Sudah beberapa hari dalam pekan ini terembus gosip hangat seantero kampus. Gosip yang dimulai oleh para kru majalah Suara Pemuda. Gosip antara Pemimpin Redaksi dengan editor majalah, yaitu Kak Fatma. Pasangan idaman menurut masyarakat Universitas Pemuda Bangsa. Aku baru pertama kali menyebutkan nama Kak Fatma, karena editor majalah tidak pernah mengikuti rapat redaksi bersama kru. Hanya datang sesekali saat acara sekolah menulis yang rutin diadakan sebulan dua kali. Namun para pengurus inti majalah pasti sering bertemu dengan editor.
Editor majalah ada tiga orang, salah satunya Kak Fatma. Aku tidak perlu menjelaskan siapa dua orang lainnya, karena di cerita ini akan fokus kepada perempuan yang dijodoh-jodohkan oleh para kru. Kak Fatma merupakan senior yang juga satu angkatan dengan Kak Aditya. Dia merupakan perempuan yang anggun, berjilbab, dan terkenal sebagai pemimpin perempuan terbaik di kampus. Dia pernah menjadi Pemimpin Umum sebelum Kak Hendra, juga pernah menjadi ketua Lembaga Dakwah Kampus untuk bagian akhwat. Masalah akademis? Jangan salah, selain di organisasi, dia pun unggul dalam akademisnya. Dia merupakan mahasiswi Sastra Arab, dan jago sekali dalam berbahasa Arab.
Memang beberapa kali saat sesi sekolah menulis, para kru sering menjodoh-jodohkan Kak Fatma dengan Kak Adit. Mungkin karena terlihat serasi, sama-sama pintar, jago dalam berorganisasi, terkenal seantero kampus, dan keduanya memiliki paras yang menawan. Kru majalah memang terkadang sering bercanda melewati batas. Apalagi soal menjodoh-jodohkan antar sesama kru.
Pernah juga Bagas dijodoh-jodohkan dengan salah satu anggota kru perempuan, namanya Irene. Irene gadis manis dengat rambut panjang selengan. Bagas terlihat menanggapinya, bahkan tak segan-segan merayunya. Mungkin supaya membuat heboh dan lucu. Akan tetapi masa bodoh dengan lucu. Bagiku itu lelucon yang memuakkam. Aku kesal sekali.
Kembali kepada pasangan idaman kampus. Gosip pasangan idaman semakin berkembang hingga kabarnya mereka berdua berpacaran diam-diam. Awalnya aku tak percaya, karena Kak Adit dan Kak Fatma bukan tipe mahasiswa yang suka berpacaran. Menurutku, mereka tipe orang yang ambisius dan serius dalam mencapai tujuan yang mereka inginkan. Selain itu, mereka mudah bergaul dengan siapa pun. Mungkin saja orang-orang salah mengartikannya. Tidak seperti aku yang sulit untuk memulai pembicaraan dengan orang lain.
Namun sepertinya aku salah menduga. Hari ini ketika sidang redaksi, tumben-tumbennya Kak Fatma ikut hadir. Malah kedua editor lainnya tidak ikut, hanya dia. Terlihat beberapa Kak Fatma asyik bersenda gurau dengan Kak Adit. Mungkin benar apa yang digosipkan. Aku senang jika orang sebaik Kak Adit mendapatkan perempuan yang sepadan dengannya. Akan tetapi aku agak kecewa, karena aku sangat mengaguminya dan aku pikir dia bukan tipe lelaki yang berpacaran. Dalam pikiranku, Kak Adit merupakan tipe lelaki yang menjaga kehormatan wanita dan jika ingin serius dengan seseorang, dia akan melamarnya. Ah, tetapi itu bukan urusanku.
“Mulai saat ini harus ada editor yang ikut ketika sidang redaksi. Sesuai keputusan sidang pengurus minggu lalu,” kata Kak Fatma.
“Setiap sidang redaksi Kak Fatma hadir untuk nemenin Kak Adit juga boleh kok,” celetuk Anton, salah satu kru.
Kru yang lain menyambut ucapan Anton dengan teriakan, “Cieee…!”
Namun Kak Fatma dan Kak Adit hanya tersenyum, tapi ... kompak ya?
“Harus diperhatikan dan diingat ya dalam penyampaian berita berbentuk feature. Feature bahasanya harus lebih luwes, jangan terlalu kaku kayak hard news. Hard news yang seperti piramida terbalik dan harus ada 5 W 1 H. Berbeda dengan feature, tidak perlu poin penting ditaruh paling atas seperti hard news,” terang Kak Fatma meneruskan kembali materi sebelumnya.
“Iya, kalian harus ingat, rubrik Aktualita, Sorot, itu menggunakan hard news. Untuk rubrik lifestyle, entertainment itu harus pakai feature. Untuk edisi sebelumnya saya apresiasi yang menulis rubrik lifestyle. Cara menulis feature yang sangat keren. Bisa dicontoh tulisannya Salma,” imbuh Kak Hendra.
Kru yang lain menyorakiku dan bertepuk tangan. Kak Adit menunjukkan jempolnya ke arahku, lalu tersenyum. Aku merasa senang.
Setelah itu sidang redaksi berlangsung selama tiga puluh menit. Aku mendapatkan rubrik Perkuliahan yang isinya tentang seputar kampus. Kali ini rubriknya berisi wawancara dengan rektor atau wakil rektor. Aku berpasangan dengan Anton dan Irene. Setelah sidang redaksi, kami berpencar dengan grup sesuai rubrik yang dibagikan. Anton adalah kru yang paling humoris. Terlihat selama kami kumpul bertiga, tak henti-hentinya kami tertawa karena ulahnya.
“Eh, beneran enggak sih mereka jadian?” tanya Anton sembari melirik ke arah Kak Adit dan Kak Fatma yang sedang berdiskusi di seberang sana.
“Lah, kan elu yang nyebarin gosip. Kirain beneran, ah parah lu!” protes Irene.
“Yee… gue kan denger dari yang lain juga! Lagian masak enggak pernah ikut sidang redaksi, eh sekarang jadi rajin ikut. Duduknya sebelahan lagi, terus diskusi berdua,” kilah Anton.
“Enggak boleh berburuk sangka dulu. Siapa tahu beneran ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan,” kataku berusaha menengahi.
“Aduh, gue jadi malu dinasehatin sama ustajah Salma,” kata Anton terkekeh.
Sampai selesai, masih saja aku tertawa dengan lawakan Anton. Anton tak henti-hentinya melontarkan lelucon kepada kami. Bisa-bisa melilit perut ini. Kami akhirnya berpisah pulang. Aku menyusuri koridor menuju lobi kampus. Aku merasa ada seseorang yang mengejarku.
“Senang banget hari ini, ketawa terus.” Ternyata Bagas.
“Habisnya Anton enggak berhenti ngelucu. Parah nih, sampai perutku melilit.”
“Kalau sama aku kok enggak pernah segembira ini? Ah, jadi iri.”
“Apaan sih kamu? Kamu sih ngegombal terus. Lagian semuanya juga ketawa enggak berhenti. Bukan aku doang.”
Aku melirik arloji di tangan kiri. Aku harus cepat-cepat ke stasiun supaya tidak tertinggal kereta.
“Eh, aku duluan ya, takut ketinggalan kereta. Bye!” pamitku kepadanya dan berlari meninggalkannya.
***
Grup kru majalah mengabarkan bahwa sekolah menulis dimajukan menjadi hari ini. Aku mencari Karin yang tadi terpisah di masjid saat dia ingin ke toilet duluan. Mungkin dia sudah lebih dulu ke ruangan redaksi. Aku segera menyusulnya, meski acaranya masih sejam lagi. Aku berniat menunggu disana yang kebetulan jaringan internetnya kencang.
Sesampaiku di sana, ternyata kosong, tidak ada orang. Aku langsung masuk, menyeret kursi, dan membuka laptop lalu memasang headset. Di tengah-tengah asyik menonton video, aku baru sadar ada orang berdiri di depanku.
“Eh, maaf, Kak, tadi manggil?” tanyaku seraya melepas headset di dalam jilbabku.
Kak Adit tertawa. “Tadi ngetes aja. Habis kamu serius banget sampai enggak tahu kalau ada orang masuk.”
Sambil menunggu yang lain kami mengobrol. Entah mengapa jika sudah mengobrol dengan Kak Adit selalu asyik dan lupa waktu. Bahkan tidak segan-segan aku tertawa terbahak-bahak. Apalagi kali ini kami sedang membicarakan Kak Hendra. Kak Hendra memang terkenal suka merayu para kru perempuan. Cara merayunya berbeda dengan Bagas. Mungkin karena Kak Hendra mempunyai tampang yang lucu sehingga semua orang tak menganggapnya serius.
Akhir-akhir ini Kak Hendra sedang suka merayu Irene, tetapi respon Irene terhadap Kak Hendra yang menolaknya secara terang-terangan menurutku sangat lucu. Ya, tentu saja ini semua hanya lelucon, tidak serius. Jika serius, mana mungkin kami menertawakannya.
Saking asyiknya mengobrol, kami sampai tidak sadar Kak Fatma dan Karin datang. Akan tetapi kami hanya menyapa mereka dan tetap melanjutkan obrolan kami. Karin pun jadi tertarik ikut mengobrol bersama kami. Namun tiba-tiba Kak Fatma dengan nada ketus menyela obrolan kami. “Ayo, jangan bercanda terus. Bentar lagi acaranya mau dimulai.”
Sontak Karin menyenggol lenganku dan kedua matanya melirik kursi di barisan ketiga dari belakang. Kami pun pindah ke sana. Padahal kru yang lain belum datang, aku jadi kesal. Apa salahnya bercanda sambil menunggu yang lain? Tiba-tiba ada pesan masuk. Ternyata dari Karin. Padahal kami duduk berdampingan, tapi dia malah mengirim pesan.
Karin: Ada yang cemburu.
Salma: Masa sih?
Lalu aku menatap Karin dengan alis berkerut. Dia malah membalasku dengan menaruh jari telunjuk di depan kedua bibirnya dan melirkkan kedua matanya ke arah depan. Aku pun melirik Kak Fatma yang sedang asyik mengobrol dengan Kak Adit. Bahkan sesekali dia tertawa. Padahal Kak Adit terlihat tidak terlalu minat berbicara dengannya. Apa-apaan dia melarang kita untuk bercanda? Sendirinya tertawa-tawa.
Selesai acara sekolah menulis, ketika aku sedang memasukkan barang milikku ke dalam ransel, Kak Aditya memanggilku.
“Oh iya, Salma. Minggu kemarin saya ke masjid Al-Falah dekat rumah kamu. Kok enggak ada pengajian kakakmu?”
“Oh, kayaknya ada perubahan jadwal deh. Nanti aku mintain ke Bang Aldi ya, Kak.”
“Lho, kakaknya Salma ustaz ya?” tanya Kak Bastian.
“Iya, Kak, lebih tepatnya kakak iparku sih. Namanya Aldi Putranto.”
“Wih, itu kan Ustaz Aldi yang alumni Al-Azhar Mesir bukan? Itu kakakmu? Keren, keren,” puji Kak Hendra.
“Kak Hendra lebay mulu nih. Masak hari gini enggak tahu kalau Salma adiknya Ustaz Aldi,” ledek Karin.
“Kamu sih enggak pernah cerita-cerita banyak soal temen kamu satu ini. Siapa tahu kita jodoh,” goda Kak Hendra.
Sontak Kak Adit dan Kak Bastian meninjunya dari beberapa arah. Lalu mengatakan kepadaku agar berhati-hati dengan buaya darat satu ini. Sesaat aku melihat tatapan tajam dari Kak Fatma, padahal sedari tadi dia terlihat akrab dengan ketiga lelaki itu. Namun sepertinya Kak Fatma kurang suka kepadaku. Ya sudahlah itu hak dia. Aku tidak bisa memaksakan semua orang untuk suka denganku.
Aku lupa dengan satu orang. Ada yang terdiam sedari tadi. Bagas. Namun dia hanya menatapku dan melengos pergi. Sebenarnya aku ingin menduga bahwa kekesalan Bagas akibat rayuan Kak Hendra. Namun aku tidak ingin besar kepala. Aku membiarkan Bagas pergi, sepertinya aku terlalu lelah dengan semua drama yang dibuat olehnya.
***
Seminggu berlalu semenjak gosip tentang pasangan idaman berlalu. Tadinya ketika gosip itu meledak, semua fans fanatik Kak Adit merasa sedih, sampai ada barisan patah hati. Namun sekarang terkuak bahwa gosip tersebut tidak benar. Malah fans-fans Kak Adit menyebarkan gosip bahwa Kak Fatma-lah yang mengejar-ngejar Kak Adit. Aku tidak terlalu mengurusinya. Lagi pula apa urusan mereka jika memang yang mereka katakan benar? Sepertinya mereka tidak paham dengan konsep, “Berhenti mengurusi hidup orang lain.”
Pekan ini kami akan sibuk dan akan ada pertemuan rutin, karena sebentar lagi akan diadakan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) dan serah terima jabatan pengurus majalah Suara Pemuda. Tidak terasa sudah setahun dengan mereka. Memang setiap setahun sekali diadakan pergantian kru majalah. Kami rapat untuk membicarakan kepanitiaan LPJ sore ini. Kebetulan Bagas yang ditunjuk sebagai ketua dan dia yang menunjuk anggota lainnya. Dia menunjukku sebagai wakil ketua, aku menolaknya. Aku ingin menjadi bagian dokumentasi saja. Namun dia bersikeras agar aku menjadi wakilnya. Aku mendengkus kesal. Bagaimana perasaan yang ada di hati ini tidak bertumbuh subur, jika aku selalu dekat dengannya?
Walhasil sampai akhir bulan saat acara LPJ tiba, aku dan Bagas sering bertemu. Tidak hanya itu, di sela-sela pertemuan kami, selalu saja dia menggombal dengan puisi-puisi atau kata-kata mautnya. Aku? Senang sih, tetapi aku harus bisa mengontrol perasaan. Sampai terkadang Bagas bersifat berlebihan seperti sekarang ketika sedang rapat membahas persiapan LPJ.
“Kira-kira ada lagi pertanyaan atau keluhan yang dihadapi? Bagaimana, Salma? Apa ada kendala sebagai wakil ketua?” tanya Kak Adit.
Belum sempat aku menjawab, Bagas menyela dan berkata, “Enggak ada kendala, karena kami sering komunikasi satu sama lain.”
“Kerjaan wakil kan enggak banyak, paling cuma bantu-bantu ketua sedikit,” celetuk Kak Fatma.
Apa-apaan sih mereka berdua?! Padahal Kak Adit menanyakan kepadaku, karena sedari tadi hanya aku yang terdiam. Ya, memang karena setiap rapat, aku hanya sedikit berbicara. Mungkin karena sifatku pemalu dan tidak mudah mengajak bicara orang lain. Lagi pula, apa hubungannya Kak Fatma dengan rapat persiapan LPJ? Ini kan urusan para ketua dan kru, bukan editor.
Selesai rapat, aku menghampiri Karin yang sudah berjalan mendahuluiku di koridor kampus.
“Gue sebel deh sama Bagas dan Kak Fatma! Padahal Kak Adit cuma nanya baik-baik, kenapa pada sewot gitu?” keluhku kepadanya.
“Aduh, temen gue yang polos ini. Denger ya, Ma, Bagas kayak gitu karena dia cemburu. Kak Adit kelihatan perhatian sama elu. Terus kalau Kak Fatma, emm… mungkin dia merasa Kak Adit lebih nyaman sama elu daripada sama dia, jadi cemburu juga.”
“Masak sih? Enggak percaya gue.”
“Ah, terserah lu deh. Elunya aja yang enggak pekaan.”
***
Memasuki akhir bulan bertepatan dengan acara LPJ dan serah terima jabatan. Acara berjalan lancar, terlebih yang menjadi MC adalah Anton. Acara yang seharusnya serius, disulap seperti acara stand up comedy Indonesia. Perut kami sampai melilit. Ah, aku pasti akan rindu dengan momen-momen seperti ini. Rasanya tak rela kalau semua ini berakhir. Di sinilah aku mempunyai banyak teman, belajar dunia jurnalistik, dan tulis menulis.
Setelah acara, para kru merencanakan untuk mengadakan perjalanan bersama ke Yogyakarta usai Ujian Akhir Semester (UAS) nanti. Kami sangat antusias membahas ini, Kak Bastian dan Karin yang menjadi koordinator perjalanan ke Yogyakarta. Kami menentukan destinasi wisata yang akan dituju, memilih penginapan murah, dan merencanakan naik kereta bersama dari Jakarta. Aku sangat senang dengan rencana ini.
Selesai membahas semuanya, kami pun membereskan sisa-sisa dekorasi dan konsumsi yang berserakan. Aku yang sedang berjalan keluar untuk membuang sampah, tiba-tiba Kak Adit muncul dan menawarkan bantuan. Aku membagi beberapa kantong sampah kepadanya. Kami membuangnya di pembuangan sampah belakang kampus.
“Kalau butuh bantuan, kamu enggak usah segan minta pertolongan yang lain. Selain mengurangi beban kita, juga menambah kedekatan dengan teman lain.”
“Eh iya, Kak, maaf. Aku orangnya emang gini, suka canggung minta tolong sama orang. Mohon bantuannya, sensei.” Aku membungkukkan diri, memberi hormat.
Kak Adit tertawa dan selama perjalanan kembali ke ruangan redaksi, kami mengobrol banyak hal. Sampai ada satu hal yang ingin kutanyakan dan sebenarnya aku terlalu takut untuk menanyakan hal tersebut.
“Kak, maaf nih aku mau tanya. Maaf juga kalau pertanyaan ini menyinggung. Penasaran aja sih.”
Kak Adit tertawa. “Emangnya mau nanya apa?”
“Memangnya beneran Kakak jadian sama Kak Fatma? Maaf bukan maksud ikut campur urusan orang lain, tapi hanya ingin tahu saja.” Aku saja sampai terkejut, aku bisa melontarkan pertanyaan seperti itu. Sejak kapan aku suka ikut campur urusan orang lain?
Lebit terkejutnya lagi, aku melihat Kak Adit tergelak. “Kamu penasaran ya? Enggak kok. Saya tidak ada niatan untuk pacaran, karena fokus untuk kuliah. Lagi pula pacaran lebih banyak ruginya bukan?”
“Iya bener, Kak. Setuju sama pendapat Kakak. Aku juga enggak dibolehin pacaran sama kakakku. Bisa diceramahin habis-habisan aku."
Kak Adit kembali tertawa. Aku baru sadar, suara tawanya menjadi candu. Rasanya aku betah melihatnya tertawa. Eh, apa ini?
Sesampai kami di kantor redaksi, ternyata sebagian besar sudah pergi meninggalkan ruangan. Hanya tersisa Kak Hendra dan Kak Bastian. Ketika aku sedang bersiap-siap pulang, Kak Hendra menawarkanku untuk menjadi kru redaksi jurnal milik kampus. Kebetulan Kak Hendra ditunjuk sebagai Pemimpin Redaksi. Kak Aditya sebagai kru juga sebagai layouter dan Kak Bastian sebagai Bendahara. Mereka masih membutuhkan kru dari mahasiswa jurusanku, karena untuk memeriksa abstrak dan beberapa tulisan berbahasa Inggris sebelum diserahkan kepada editor. Aku menyanggupinya, karena kebetulan Karin juga menjadi kru. Jadinya aku tidak merasa sendirian. Juga lumayan bisa dimasukkan ke dalam Curriculum Vitae.
***
Tak terasa seminggu lagi para mahasiswa Universitas Pemuda Bangsa akan menghadapi UAS. Seminggu sebelum ujian adalah hari tenang, jadinya semua aktivitas di kampus diliburkan. Aku masih tak menyangka sudah berada di penghujung semester dua.
Hari ini aku melangkahkan kaki menuju jalan ke kampus. Bukan untuk masuk kuliah, melainkan menuju kosan belakang kampus. Aku akan menginap di kosan Karin untuk belajar bersama. Dia terus merengek untuk belajar bersama.
“Hei, kok ada di sini?”
Sebenarnya tanpa aku mendongak, aku tahu suara itu. Bagas.
“Iya nih, mau belajar bareng Karin. Kamu mau ke mana?”
“Tadinya mau ke depan nyari makan. Oh iya, aku ada sesuatu buat kamu. Mau ikut aku ke kosan?”
“Tapi aku nunggu di depan aja ya.”
“Iyalah, Gadis Manis. Kan cewek enggak boleh masuk. Ayo, ikut aku.”
Kami memasuki gang sempit dan sampai di depan kosan khusus pria. Aku menunggunya tepat di depannya. Bagas masuk ke dalam dan lima menit kemudian sudah keluar lagi sambil membawa buku tebal.
“Ini buat kamu,” katanya sambil menyodorkan sebuah novel sepertinya.
“Kok kamu tahu kalau aku suka novel ini? Beneran ini buat aku?"
“Ya ampun, Neng, ini beneran buat kamu. Jangan ditolak ya, aku bakal marah kalau ditolak.”
Aku mengucapkan terima kasih sambil tersenyum gembira. Kami pun berjalan keluar gang menuju jalan tadi tempat kami bertemu.
“Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Kamu tahu dari mana aku suka sama novelnya penulis ini?" Aku mengacungkan novel tersebut.
“Tahu dong. Apa yang aku enggak tahu tentang kamu?”
“Gombal! Ya, udah ya aku jalan ke sana ke kosan Karin.” Aku melambaikan tangan kepadanya.
***
Tak henti-hentinya aku tersenyum tersipu sampai Karin melihatku terheran-heran. Lalu aku memamerkan novel yang baru saja diberikan Bagas.
“Awas nanti galau lagi! Sebelumnya sedih dia diemin elu, sekarang kegirangan.”
“Ah, enggak bisa lihat temen seneng sih lu! Oh iya, gue ditawarin jadi kru jurnal sama Kak Hendra pas habis LPJ. Lu juga jadi kru, kan?”
“Iya, gue tahu kok. Tahu enggak siapa yang ngerekomendasiin elu jadi kru?”
“Memangnya siapa?”
“Kak Adit. Ciee…!”
“Apaan sih, cie-cie? Ya kan, wajar aja. Gue mantan krunya di majalah, jadi wajar dong kalau dia rekomendasiin gue.”
“Ah, dasar lu enggak pekaan!”