Read More >>"> Nyanyian Burung di Ufuk Senja (9. Kehidupan Penuh dengan Fiksi Surealis) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Nyanyian Burung di Ufuk Senja
MENU
About Us  

Bangunan tua selalu punya pesona bagi penggemar inspirasi. Meski kejadian lampau yang terjadi bersamanya hanya tertulis dalam sejarah. Namun bangunan tua telah terlebih dahulu menjabarkannya tanpa kata-kata. Aku si pengagum sejarah dan bangunan tua sangat menikmati senja di Kota Tua. Bahkan ketika jalan-jalan ke luar kota, aku selalu mencari bangunan-bangunan tua dan kuabadikan dalam kamera. Aneh, tak segan-segan orang melontarkan hal tersebut. Mereka tak pernah tahu,  bangunan tua, senja, kopi, adalah surga bagi para penggila cerita fiksi. Inspirasi berhamburan dan jari jemari ini siap menari di atas tuts-tuts laptop. Bahkan aku mempunyai impian menulis berlembar-lebar novel di kota-kota eksotis di Benua Biru, Eropa. Eropa yang masyhur dengan bangunan bersejarah dan penuh dengan kota-kota romantis.

“Kamu  bercita-cita mau ke Eropa?” tanya Bagas pada suatu senja di Kota Tua.

“Iya, Gas. Impianku menulis novel di kota-kota yang penuh dengan bangunan eksotis dan romantis,” jawabku dengan pandangan yang menerawang ke langit.

Begitulah kiranya percakapan kami saat senja di Kota Tua. Hari ini Pencinta Literasi melakukan acara menulis cerpen surealis. Memang fiksi beraliran surealisme bukan hal yang baru dalam dunia sastra. Fiksi surealisme merupakan jembatan antara fiksi realis dan fiksi fantasi. Ini salah satu project kami, yaitu membuat kumpulan cerpen yang bertemakan cerita surealis. Kami menulis bersama sambil menunggu senja di seberang pelataran Museum Fatahilah yang kokoh berdiri. Beberapa dari kami membeli kopi di café sekitar sini. Aku setuju karena kopi bisa memancing inspirasi datang. 

“Lu nulis cerita tentang apa?” tanya Maya kepadaku.

“Judulnya, Dialog Senja di Antara Gerbong Kereta. Cerita tentang seorang lelaki yang selalu menunggu seorang perempuan cantik untuk mengobrol sepanjang perjalanan kereta Jatinegara-Bogor. Obrolan yang selalu dinanti-nantikan, ternyata dia hanya mengobrol dengan pantulan bayangan si gadis cantik di jendela kereta.” 

“Keren idenya! Kalau gue judulnya, Lentari Bukan Pembual. Bercerita tentang seorang perempuan yang diasuh oleh seorang wanita yang bernama Lentari setelah orangtuanya meninggal dibunuh oleh penjajah Belanda. Lentari suka berdongeng, salah satunya jika kamu sedang merasa benar-benar kesepian, pepohonan, trotoar, burung bisa berbicara dengan kita. Terus ternyata waktu Lentari meninggal, si gadis tersebut benar-benar melihat itu semua.” 

“Pada keren-keren banget idenya. Gas, lu lebih tertarik idenya siapa? Salma atau Maya?” tanya Gilang sambil menepuk pundak Bagas.

“Gue sih lebih tertarik sama yang punya ide.” Bagas tersenyum.

Semuanya serentak melemparinya dengan gumpalan kertas. Bukannya aku tidak tersipu dengan rayuan Bagas, tapi aku harus lebih hati-hati dengan perasaan ini. Aku takut semua perasaan yang awalnya berbunga-bunga, malah akhirnya mendorongku ke lembah jurang.

Semenjak kenangan buruk di Jogja sebulan yang lalu, aku menjaga jarak dengan Bagas. Aku hanya berbicara kepadanya ketika acara dengan Komunitas Sastra. Selebihnya aku berusaha menghindarinya. Saat bertemu di koridor kampus, di taman, aku selalu beralasan ke toilet. Lama-lama dia berpikir aku sedang diare, tetapi biarlah. Daripada aku mengorbankan sekali lagi hatiku.

Senja tampaknya telah berpamitan. Aku salat magrib terlebih dahulu bersama yang lain sebelum pulang. Kami berjalan bersama menuju stasiun kereta, lalu berpisah dengan yang tidak searah jalan pulang. Kebetulan Aku dan Bagas menuju tujuan yang sama, meskipun setelah transit kami akan menuju jurusan yang berbeda. Namun Bagas mengajakku untuk mencari makan terlebih dahulu saat transit. Jelas aku menolaknya dan beralasan akan makan malam bersama kakakku. Aku juga menolaknya untuk mengantarkanku sampai ke rumah. Akhirnya dia menyerah dan pergi begitu saja. 

Faktanya sesampaiku di rumah, aku menolak ajakan Kak Salsa untuk makan malam bersama. Aku malah menghempaskan tubuhku di atas kasur usai mandi dan salat. Setelah membalas semua pesan yang masuk, aku tergerak membuka Instagram. Aku menggulir beranda meski aku tahu apa yang kucari. Menghindari orangnya bukan berarti aku tidak peduli lagi dengannya. Ternyata benar, Bagas mengunggah foto Kota Tua dengan kata-kata puitis seperti biasanya. Seharusnya dia bukukan saja puisi-puisi indah itu.

 

Senja tampak bahagia di sudut bukit.

Kilauannya menyatu dengan kulit.

Pemandangan itu membuat hatiku menjengit.

Ada serdadu kumbang datang.

Engkau menyatu bersama kembang. 

Aku terpana.

Senyum itu selalu sama.

Selalu tertancap dalam dada.

 

Foto dan puisi tersebut diunggah empat jam yang lalu. Persis ketika kami sedang menikmati senja di Kota Tua. Siapa perempuan yang dimaksud dalam puisi ini? Ah, sampai sekarang masih misteri. Sepertinya pertanyaan itu tak pernah terjawab. Aku merasakan pedih. Aku yang merasa cinta sendirian, mencintai sebuah bayangan. 

***

“Ma, jangan lupa ya nanti abis asar kita rapat redaksi jurnal. Lu tahu kan ruangan redaksinya?” tanya Karin.

“Iya tahu, bawel.” 

“Ih, diingetin malah gitu. Gue disuruh Kak Hendra ingetin lu. Perhatian banget sih dia. Jangan-jangan demen sama elu.” 

“Ah, elu tuh suka ngarang. Semua aja cowok yang perhatian dibilang naksir. Harus husnuzhan, Kar.” 

Dia hanya mencibir dan berjalan mendahuluiku menuju kelas. Tiba-tiba terlihat Bagas dari arah berlawanan, sontak kutarik tangan Karin supaya berjalan bersama dan menutupiku. Aku seperti pecundang di hadapannya. Sampai kapan aku harus seperti ini? Entahlah.

***

Akhirnya jam-jam melelahkan berakhir juga pada jam tiga sore. Aku langsung melangkah lunglai menuju ruang redaksi jurnal. Ternyata semuanya sudah berkumpul. Mungkin karena aku yang berjalan seperti seekor siput. 

“Nah, akhirnya datang juga si tuan putri. Saya bakal sedih kalau kamu nggak datang Salma,” kata Kak Hendra sambil tersenyum jail.

“Maaf ya telat,” ujarku tanpa menghiraukan gombalan Kak Hendra.

Sidang redaksi pun dimulai, kami berbagi tugas untuk menagih tulisan para calon penulis di jurnal. Lalu membagi tugas untuk mengedit tulisan sebelum diberikan ke editor. Setidaknya tidak terlalu berantakan ketika sampai ke tangan editor. Juga kami harus menulis biografi para penulis untuk dicantumkan di bagian belakang jurnal. 

Meski hanya berlima, namun karena kami sudah saling akrab satu sama lain ketika aktif di majalah. Jadinya rapat bersama tidak terasa hambar. Malah jadi seru. Apalagi Kak Hendra sekarang sedang hobi menggodaku. Tentu saja hanya sebuah candaan. Aku tidak menanggapinya dengan serius. Akan tetapi tetap saja itu meledakkan emosi Karin yang tidak terima kalau sahabatnya digombalin oleh playboy cap badak macam Kak Hendra. Semua itu menjadi hiburan tersendiri.

Setidaknya rapat bersama kru jurnal membuatku melupakan Bagas. Tidak ada lagi rapat majalah yang melibatkannya. Entah kenapa aku merasa lebih nyaman dengan mereka, terlebih dengan Kak Adit. Sosoknya yang dewasa dan bijak, tapi memiliki jiwa humoris sehingga tidak terasa kaku. Aku merasa nyaman sampai secara tidak sadar sering bertukar pikiran dan malah terkadang curhat dengannya. Ketika Karin asyik mengobrol dengan Kak Hendra dan Kak Bastian, Kak Adit mengajakku berbicara banyak hal. 

“Kamu masih aktif di Komunitas Sastra?” tanyanya.

“Iya masih, Kak. Cuma kepikiran untuk keluar kayaknya.” 

“Kenapa memangnya? Ada masalah?” 

“Sebenarnya nggak ada masalah dengan kru lain seperti bertengkar dan sebagainya, tapi aku terkadang merasa nggak sepemikiran sama beberapa orang. Ada satu-dua puisi salah satu cowok di komunitas. Terlalu liar bahasanya. Apalagi kalau berbicara soal wanita.” 

“Ya, memang kebanyakan orang yang menggemari sastra berkiblatnya kepada sastra barat. Barat sangat bebas dalam mengekspresikan segala sesuatu tanpa batasan. Sedangkan kita yang berada dalam lingkungan sosial yang kental dengan budaya keagamaan merasa hal tersebut tidak sejalan.” 

“Terus aku harus gimana ya, Kak?” 

“Sekarang saya tanya ke kamu. Tujuan kamu menulis untuk apa?” 

“Untuk memberi motivasi dan akhir-akhir ini aku juga kepikiran pengen berdakwah lewat tulisan sih. Supaya bermanfaat dan menyebar kebaikan.” 

“Nah, itu dia. Kamu tinggal menyesuaikan dengan motivasi yang kamu miliki. Pertahankan yang menjadi tujuan kamu. Saya juga setuju sama kamu. Menulis bukan hanya menyalurkan hobi, tetapi juga menebar kebaikan. Saya juga tidak memaksa orang lain supaya mempunyai visi misi yang sama dalam menulis. Hanya saja kita diciptakan di dunia ini untuk beribadah kepada-Nya. Saya ingin semua yang saya lakukan mempunyai nilai ibadah, termasuk dalam menulis.” 

“Iya, aku setuju sama Kakak. Aku selama ini selalu berusaha menuangkan nasihat-nasihat dalam cerpen-cerpen yang kutulis. Supaya ada nilai kebaikan."

“Ya sudah, kalau kamu merasa masuk Komunitas Sastra banyak kebaikan dan pelajaran yang bisa diambil, tidak usah keluar juga nggak apa-apa. Ambil saja yang baik dan tinggalkan yang tidak sesuai dengan prinsipmu. Kita tidak bisa memaksakan semua orang sependapat dengan kita. Atau kalau kamu tertarik, LDK di kampus kita juga punya komunitas menulis. Mereka lebih condong kepada novel-novel Islami yang menjadi rujukan. Kalau mau nanti aku kirim kontak ketuanya.” 

“Wah, boleh-boleh deh, Kak. Mungkin setelah aku selesaiin project kumpulan cerpen yang lagi digarap sekarang ini.” 

Sebenarnya aku merasa malu kepada Kak Adit. Alasan terbesar aku ingin keluar dari Pencinta Literasi adalah u tuk menghindari Bagas. Namun aku tak ingin Kak Adit menilaiku dengan orang yang dangkal.

***

Beberapa hari di minggu ini sangat melelahkan. Jadwal kuliah yang padat, ditambah aku harus mengedit jurnal yang terbit minggu ini. Akhirnya setelah terbit jurnal edisi bulan ini, kami bisa bernapas lega. Kak Hendra mengajak kami berjalan-jalan ke acara Islamic Book Fair di JCC pada hari Sabtu. Kami sangat antusias.

Pada hari yang telah ditentukan, kami berjanji untuk bertemu di pintu masuk. Kebetulan jam sembilan pagi ada acara di panggung book fair. Kami ikut acara terlebih dahulu sebelum berkeliling memborong buku-buku yang sangat menarik. Setelah acara, aku dan Karin sibuk memilih-milih novel yang akan dibeli. Kak Adit, Kak Hendra, dan Kak Bastian juga mencari-cari buku di stand yang berbeda. 

Sambil menenteng belanjaan, kami mencari ketiga lelaki tersebut untuk makan bersama. Kami keluar JCC dan mencari makan di luar. Sambil menikmati pecel lele dan teh hangat yang lezat, kami membicarakan buku-buku yang kami beli. 

“Eh, kok kita bisa beli buku yang sama sih? Kayaknya kita beneran jodoh deh,” cetus Kak Hendra seraya mengambil buku yang kuletakkan di samping piring yang hidangannya sedang kusantap.

“Bukan aku aja kok, Kak. Karin juga beli. Jangan-jangan kakak yang jodoh sama Karin,” ujarku sambil menahan tawa.

“Ih, ogah gue! Lu tega ya sama sahabat sendiri,” protes Karin.

Kami pun tertawa bersama-sama. Setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing. Hari ini sangat menyenangkan, lumayan untuk membayar hari-hari penat sebelumnya. 

Sebelum tidur, aku menyempatkan untuk membuka Instagram dan lagi-lagi aku menemukan status si pria melankolis itu. 

 

Euforia pagi menyibakkan hati yang sedang kasmaran.

Musim dingin yang selalu digandrungi oleh kenangan.

Namun, tidak dengan dirimu yang tidak sejalan.

Terlihat dari secarik kertas yang kau tinggalkan.

 

Kenapa statusnya seperti sedang patah hati? Sepertinya status ini sudah ditulis dari siang tadi. Aku teringat, sepertinya tadi saat di book fair, aku melihat siluet wajah Bagas sekilas. Namun karena aku sedang menghindarinya, jadi tak kuhiraukan. Apa karena dia melihatku bersama ketiga seniorku tadi? Lagipula kami tidak ada hubungan apa-apa. Ah, kenapa aku berpikir jauh seperti ini? Padahal belum tentu dia menuliskan puisi ini tentang diriku. Bisa saja dia patah hati dengan Irene, karena yang aku dengar mereka sudah tidak dekat lagi. Kabarnya Bagas yang menjauhinya, tetapi aku tidak peduli. Dia tidak pernah menjelaskan apa-apa kepadaku. Jadi aku tidak seharusnya peduli dengannya.

***

“Salma, saya suka sama kamu,” kata Kak Hendra kepadaku di depan kru jurnal yang tak lain Kak Bastian, Kak Adit, dan Karin.

Mereka semua ternganga mendengar apa yang dinyatakan Kak Hendra. Aku sempat berkhayal yang mengatakan itu Bagas. Namun nyatanya hanya senior playboy yang ada di hadapanku.

“Gue sama sekali nggak percaya,” ujar Karin sambil menepukkan kedua pipinya berkali-kali. 

“Kak Hendra jangan bercanda deh. Maaf ya, aku nggak mau pacaran,” jawabku.

Ketiga orang yang menyaksikan hal tersebut pun menghela napas lega dan kembali kepada pekerjaannya masing-masing untuk menyusun jurnal edisi berikutnya. 

“Hei, saya serius tahu! Kamu kok gitu sih jawabannya,” protes Kak Hendra.

Namun yang lainnya tetap bergeming dan masih mengerjakan tugas masing-masing. Mereka tahu Kak Hendra hanya main-main, meskipun dia berusaha memasang tampang serius.

“Kak, plis deh. Kita kerja lagi,” ujarku kepadanya.

Dia terlihat kesal dan merajuk. Aku tahu dia cuma berpura-pura saja. Mungkin dia sedang mencari perhatian. Padahal dia Pemred jurnal ini, seharusnya dia lebih serius bekerja ketimbang memikirkan yang lain. Begitulah Kak Hendra, meskipun dia orangnya pintar dan jenius, tetapi tetap saja kelakuannya menyebalkan seperti ini. Kekanak-kanakan.

“Kak, ngapain sih kayak tadi nggak jelas?” tanyaku kepadanya.

“Supaya si Adit buruan nembak kamu. Kelamaan sih dia, harus dipancing dulu,” jawabnya dengan suara yang sangat pelan.

“Kak Hendra nggak boleh kayak gitu. Nggak boleh memaksakan sesuatu. Biar Kak Adit yang mutusin apa yang dia akan lakukan” ujarku pelan mengikutinya supaya tidak terdengar yang lain.

Aku pun meninggalkannya dan kembali ke meja kerjaku. Apa-apaan ini? Kenapa hatiku jadi berdebar-debar? Apa karena Kak Hendra mengatakan jika dia memancing Kak Adit supaya menyatakan perasaannya kepadaku? 

Ah, pasti dia hanya mengada-ngada. Namun jantungku terus berdegup kencang, biasanya aku merasa seperti ini hanya ketika Bagas merayuku. Sontak aku melirik ke arah Kak Adit dan tanpa disangka dia melihat ke arahku dan tersenyum. Kupu-kupu berkeliaran di dalam perutku dan menggelitikiku. Pipiku terasa panas. Ada apa ini?

***

Anggota Pencinta Literasi mencetuskan untuk mengadakan pertemuan di café daerah Menteng. Kami akan mendiskusikan soal project kumpulan cerpen dan membahas karya yang sudah jadi.

Kami memesan tempat dengan meja yang panjang, karena kami berjumlah sepuluh orang. Saat minuman kami datang, kami memulai pembahasan dengan berdiskusi cerpen bertema surealis yang sudah dikumpulkan. 

“Untuk Maya cerpennya berjudul Lentari Bukan Pembual bagus sekali ide cerita dan alurnya. Tema surealisnya sudah masuk. Cuma disayangkan hanya berada pada ending-nya saja. Memang surealis juga jangan terlalu banyak fantasinya, tetapi kalau bisa unsur surealisnya bisa ditaruh sedikit pada pertengahan cerita, oke?” saran Bagas.

Maya pun mengangguk setuju. Kemudian Bagas melanjutkan kepada tulisan miilikku dan melirik sebentar ke arahku. 

“Cerita Salma yang berjudul Dialog Senja Diantara Gerbong Kereta sudah lumayan bagus dan unsur surealisnya rata diantara plot cerita. Hanya saja ada pemilihan diksi yang kurang tepat. Sudah saya garis bawahi dan saya pilihkan diksi yang tepat.” 

Aku pun mengangguk. Aku merasa canggung saat Bagas berbicara formal seperti itu. Biasanya saat dia memuji tulisanku, pasti ada bumbu-bumbu rayuan manisnya. Setelah mengoreksi karya masing-masing, kami menentukan deadline bagi yang belum mengumpulkan cerpen dan akan kami bahas pada pertemuan selanjutnya. Bagas juga merekomendasikan tulisan-tulisan yang bagus untuk rujukan cerpen bertema surealis ini. Jujur aku merasa kesulitan untuk membuat cerita fiksi surealis. Juga baru kali ini cerpenku bergenre romantis, karena selama ini tidak pernah. Meskipun cerita romansa, aku tetap menyelipkan nasihat yang bermanfaat. 

Ketika menjelang sore, kami pulang ke rumah masing-masing bersama-sama. Aku memutuskan untuk berjalan kaki ke Stasiun Cikini. Lumayan untuk jalan-jalan sore. Tiba-tiba Bagas sudah berjalan di sampingku, tapi hanya terdiam. Tak lama kemudian dia berbicara.

“Kok nggak naik bajaj?” tanya Bagas.

“Sekalian olahraga sore,” jawabku.

“Eh, aku mau beli minuman dulu sebentar.” Dia menunjuk ke arah minimarket yang kami lewati.

Aku pun menunggunya dan setelah itu dia menyodrokan sekotak jus kepadaku. Aku berterima kasih kepadanya. Tak terasa kami asyik bersenda gurau selama perjalanan ke stasiun. Ternyata kami sama-sama merindukan momen bersama. Kupu-kupu kembali menari-nari di perutku, jantungku berdetak kencang.

“Ah, aku sangat merindukan ini, kenapa kamu mendiamkanku, Gadis Manis?” tanyanya kepadaku saat kami di dalam kereta.

“Nggak tahu, Gas. Mungkin aku kesal dengan sikapmu selama trip ke Jogja.”

Bagas tertawa. “Kamu cemburu dengan Irene? Salsabila, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Irene. Di hatiku hanya ada kamu dan kamu pun tahu hal itu.” 

Pipiku terasa panas. Bagas benar-benar bilang jika dia menaruh hati kepadaku. Aku merasa seperti terbang di khayangan. Inikah rasanya perasaan terbalaskan? Kebahagiaan yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

“Stasiun Pesing!” Suara peringatan otomatis dari kereta. Aku tersadar, aku sudah sampai di tujuanku.

Tunggu! Di mana Bagas? Bukannya tadi kami bersama? Aku mencari-cari, menoleh ke sana-kemari. Namun batang hidungnya tidak terlihat. Oh, tidak! Jangan-jangan ini semua hanyalah khayalanku? Persis dengan cerpen surealis yang kutulis. Aku berdialog dengan bayangan Bagas yang muncul dalam pikiranku. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan dan menangis. Menyedihkan sekali diri ini. Memang kehidupan ini penuh fiksi surealis. Terkadang realita dan fantasi mengabur satu sama lain. Kebanyakan orang-orang berfantasi dengan pikirannya, karena itulah satu-satunya jalan untuk menghindari realita.

Aku salah. Aku harus menghadapi realita ini. Realita tentang Bagas yang tidak pernah menjelaskan perasaannya kepadaku. Tetap menjadi misteri sampai kapan pun. Aku tidak perlu berfantasi hanya karena tidak sesuai dengan keinginanku. Cukup hanya tokoh lelaki dalam cerpenku yang berdialog dengan bayangan perempuan yang dia cintai. Perasaan di luar pernikahan hanyalah sia-sia. Hanya halusinasi yang getaran asmaranya akan hilang ditelan waktu. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Under The Moonlight
1515      838     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Marry
866      408     0     
Fantasy
Orang-orang terdekat menghilang, mimpi yang sama datang berulang-ulang, Marry sempat dibuat berlalu lalang mencari kebenaran. Max yang dikenal sebagai badut gratis sekaligus menambatkan hatinya hanya pada Orwell memberi tahu bahwa sudah saatnya Marry mengetahui sesuatu. Sesuatu tentang dirinya sendiri dan Henry.
Seharap
4988      2105     0     
Inspirational
Tisha tidak pernah menyangka, keberaniannya menyanggupi tantangan dari sang kakak untuk mendekati seorang pengunjung setia perpustakaan akan menyeretnya pada sebuah hubungan yang meresahkan. Segala kepasifan dan keteraturan Tisha terusik. Dia yang terbiasa menyendiri dalam sepi harus terlibat berbagai aktivitas sosial yang selama ini sangat dihindari. Akankah Tisha bisa melepaskan diri dan ...
Premium
Antara Aku Pelangi & Hujan
3048      1180     0     
Romance
Zayn bertemu dengan seorang gadis yang sedang menangis di tengah derasnya hujan dan tanpa sadar Zayn tertarik dengan gadis tersebut Ternyata gadis tersebut membawa Zayn pada sebuah rahasia masa lalu yang di lupakan Zayn Membawanya pada sesuatu yang tidak terduga
Langit Indah Sore Hari
97      83     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Asoy Geboy
3892      1204     1     
Inspirational
Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papanya di meja makan. Satu-satunya hal yang bisa Boy banggakan adalah kedudukannya sebagai Ketua Geng Senter. Tapi, siapa sangka? Lomba Kompetensi Siswa yang menjadi p...
Dear N
3342      1359     18     
Romance
Dia bukan bad boy, tapi juga bukan good boy. Dia hanya Naufal, laki-laki biasa saja yang mampu mengacak-acak isi hati dan pikiran Adira. Dari cara bicaranya yang khas, hingga senyumannya yang manis mampu membuat dunia Adira hanya terpaku padanya. Dia mungkin tidak setampan most wanted di buku-buku, ataupun setampan dewa yunani. Dia jauh dari kata itu. Dia Naufal Aditya Saputra yang berhasil m...
1'
2564      994     5     
Romance
Apa yang kamu tahu tentang jatuh cinta? Setiap kali ada kesempatan, kau akan diam-diam melihatnya. Tertawa cekikikan melihat tingkah konyolnya. Atau bahkan, kau diam-diam mempersiapkan kata-kata indah untuk diungkapkan. Walau, aku yakin kalian pasti malu untuk mengakui. Iya, itu jarak yang dekat. Bisa kau bayangkan, jarak jauh berpuluh-puluh mil dan kau hanya satu kali bertemu. Satu kese...
Aku baik-baik saja ¿?
2296      1015     2     
Inspirational
Kayla dituntut keadaan untuk menjadi wanita tangguh tanpa harus mengeluh, kisah rumit dimulai sejak ia datang ke pesantren untuk menjadi santri, usianya yang belum genap 17 tahun membuat anak perempuan pertama ini merasa banyak amanah yang dipikul. kabar tentang keluarganya yang mulai berantakan membuat Kayla semakin yakin bahwa dunianya sedang tidak baik-baik saja, ditambah dengan kisah persaha...
Edelweiss: The One That Stays
1353      583     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...