masalah paling crucial akan terpecahkan dengan mudah. Mereka terutama Meira tidak perlu takut akan pengadilan norma sosial dan hukum perdata yang berlaku.
"Being your wife doesn't mean i like you, I'm doing this just to protect myself . Also if you marry me, you don't have to pay your janitor. I will do everything they do for you and you don't need to pay me more. Just pay me the same way you pay them."
"You don't have to give me money as your wife too. Cause we are only couple on the outside but in the inside we are just housemate as your wish."
Hening. Fujiyama kehabisan kata-kata.
"This is the benefit that you will get if you marrying me." Meira menyeringai seolah sedang sengaja membalikkan situasi.
"Oh, I also promise you to keep our private life. You do yours, I do myself. See? Sounds easy to me."
Fujiyama menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
"Miss.. I can't marry you."
"Why? You don't have to take any responsibility though. I'm not your actual wife. We don't need to do what a couple do. We don't have to do skinship too-"
"I can't because i have no plan to stay in one country forever. Also, I believe that marriage is sacral occupation so I won't play with it."
"I thought that way too but we both didn't believe in love. Living together in one house before married it's same as a crime here."
"As much i know, you are somebody who won't get label as criminal, isn't it?"
Semua yang dikatakan Meira benar. Perkataanya akurat seolah-olah ia telah mengenal Fujiyama begitu lama.
"We are not gonna register our married on civil registration. You don't have to take me anywhere you go. You will free as you want and so i am."
"We also have the worst option. You know it called when you want to stop married someone-"
"It's not.. I just can't." Fujiyama menggelengkan kepalanya perlahan menunjukkan ketidaksetujuannya. Saat ini lehernya terasa seperti dicekik.
"Alright then, seems you the one who need time to think about it now." Meira merentangkan kedua tangannya di atas meja.
"It's okay, take your time Sir. Cause i need about two weeks to change my mind and come to you again. Is it?" Meira berdiri dari tempat duduknya.
Pandangan Fujiyama mengikuti wanita di depannya yang tiba-tiba berdiri.
"Ok. Let's do it." Fujiyama merentangkan satu tangan untuk mencegah Meira beranjak pergi.
"Alright. Let's talk about it then." Meira tersenyum sambil meletakkan tasnya kembali di atas meja.
¤¤¤