Esok paginya, pukul setengah tujuh pagi, Meira keluar dari kamarnya dan bergegas untuk turun menuju ruang kontrol dan keamanan hotel.
"Haloo." Sapa Meira ramah kepada petugas pria yang matanya memerah karena menahan kantuk setelah shift malamnya.
"Ya? Ada yang bisa saya bantu Bu?" Petugas itu berdiri menghampiri Meira di depan pintu. Meira lantas segera menyampaikan maksud dan tujuannya.
Diskusi dengan petugas keamanan pada saat itu cukup sengit, namun setelah tiga puluh menit bernegosiasi, akhirnya Meira keluar dari ruang keamanan. Tanpa di sengaja ia berpapasan dengan Fujiyama yang berniat ingin memulai sarapan di cafetaria hotel.
Mereka saling bertatapan sejenak.
"Good morning Miss Meira." Fujiyama masih dengan ekspresinya yang datar namun tatapan matanya terus mengamati dengan seksama.
"Morning." Meira berusaha tersenyum namun hasilnya nihil. Ia malah terlihat semakin canggung.
"What are you- I mean, did you wanna get some breakfast too?" Fujiyama dalam hati penasaran tentang apa yang sedang Meira lakukan di dalam ruang keamanan namun ia memilih untuk tidak menanyakannya.
Posisi mereka kini berhadap-hadapan.
Tak disangka, Tommy baru saja keluar dari lift dan melangkah ke arah di mana Meira berdiri. Melihat pria itu, Meira langsung balik menatap Fujiyama.
"Yes. Yes. Are you gonna have some breakfast now?"
"Yes. Did you wanna join me-"
"YES. Let's go." Meira tanpa pikir panjang menarik pergelangan tangan Fujiyama. Memintanya untuk bergegas maju menuju cafetaria.
"I'm so sorry for what I did earlier, I-" Meira melepas lengan Fujiyama setelah mereka tiba di cafetaria.
"It's okay Miss Meira. Don't think about it." Fujiyama memahami maksud Meira.
"Let's pretend we are actual couple in front of him for a moment. You must feel uncomfortable whenever you seen him right?" Fujiyama lagi-lagi dapat menangkap keadaan sekitarnya dengan cepat.
"I.. I already asking too much. Didn't I?" Meira merasa gelisah karena telah banyak sekali merepotkan seseorang yang harusnya menjadi kliennya secara profesional saja.
"I'm glad if I can help you."
Hening sesaat.
"Miss, I hope you don't mind to keep our conversation going on. Cause I think that man is watching us." Fujiyama mengamati gerak-gerik Tommy yang sedang terlihat mengambil secangkir kopi.
"Ugh, I don't feel comfortable about this. I mean, you shouldn't get involved with my problem."
"If I don't get involved, what you gonna do Miss?"
Meira tidak menjawab dan balik menatap Fujiyama.
"Let's sit over there." Fujiyama menunjuk dua kursi di tengah koridor cafe dengan sisi kiri menghadap ball hotel dan sisi kanan menghadap kaca besar yang tembus ke pemandangan jalan raya.
Meira dengan tenang melahap sarapan paginya. Nasi goreng dengan beberapa potong chicken fillet, lauk pendamping dan tak lupa kerupuk udang dia tumpahkan ke dalam satu piring putih. Juga teh hangat dan beberapa potong buah segar ikut serta di meja makannya.
Berbanding terbalik dengan Fujiyama. Ia hanya mengambil dua buah roti tawar yang diberi selai srikaya, kemudian secangkir teh hangat dan beberapa potong buah.
"You eat well, Miss Meira." Fujiyama mengangguk melihat wanita di depannya makan dengan begitu banyak menu di pagi hari.
"Hm? I always eat this much in the morning. How about you? Did you good just with that?"
"I can eat some pudding and others later."
"Is there any pudding? Where?" Meira langsung celingukan mencari di mana letak pudding yang dikatakan Fujiyama.
"And now you want some pudding too." Kedua mata Fujiyama terbelalak. Bibirnya sedikit terbuka.
"I can't say no to pudding." Meira masih mencari di mana letak puding yang dibicarakan oleh Fujiyama.
"Pfft. Alright, I will get some for us." Fujiyama berdiri dan bergegas mengambil pudding yang terletak di balik dinding pembatas cafetaria.
"Is he just laught at me??" Meira mengerutkan keningnya.
Fujiyama datang dengan membawa dua gelas kecil berisi pudding coklat dan meletakkan satu untuk Meira.
"Thank you so much!" Meira terlihat sangat bahagia seolah baru menang undian uang satu milyar rupiah.
"Is one enough for you?"
"Eh? Yeah.. one person only can take one, right?"
"I actually saw a little kid have three of it."
"Ah, it's fine. I'm not a kid."
"And his mother too."
"What?!"
"Pfft." Fujiyama menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangannya, menahan tawa.
"Sir, are you making fun of me?" Meira menatap nanar ke arah Fujiyama.
"Uh, no. I just never meet someone who like sweet things so much." Fujiyama membenarkan nada suaranya dengan batuk-batuk kecil.
"We all have our preferrences."
"Yes. We are. I'm sorry I didn't mean to be rude, Miss Meira." Fujiyama kembali dengan wajah seriusnya.
Namun dalam hati ia merasa cukup lega karena kecanggungan antara mereka yang semula begitu membatasi kini berangsur hilang. Mereka sekarang benar-benar tampak seperti 'normal couple' sesuai dengan penyamaran yang diniatkan untuk mengelabui Tommy.
Meira pun baru menyadari kalau Fujiyama tidak sepenuhnya orang kaku seperti yang ia bayangkan selama ini. Malah bisa dikatakan kalau Fujiyama merupakan orang yang sangat bijaksana dan sangat fleksibel. Buktinya, tidak sekali pun pria itu menyinggung soal kontrak atau pekerjaan mereka. Seolah ia tau betul mana waktu untuk membicarakan bisnis dan mana yang bukan untuk berbisnis.
Setelah usai sarapan dan sebelum berpisah di jalan masing-masing, Fujiyama telah menyarankan pada Meira untuk memasang dial darurat pada ponselnya.
Jadi bila sesuatu yang buruk terjadi, Meira cukup menelpon angka satu di layar ponselnya. Kemudian telpon itu akan langsung tersambung pada kepolisian.
Meira hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya dua kali. Kemudian mereka berpisah dan melanjutkan urusan masing-masing.
¤¤¤