Pukul 19.00 Fujiyama turun dari mobilnya dan mulai melangkah masuk ke Rustic cafe.
Dengan memakai kemeja berwarna abu-abu tua polos dengan celana hitam kain dan tak lupa blazer berwana gelap ikut melengkapi fashionnya.
Sambil mengantri di depan kasir, ia menatap ke layar menu dan mulai memilih sesuatu untuknya.
"I'm sure, I'm not late today. Is it Sir?" Seorang wanita menyapanya ramah dan berdiri di sampingnya.
"Well, if you see the time. I'm sure you are not late, Miss Meira." Fujiyama menatap ke arah Meira dan jam tangan Rolexnya bergantian.
"But your work is." Fujiyama masih melanjutkan kalimatnya.
Kedua bola mata Meira membulat dan wajahnya membeku. Tentu saja, Fujiyama menangkap ekspresi itu dari Meira dan memilih untuk diam sejenak.
"But, it just an hour-"
"It's still late Miss. You promise, that you would send your layout at 11 AM but you send it at 12." Fujiyama memotong kalimat Meira dan menatapnya dengan serius.
Meira kembali mengepalkan tinjunya. Senyum yang awalnya berkembang di bibirnya kini musnah.
"May I help you Sir?" Tanya kasir di depannya.
Mereka berdua pun berhenti berdebat sesaat dan memutuskan untuk memesan beverage masing-masing.
Meira kali ini memakai kemeja berwarna abu bergaris putih tipis di temani dengan celana kain hitam tak lupa backpack mini yang selalu dibawanya.
Ia juga membawa satu paper bag dan langsung menyerahkannya pada Fujiyama ketika mereka duduk di samping balkoni.
"Thanks for your jacket." Ucap Meira sambil sedikit menundukkan kepalanya.
Fujiyama menerima paper bag itu sambil menatap Meira dengan sedikit bingung. Kenapa wanita di depannya ini sering sekali menundukkan kepalanya ketika memberikan sesuatu.
Sopan santun berlebihan inilah yang membuat keduanya nampak canggung satu sama lain. Terkadang hal tersebut mengusik rasa penasaran Fujiyama, akan tetapi ia memilih diam sembari lebih banyak mengamati tingkah laku Meira.
Percakapan awal mereka masih seputar pekerjaan dan proyek. Kemudian perlahan berubah sedikit demi sedikit.
"Are you alright all this time Miss?"
"Hm? Ya?" Meira masih asik mengaduk milkshake strowberrynya. Tidak begitu memahami apa yang dimaksudkan Fujiyama.
"That insident."
Meira seketika berhenti pada aktivitasnya dan menatap Fujiyama dengan tatapan terkejut.
"Oh, yeah. I'm fine." Meira kembali sibuk pada minumannya.
Menyadari Meira yang tampak tenang, Fujiyama malah semakin penasaran.
"I'm believe that situation bring some other problem later."
"Yes. It is. Big problem." Lagi-lagi Meira menanggapi dengan santai.
"Are you often in this kind of situation Miss?"
"Have you ever on my situation before sir?"
Meira tetap tenang namun nada suaranya mulai berubah tajam yang bertanda ia mulai tidak nyaman untuk membicarakan hal-hal tersebut.
"Pernah." Fujiyama sambil sedikit mengangguk.
Meira tersedak. Pertama karena jawaban yang tidak ia sangka dan kedua baru kali ini Fujiyama menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengannya.
"Right, you can speak Bahasa." Meira teringat kejadian malam itu ketika Fujiyama datang dan membantunya. Jelas saat itu ia mengusir Tommy dengan bahasa Indonesia.
"Saya bisa namun tidak banyak." Fujiyama menjelaskan.
"Oh." Meira membuka mulutnya seperti ikan yang sedang minum dalam kolam.
Itu sudah sewajarnya, Fujiyama tinggal di Indonesia selama enam belas bulan, tidak heran kalau ia bisa berbahasa Indonesia.
Hanya saja, pria itu memilih untuk tetap berbahasa asing agar tidak sembarang orang mau mengajaknya berbicara.
Hening sesaat.
Seakan fakta tadi membuat banyak hal berubah. Topik yang biasanya seputar pekerjaan entah mengapa jadi menyebar kemana-mana.
"Bisa berbahasa daerah?" Meira seketika ingin menguji Fujiyama.
"Lo.. Gue?"
"Pfft." Meira tertawa sambil menutup mulutnya.
"Well, it's not." Meski hal semacam ini menyenangkan namun Meira tetap berusaha untuk menjaga profesionalitasnya.
"Then it's better for us to keep speak English like this. Right?" Meira meyakinkan Fujiyama.
"Sure."
Transaksi mereka selesai dalam dua puluh menit kedepan. Percakapan kembali santai.
"Miss. If i may to ask, why you still single? I mean unmarried."
"How did you know about my status?"
"You don't remember? You hand me your ID Card that day."
Meira menutup matanya dan mengeluh dalam hati. Memaki dirinya sendiri yang sangat gegabah menyebar informasi pribadinya. Apapun alasanya hal itu tidak termaafkan.
"Well, as you see. I'm busy for working and surviving. So yes, I'm not interested at that now."
Fujiyama menatap Meira lekat. Kemudian memiringkan sedikit kepalanya ke arah kanan.
"I also not interested at that but I'm looking for a partner. Like housemate I could say."
Meira mengerutkan keningnya. Matanya sedikit menyipit karena itu.
"And why you tell me this?"
"Maybe you would interest at that." Raut muka Fujiyama terlihat serius.
"No Sir." Meira menolak dengan tegas. Raut mukanya tidak kalah serius dengan pria di depannya.
"There is benefit you can take-"
"No, thank you. I'm not interested." Meira memotong kalimat Fujiyama.
Suasana yang semula santai kini berubah jadi sangat serius dan tegang. Bahkan lebih mencengkam dari saat mereka membicarakan bisnis.
Fujiyama tidak menganggap tawarannya aneh atau salah. Ia lupa jika culture dan norma yang berlaku di negara yang ia tinggali sekarang ini sangat berbeda dengan negara-negara yang pernah ia tinggali sebelumnya.
"I'm so sorry Miss, but I didn't mean to offend or harm you." Fujiyama membenarkan posisi duduknya. Kini ia duduk dengan lebih tegap.
"I have similar situation as yours. Here, I just need someone who can take care of my house when I leaving for bussiness trip. That's why I need a housemate-"
"Then you need a housewife or a janitor Sir not a housemate." Meira menatap Fujiyama dengan tatapan yang berbeda. Kini ia menatapnya dengan sedikit rasa kesal.
"I told you I'm not interested at that and a janitor would not solve my problem."
"Well, I hope you would find someone out there. I'm not interested." Meira dengan sigap langsung membersihkan barang-barangnya dari meja dan memasukkannya ke dalam tas ranselnya.
"Please tell me if you change your mind."
Saat itu Meira hanya bisa menarik nafas panjang. Hal pertama yang ia rasakan adalah marah dan tersinggung.
Terlepas dari apapun alasannya tetap saja mengajak orang asing untuk tinggal bersama itu sangat aneh sekali baginya. Terlebih mereka adalah wanita dan pria dewasa.
Ia juga merasa kecewa. Bagi Meira tidak semua orang pantas untuk dihormati dan hanya cukup untuk dihargai sebagai manusia saja. Dalam kasusnya, Fujiyama tergolong orang yang patut dihormati karena sikap dewasa dan bijaksananya.
Pria itu juga banyak berbaik hati, dari mulai meminjamkan jaketnya, membantunya mengusir Tommy dan bahkan melindunginya ketika situasi masih kurang kondusif. Semua hal itu dinilai sebagai kebaikan oleh Meira terlepas dari sifat perfectionist atau OCD-nya.
Namun sepertinya Meira telah salah menilai seseorang. Kenyataan bahwa ia telah salah menilai seseorang itulah yang membuatnya semakin kesal.
"Yes. I change my mind." Meira sudah berdiri sambil menaruh tas ransel di pundak sebelah kanannya.
"I change my mind to stop this bussines partnership with you in the futute. We are done now so please don't call me ever again. Thank you for your time and the opportunity." Meira pergi meninggalkan Fujiyama begitu saja.
"As I thought, she is idealistic." Fujiyama menghembuskan nafas pendek dan lanjut menghabiskan kopinya sambil menikmati udara malam hari.
¤¤¤