Dhisti baru selesai memasukkan data barang masuk dan keluar ketika Rania menghampirinya. “Gue harap lo nggak shocked sama berita ini.”
Wanita bermata almond itu mengernyitkan kening. "Kucing lo hamil lagi, kan?"
Rania menggeleng hingga kucir rambutnya ikut bergoyang. "Tadi siang, Pak Bos ngajak cewek ke ruangan pribadinya. Kayaknya Bos suka sama cewek ini. Kelihatan dari cara mandangnya."
Dhisti menghembuskan napas sebelum kedua tangannya bersedekap. "Lo pikir gue bakalan cemburu?"
"Selalu ada kemungkinan, Dhis. Mendingan lo cari cowok lain buat jaga-jaga. Daripada nanti kalau lo patah hati, ngerepotin gue. Maaf ya, kosan gue bukan tempat healing."
Dhisti mencibir pada sahabatnya sebelum menyelesaikan laporan mingguannya. Perkuliahannya sedang minggu tenang, jadi dia bisa lebih lama berada di kafe.
"Dhis, makan di angkringan langganan, yuk," sambung Rania, mengubah topik begitu saja.
Dhisti berpikir sejenak. Ia belum mencuci pakaian dan masih ada mata kuliah yang harus ia review, mengingat tingkat kesulitannya yang tinggi. "Next time aja, ya. Gue lagi ngejar beasiswa, jadi nilai semester ini harus lebih baik."
Rania menatap wajah sahabatnya dalam. Rania tahu perjuangan Dhisti untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak tanpa bantuan finansial siapa pun. "Oke. Tapi ingat buat jaga kesehatan lo, Dhis. Kalau gue perhatiin lo jarang makan siang akhir-akhir ini."
Dhisti mengangguk dan kembali melebur dengan aktivitasnya hingga jarum jam menunjukkan angka delapan. Waktunya pulang. Dhisti mengambil tas dan kunci motor di loker sebelum pergi. Ia membayangkan cuciannya selesai dan sesi belajarnya pun lancar. Tapi, semua itu hanya tinggal mimpi. Langkahnya terhenti saat seorang wanita paruh baya dengan dress merah marun menghampirinya. "Bude Nuri?"
Nuri mengangguk dan menatap Dhisti dengan tajam. "Saya kemari mau ajak kamu makan malam. Laras belum pulang soalnya."
Bila Nuri memberi perintah, tidak ada penolakan yang boleh terucap. "Baik, Bude. Tapi aku ganti baju sebentar, ya?"
"Nggak perlu. Saya udah nungguin kamu dari tadi. Apa kamu nggak bisa hargai waktu saya?"
Dhisti tidak menjawab dan segera mengikuti langkah Nuri menuju mobil yang terparkir di halaman.
**
Kadang, Dhisti tidak mengerti dengan takdir yang selalu membawanya dalam momen seperti ini. Ia hanya ingin banyak waktu untuk dirinya tapi ada saja hal yang menghalanginya. Dhisti membiarkan hal itu bercokol di kepalanya hingga mereka tiba di sebuah resto sunda. Alunan musik tradisional dari sebuah orkestra yang memainkan angklung menyambut keduanya. Nuri memindai ruangan sebelum matanya bersirobok dengan teman lamanya. Nuri bergegas ke meja di sudut ruangan, membiarkan Dhisti mengikuti langkahnya.
"Nadia, lama nggak ketemu," ujar Nuri sambil cium pipi kiri dan kanan.
Dhisti mengulas senyum tipis pada dua wanita setengah baya di hadapannya. Rupanya Nuri mengajaknya bertemu teman lamanya. Ah, kenapa harus selarut ini coba?
"Aku sudah pesan makanan. Maaf ya, aku bisanya sekarang. Kalau siang aku sibuk ngurus cucu," ujar Nadia, menjawab pertanyaan Dhisti.
Nuri mengiakan dan dengan gerakan tangannya meminta Dhisti duduk di dekatnya. Nadia memindai Dhisti yang tersenyum simpul padanya.
"Halo, Tante. Saya Dhisti, keponakan Bude Nuri,” ujar Dhisti.
Nadia mengulas senyum hangat yang sejenak mengingatkannya pada seseorang. Tapi Dhisti tidak mengingatnya. "Oh, saya Nadia. Bajumu kayak familiar. Kamu kerja di kafe anak saya, bukan? A Latte?"
Dhisti baru membuka mulutnya ketika Damian bergabung. Lelaki itu duduk di sebelah Nadia. "Maaf, lama. Tadi ngantri di kasir, Ma."
Nadia mengelus pelan pundak anaknya sebelum menanyakan perihal Dhisti.
"Iya, dia kepala pelayan, Ma. Kamu kok bisa kenal Tante Nuri, Dhis?"
Nuri berdeham, seakan menuntut perhatian setiap mereka yang duduk mengelilingi meja itu. "Nadia, kamu pasti tahu soal Rose dan suamiku, kan? Dhisti anak mereka. Aku cuma menjalankan perintah suamiku untuk mengasuhnya."
Dhisti menelan ludahnya dan menunduk. Ia tidak pernah menduga Nuri membuka luka lama yang sudah ia tutup rapat.
Nadia membulatkan mulutnya. “Rose memang jahat. Ah, tapi kamu beruntung Dhis bisa mengenal Nuri. Setidaknya kamu bisa hidup layak.”
Dhisti mengangguk kecil tapi pandangannya tidak lepas dari ujung bajunya.
“Ya, Dhisti sudah kerja sekarang. Harusnya bisa lepas dari kami. Tapi mendiang suamiku sudah membuat surat perjanjian untuk menjaganya sampai dia menikah,” lanjut Nuri dengan santainya.
Nadia terdiam sejenak, mencerna perkataan sahabatnya itu. Damian menatap lekat sosok di hadapannya.
“Tabungan baikmu kan, jadi banyak, Nuri. Tapi kalau ingat Rose, wajar kamu begini,” jawab Nadia lugas.
“Aku belum bisa maafin Rose. Apalagi Dhisti mirip banget sama dia. Cara jalannya, bicaranya. Semuanya."
Seperti ada godam yang menghantam dada Dhisti dan menghancurkan pertahanannya, ia berdiri dan pamit. Wanita bermata almond itu hampir membanting pintu toilet seandainya ia lupa di mana keberadaannya sekarang. Dhisti memandang pantulan dirinya di cermin. Seperti tidak ada hal baik yang bisa dibanggakan, bahu Dhisti terguncang seiring air matanya yang turun melewati pipi. Ia berusaha menenangkan diri tapi tangisnya malah makin menjadi. Tidak ingin ada orang lain yang curiga, Dhisti menyalakan keran air dan menumpahkan semua yang mengganjal di hatinya.
Ia tidak ingin kembali tapi Nuri pasti mencarinya. Menarik napas panjang sebelum menghapus air matanya, Dhisti segera keluar dan menghadapi Nuri.
**
Tiap pertemuan pasti berujung perpisahan walau berjanji untuk bertemu di lain waktu. Nuri memeluk Nadia erat sebelum berjalan ke parkiran. Dhisti mengangguk kecil pada Nadia dan Damian. Sepanjang perjalanan, terdengar musik yang samar. Nuri menoleh ke arah Dhisti yang menatap jalan.
"Saya minta maaf. Jangan kamu ngadu hal lain ke Damian atau Nadia. Kamu harus selesaikan semua masalah sendiri. Bisa?" ujar Nuri.
Dhisti mengiakan dan larut dalam pikirannya hingga tiba di kosan. Yang ingin ia lakukan sekarang hanya berbagi pada seseorang. Bukan untuk mencari pembelaan tapi Dhisti tidak tahan dengan apa yang menimpanya barusan. Perlahan, ia mengeluarkan gawai dan mengirim pesan pada Rania.
Angin malam menerpa wajah Dhisti, membuatnya berjalan ke balkon. Dhisti menghempaskan tubuh di kursi rotan dan menatap bintang yang bersinar lembut. Dalam kegelapan pun, masih ada cahaya yang memberi harapan. Dhisti tahu, semua akan menuntunnya pada kebaikan.
“Dhis, are you okay?”
Dhisti menoleh dan menemukan Rania yang berdiri tak jauh darinya. Dhisti menghambur ke arah sahabatnya dan memeluknya. Tangis yang tadi ditahannya kini meluap lagi. Rania mengelus pelan punggung Dhisti. “Ceritain semuanya, Dhis.”
"Aku tahu kalau Bude menolakku Ran, tapi nggak perlu menghinaku. Apalagi di depan Damian dan Ibunya,” ujar Dhisti lirih.
"Dhis, kamu itu kuat. Buktinya kamu bisa bertahan dengan semua perlakuan Bude dan Laras. Kalau kamu merasa sekarang ini berat, nangis aja. Tapi abis itu janji buat senyum lagi."
Dhisti menatap wajah Rania dan mengulas senyum tipis. Berbagi sedikit beban memang membantunya untuk merasa lebih baik.
Malam meramu mimpi indah menuju pagi yang cerah. Dhisti terbangun karena dering telepon yang nyaring. Wanita bermata almond itu berdecak kesal tapi ia segera membuka mata melihat nama yang tertera di layar.
“Turun sekarang juga,” ujar Damian tegas.
Dhisti kalang kabut melihat jam di gawainya. Mengucir rambut sebahunya dengan asal, Dhisti bergegas membersihkan wajah dan menggosok gigi dengan kilat. Nggak mungkin bertemu Damian dengan penampilan seadanya, kan?
“Dhis, lo izin sakit aja. Nanti gue bilang ke Bos,” ujar Rania yang baru selesai memasak.
“Nggak perlu. Bos ada di bawah.”
Rania membulatkan mata tapi ia tidak punya kesempatan bertanya. Dhisti segera menemui Damian yang berdiri di depan mobilnya. “Pak, saya-”
Damian mengulurkan kantong plastik di hadapan Dhisti, memangkas perkataan wanita itu. “Buat kamu. Langsung dibuka, ok?”
Dhisti mengambil kantong itu dan membaui aroma harum. Wanita itu hanya terdiam ketika Damian meluncur pergi. Ia masih belum mengerti maksud lelaki itu. Namun, Dhisti berjalan ke kamarnya dan membuka paket tadi.
Hari ini saya kasih kamu libur. Itu donatnya dimakan. Tapi jangan keasyikan. Kamu harus kerja besok dan saya mau baca draft pertamamu buat blog.
Dhisti tersenyum kecil membaca pesan Damian yang awalnya manis tapi berujung perintah yang membuatnya kesal. Rupanya Damian memperhatikan keadaannya. Sudut bibir Dhisti terangkat, membentuk bulan sabit. Tak lama, ia membuka kotak di bawah surat tadi. Benar saja. Barisan donat dengan topping blueberry menyambutnya. Warna cerah berry seakan memberinya kekuatan untuk tetap berdiri tegak. Dhisti mengambil satu donat dan memakannya. Rasa manis yang berpadu kesegaran buah membuat perasaannya membaik seketika.
"Widih, senang betul kayaknya. Sampai lupa sama temannya."
"Iri ya lihat Pak Bos perhatian sama gue?"
Rania mengernyitkan kening. "Ngapain? Nggak tahan gue ngadepin manusia yang cakep tapi ngegas mulu kerjaannya.”
Dhisti tidak peduli dengan perkataan sahabatnya dan kembali mengunyah donatnya. "Ran, gue pikir ini saat yang tepat buat pindah kosan. Bude Nuri udah muak sama gue."
Rania memperhatikan sahabatnya. "Sekarang lo pikirin dulu kesehatan lo. Itu lebih krusial, Dhis. Gimana lo bisa beraktivitas kalau lo sedih? Soal pindahan pasti ada waktu yang tepat. Saat semuanya sudah menemukan jawabannya."
Dhisti mencerna perkataan sahabatnya sebelum tersenyum hangat. "Iya juga, Ran. Kalau gitu lo nginap sehari lagi ya, di sini?"
"Ih, dasar nggak peka. Pokoknya lo harus ngerjain semua sendirian, ya. Nggak ada lagi bantuan."
Dhisti tertawa. Memiliki sahabat yang mengertinya adalah sebuah anugerah terindah yang harus ia syukuri sekaligus ia jaga.
**