Stasiun Pasar Senen dipenuhi lautan manusia dengan berbagai kesibukan masing-masing. Terdengar suara kereta dan panggilan keberangkatan. Aku segera menutup telingaku dengan musik-musik lawas yang terdengar syahdu melalui headset. Ditemani segelas latte yang kubeli di minimarket dekat ruang tunggu. Kopi dan novel, pasangan yang serasi untuk menghilangkan jenuh. Apalagi novel ini diberikan oleh pujaan hati.
Menunggu bukan hal yang mudah. Sudah sepuluh menit, tapi tak satu pun para kru majalah memunculkan batang hidungnya. Bahkan Karin yang mengatakan sudah di jalan sejak aku naik KRL dari rumah, belum juga terlihat. Aku curiga yang dimaksudnya adalah jalan menuju kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, aku merasakan seseorang duduk di sampingku. Awalnya aku tidak menoleh, karena kupikir hanya orang asing. Namun setelah sebuah kertas melambai di depanku, ah, ternyata Kak Adit. Dia tertawa. Sepertinya dia hobi sekali menertawakanku. Entah apa yang lucu dariku. Kami pun mengobrol bersama, dari dia basa-basi menanyakan novel apa yang sedang kubaca sampai keluh kesah menghadapi ujian minggu lalu.
Tak lama kemudian, teman-teman lain berdatangan. Karin tergopoh-gopoh sambil menyeret koper miiknya. Aku mendengkus kesal dan memarahinya atas kebohongannya tadi. Dia terkikik menanggapiku.
Masih ada dua orang yang belum datang, yaitu Irene dan Bagas. Padahal lima belas menit lagi kita harus masuk ke dalam stasiun. Saat kereta tujuan Yogyakarta diumumkan telah datang, mereka berdua belum kunjung datang. Kami memutuskan untuk menunggu mereka di dalam. Ketika baru saja kami menunjukkan tiket kereta ekonomi tujuan Yogyakarta kepada petugas, terlihat dua orang yang ditunggu berlarian ke arah kami. Bagas sepertinya sedang menyeret koper milik Irene dan menenteng gitar miliknya. Tak mungkin koper berwarna merah muda mencolok itu milik Bagas. Aku yakin Bagas hanya membawa sedikit pakaian pada ransel hitamnya.
Mereka langsung antri di belakang kami. Bagas tersenyum ke arahku dengan rambutnya yang berantakan. Aku tidak membalas senyumnya, dan hanya meliriknya datar. Apa-apaan dia datang bersama Irene? Aku tahu Irene juga tinggal di kosan belakang kampus. Jadi mereka memang sengaja, gitu?
Setelah masuk stasiun, kami langsung berlari menuju kereta yang baru saja datang. Kebetulan kami semua berada di satu gerbong yang sama. Berhubung yang memesan tiket adalah Karin, jadinya kami duduk berdampingan. Karin pun sengaja menaruhku dekat jendela, tempat favoritku. Namun yang bikin kesal adalah kombinasi tempat duduk yang aku tidak ketahui.
Irene duduk di samping Karin. Seharusnya aku meminta Karin untuk memesan bangku untuk dua orang. Ah, aku lupa. Sebenarnya aku tidak masalah dengan Irene. Namun setelah aku melihat dia bersama Bagas, aku takut tidak bisa menyembunyikan kedengkianku. Dan yang lebih ironisnya lagi, Bagas duduk di seberangku. Di sampingnya ada Kak Adit, lalu Anton. Lebih baik aku fokus dengan lelucon Anton dan mengabaikan Bagas.
Karin sendiri sibuk menawarkan makanan kepada kami. Awalnya aku merencanakan untuk melanjutkan membaca novel yang sempat tertunda. Namun aku merasa kesal dan gengsi terhadap Bagas, jadi kusembunyikan di dalam tas yang kuselipkan di sampingku. Aku sibuk mendengarkan musik dan mengedarkan pandangan ke jendela. Aku tahu Bagas menangkap sesuatu yang aneh dariku, tetapi aku tidak menghiraukannya.
"Kok novel yang tadi enggak dilanjutin bacanya?" tanya Kak Adit kepadaku.
Aduh, kenapa dia membahas itu sih?! Ketahuan kalau aku membawa novel yang diberi Bagas.
"Emm... nanti aja, Kak. Lagi pusing nih tiba-tiba," jawabku.
Serentak Kak Adit dan Bagas menawarkan permen mint kepadaku.
"Ecieeee... kompak gitu! Ayo, Ma, pilih yang mana?" goda Karin.
"Biar ikut kompak, gue juga ikut nawarin Salma deh, tapi gue adanya permen karet. Lebih ampuh ini," ujar Anton terkekeh.
Aku jadi ikut tertawa. Untung saja Anton memecah suasana yang canggung ini dengan leluconnya.
"Ya udah, aku ambil satu-satu ya biar adil," ujarku.
Setelah itu, Karin memutuskan untuk bermain game tebak lagu. Ternyata sangat seru, berkali-kali kami mencemooh Anton yang bernada fals sehingga kami kesulitan menebak lagu. Namun kami menghentikannya, karena ditegur oleh penumpang lain. Kami semua mengutuk Anton yang telah membuat kami tertawa terbahak-bahak.
Baru empat jam perjalanan, masih sisa empat jam lebih sampai di Stasiun Lempuyangan. Estimasi kedatangan jam sepuluh malam. Beberapa dari kru sudah ada yang terlelap. Hanya aku dan Bagas yang masih terjaga di deretan tempat duduk kami.
"Kamu enggak tidur?" tanyanya kepadaku.
"Enggak bisa tidur, lapar. Kamu mau?" ujarku seraya menyodorkan kotak makan berisi beberapa lembar roti berisi margarin dan meses. Dia mengambilnya.
"Kok novel yang aku kasih enggak dibaca lagi?"
"Novel? Memangnya aku bawa?"
"Itu kelihatan keluar dikit dari tas kamu. Kalau mau baca, baca aja. Enggak usah malu sama aku."
Aku langsung memasukkan novel yang sedikit keluar dari tas. Sepertinya ikut tertarik ketika aku mengambil tempat makan. Aku jadi kesal.
"Jangan cemberut dong, nanti cantiknya hilang." Namun Bagas masih saja menertaawakanku.
Aku melemparinya dengan gulungan tisu. Namun tidak menghentikan tawanya.
***
Pagi hari terjadi keributan di ruang makan penginapan saat sarapan. Rupanya mereka sedang berdebat antara menggunakan motor atau mobil ke wisata Hutan Pinus dan Puncak Becici. Namun jika memakai motor, semua perempuan harus dibonceng dengan para lelaki. Terlalu berbahaya jika perempuan yang mengendarai motor mengingat medannya semakin menanjak ketika menuju puncak.
Aku dan Karin menolak menggunakan motor, karena harus dibonceng dengan para lelaki. Untungnya Kak Adit berhasil menyewakan dua mobil dari kenalannya di Jogja. Kami semua pun bergegas ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap.
Setelah itu Kak Adit dan Kak Hendra datang dengan dua mobil yang telah kami sewa. Aku selalu senang dengan kota Jogja, udaranya segar, terlebih jika sudah keluar dari kawasan kota. Masyarakatnya yang ramah dan kulinernya yang sangat menggiurkan.
Selama di tempat wisata aku sibuk memotret pemandangan indah. Aku memang suka dengan fotografi. Sekedar hobi saja dan tidak mendalaminya. Namun beberapa kali aku kesal. Pasalnya aku hanya ingin memotret pemandangan Hutan Pinus, tetapi berkali-kali teman yang lain memintaku untuk memotretnya.
Lebih kesalnya lagi, Bagas dan Irene terlihat akrab sepanjang perjalanan. Bukan itu saja yang membakar emosiku. Secara terang-terangan Irene memintaku untuk memotretnya dengan Bagas saat aku sedang asyik mengambil foto dengan kamera. Aku pun terpaksa memotret mereka berdua. Memang Irene yang meminta Bagas untuk poto berdua, hanya saja aku melihat tidak ada penolakan dari Bagas. Malah sebaliknya, dia terlihat begitu menikmatinya. Entah ini sudah pose ke berapa. Aku jadi merasa seperti fotografer pre wedding.
Tiba-tiba Karin menyeretku untuk bergabung bersamanya di warung untuk minum es kelapa dan makan bakso.
"Eh, udah ya. Tukang potonya gue pinjem dulu buat makan," ujar Karin.
Memang Karin satu-satunya pahlawanku. Ternyata di warung yang kami tuju sudah ada Kak Adit, Kak Hendra, dan Kak Bastian. Aku ikut bergabung, lalu kamimemesan bakso dan es kelapa. Kekesalan dan amarah yang tadi memuncak tiba-tiba hilang. Kami bersenda gurau dan juga sambil merencanakan ke depannya untuk masalah jurnal.
Saat tiba di Puncak Becici, terlihat Karin duduk di salah satu bangku memanjang. Sepertinya dia kelelahan banyak berjalan semenjak di tempat wisata pertama.
"Mau minum enggak?" Aku menyodorkan air mineral dingin yang baru saja kubeli.
Dia mengambil dan meneguknya dengan cepat, lalu menyodorkannya kembali kepadaku.
"Lu baik-baik aja kan, Ma?" tanya Karin.
"Kenapa sih lu nanya itu? Jelas-jelas gue sehat. Kalau sakit enggak mungkin ikut ke Jogja."
"Maksud gue soal Irene. Gue juga sebel, kecentilan banget jadi cewek. Bagasnya juga keterlaluan. Padahal jelas-jelas naksir elu, tapi dia kelihatan suka dideketin sama Irene."
"Udah ah, jangan berburuk sangka. Lagipula gue juga bukan siapa-siapanya Bagas dan enggak berhak untuk ngelarang-larang. Tuh kan jadi ngomongin orang, ngomongin yang lain aja yuk."
"Tapi ngaku kan elu cemburu?"
Aku mendorong bahunya pelan dan Karin hanya tertawa.
Semilir angin mengusap pelan kedua pipiku, seakan menghibur hatiku yang sedang terluka. Aku terkadang menyalahkan diri ini, kenapa harus jatuh hati kepada lelaki di saat yang tidak tepat. Apa aku tidak bisa memilih untuk memiliki perasaan kepada orang yang nanti melamarku? Kalau bisa memilih, aku tidak ingin punya perasaan seperti ini sampai ketika waktu yang tepat.
Tak terasa setelah semuanya merasa lelah, kami pulang ke penginapan setelah mampir ke restauran gudeg. Aku berniat langsung tidur setiba di penginapan nanti, untuk menghilangkan perasaan yang berkecamuk di hati.
***
Suara azan magrib berkumandang, aku membuka kedua mata dan pergi ke kamar mandi yang juga berada di dalam kamar. Setelah itu aku membangunkan Karin untuk salat di musala penginapan. Kami berdua sudah mirip mayat berjalan. Saat suara azan kembali terdengar aku baru sadar bahwa kami berdua terlelap kembali tadi.
Aku melihat Irene sedang sibuk dengan tas-tas belanja yang berserakan di atas kasurnya. Ironis ya, kami berdua duduk berduaan di kereta dan satu kamar pula. Untuk mencegah Irene mengajakku bicara, aku segera ke musala untuk salat isya. Namun usahaku sia-sia, karena dia malah duduk di atas kasurku sekembaliku dari musala. Ah, kenapa bukan Karin yang tempat tidurnya di tengah?! Aku jadi tidak bisa menghindari Irene.
"Eh, lu kok enggak jalan-jalan ke Malioboro? Bagus-bagus tahu barang-barangnya. Lihat deh, bagus kan tasnya?" Irene memamerkan tas selempang yang terbuat dari rotan.
Aku tersenyum dan berkata, "Besok aja soalnya ngantuk banget tadi."
"Iya, tadi Bagas ngajakin, karena yang lain udah duluan. Ya udah deh berdua aja," ujarnya sambil melipat baju yang baru dibelinya.
Lagi-lagi aku hanya tersenyum menanggapinya dan duduk di atas kasur sambil membaca novel. Irene malah menggeser duduknya mendekatiku.
"Eh gue mau nanya, elu deket sama Bagas, kan? Dia udah punya pacar belum?"
"Emm... enggak tahu ya. Gue juga enggak deket sama Bagas." Padahal aku sudah berusaha mengabaikannya, tapi sepertinya Irene tidak paham sinyal penolakan dariku.
"Gue ngerasa kayaknya dia suka gue deh. Perhatian banget dan care gitu. Tadi aja barang belanjaan gue semuanya dibawain sama dia. Mana ganteng lagi." Irene menangkup kedua pipinya.
Aku merasa risi, tapi aku tidak mau terlihat jika aku tidak suka dia membicarakan Bagas. Akhirnya setelah dia puas memuji-muji Bagas dan pergi mandi, aku langsung memakai jaket dan jilbab untuk bergegas ke lobi penginapan. Ditemani dengan teh hangat yang disediakan pihak penginapan, aku melanjutkan membaca novel. Baru saja aku menikmati keheningan menyendiri, ada seseorang yang duduk di kursi seberang meja. Aku pura-pura tidak menyadari kehadirannya.
"Sendirian aja. Oh iya, tadi kamu enggak ikut ke Malioboro? Padahal aku nungguin kamu lho," kata Bagas.
"Aku tadi kecapekan," jawabku dengan mata masih tertuju kepada novel.
"Kamu udah makan belum? Temani aku makan yuk, kebetulan nih lapar."
"Tapi aku lagi nungguin Karin, dia masih tidur."
"Ya udah sama Karin juga, oke?"
"Aku ke dalam dulu deh lihat Karin udah bangun atau belum. Kalau kamu mau duluan, duluan aja."
Padahal sengaja supaya aku tak jalan dengan Bagas. Aku sedang malas pergi bersamanya. Namun tak lama kemudian, Karin muncul dan menghampiriku. Bagas langsung berkata, "Nah, panjang umur! Kita lagi nungguin elu nih buat makan bareng."
Tidak ada alasan buatku menolak. Jika aku menolak, maka akan terlihat aku sedang menghindarinya. Karin yang tidak tahu apa-apa, dia menyetujuinya, karena dia mengaku sudah kelaparan dari bangun tidur.
Suasana makan malam yang canggung. Karin yang separuh nyawanya belum terkumpul, tapi tuntutan perut yang mengamuk. Aku yang sedang malas dengan Bagas. Ditambah teringat obrolan tadi bersama Irene. Bagas jadi terlihat seperti penghibur yang memaksa penonton untuk tertawa. Selain itu, hanya suara pengamen yang berlalu lalang sekitar kedai seafood menemani kami. Sepertinya Bagas sudah lelah berceloteh ria.
Tadinya Bagas menawariku dan Karin untuk pergi jalan-jalan ke Malioboro, tetapi kami menolaknya. Aku memakai Karin sebagai alasan dan diyakini dengan aktivitas menguapnya yang tanpa henti. Kami memutuskan untuk balik ke penginapan.
Sesampai kami di kamar, kami melihat Irene sudah terlelap di atas kasurnya. Aku langsung duduk di atas kasur, sepertinya Karin terlihat ingin langsung melanjutkan mimpinya yang tertunda. Namun aku mengingatkannya untuk duduk terlebih dahulu sampai makanan benar-benar turun ke lambung. Lalu aku membuka Instagram, terlihat Bagas baru saja mengunggah foto suasana Malioboro di malam hari. Tadi ketika kami balik ke kamar, dia ingin menyeduh kopi terlebih dahulu di lobi.
Langkah kaki terhenti.
Kendaraan menepi.
Aku berteriak sepi.
Ingin sendiri.
Apa Bagas kesal, karena aku terlalu dingin terhadapnya? Aku merasa bersalah. Tidak seharusnya aku bersifat seperti itu. Bagas juga temanku. Jika Irene suka kepadanya, kenapa aku harus melarangnya? Apalagi kalau mereka sama-sama suka. Aku memutuskan untuk meminta maaf kepadanya melalui pesan.
Salma: Gas, aku minta maaf ya tadi. Aku lagi kecapekan aja, jadinya bad mood.
Tidak sampai dua menit, aku menerima balasan darinya.
Bagas: Iya enggak apa-apa. Oh iya, tadi waktu ke Malioboro aku beliin kamu sesuatu. Kamu bisa keluar sebentar enggak?
Aku pun langsung beranjak keluar kamar dan duduk di teras depan kamar. Terlihat Bagas datang dari arah lobi. Dia tersenyum kepadaku dan duduk di sampingku. Dia meletakkan sebuah gelang etnik berwarna cokelat dan ditaruhnya di atas meja yang memisahkan kami. Aku mengambilnya ragu-ragu.
"Tadinya aku mau ngasih kamu langsung, tapi kayaknya kamu lagi marah. Jadinya baru sekarang. Dipakai ya," ujarnya.
Aku menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih. Sebenarnya aku bingung antara menerimanya atau menolaknya. Aku tidak mau terjebak pada perasaan yang tidak jelas ini. Akan tetapi aku tidak sampai hati untuk menolaknya. Ya sudahlah, aku anggap saja ini bentuk pertemanan kami.
***
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
---- dalam hatiku?----
Apa hanya angin lalu?
Sajak karya Chairil Anwar tadi sangat mencerminkan suasana hatiku saat ini. Saat aku menatap jendela kereta, semua kenangan sebelumnya terngiang-ngiang. Terasa ngilu dan perih.
Sehari sebelumnya, kami semua mengunjungi Pantai Parangtritis. Aku hanya terduduk di atas pasir sendirian, meskipun Karin berkali-kali mengajakku bergabung. Ingin tahu, siapa penyebab hatiku meradang seperti ini? Siapa lagi kalau bukan si pria melankolis. Aku berusaha meyakinkan hatiku untuk baik-baik saja. Namun aku hanya manusia biasa yang terkadang lepas kendali.
Selama berada di pantai, Irene selalu bergelayut manja di samping Bagas. Bahkan tak segan-segan menggenggam tangannya. Semuanya pun mendukung mereka. Aku merasa muak. Aku hanya duduk sambil mendengarkan musik. Aku tidak ingin air laut yang asin menyentuhku. Kalian tahu kan jika luka terkena sesuatu yang asin? Perih. Namun aku sadar, sebenarnya yang terluka bukan tubuh ini, tetapi hati yang terdalam.
"Salma, ayo ikut bergabung sama kita. Jangan menyendiri, enggak baik. Tujuan kita di sini untuk refreshing, supaya semangat lagi ketika pulang," kata Kak Aditya yang berdiri di hadapanku.
Ternyata Karin membawanya untuk membujukku. Aku mengalah dan mengikuti mereka. Namun tetap saja perjalanan yang seharusnya menyenangkan, hanya menyisakan kenangan yang buruk. Sampai-sampai saat belanja di Malioboro sebelum kami pulang ke Jakarta, aku tidak bergairah untuk memborong aneka oleh-oleh yang seharusnya menarik. Aku hanya mengambil beberapa untuk diberikan kepada Kak Salsa dan Bang Aldi.
Kini di hari ketiga, kami pulang. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam. Bagas tidak mengajakku bicara. Mungkin dia tahu aku sedang tidak ingin diganggu. Biasanya meski aku sedih dan tidak ingin diganggu, dia selalu berusaha membuatku tersenyum kembali. Ah, ya sudahlah. Aku tidak boleh berharap dengan yang tidak pasti.
Kereta pun melaju meninggalkan Jogja, tetapi kenangan buruk masih saja terbawa, dia tidak tertinggal.