Dhisti melebarkan langkah, memangkas jarak antara dirinya dan bangunan bergaya retro itu. Jantungnya bertalu dua kali lebih cepat, seiring keringat yang menghiasi pelipisnya. Dengan cepat ia menyekanya dengan ujung baju sebelum kakinya menjejak paving block. Mata almondnya memindai tempat parkir dan ia terkesiap ketika mobil Ayla hitam sudah terparkir di sudut.
“Waduh, Pak Bos udah datang lagi,“ujar Dhisti.
Wanita itu segera berlari menuju pantry dan mencuci tangan. Dengan cepat, ia meletakkan tas di loker. “Hey, Dhis. Gue pikir lo nggak dateng,” ujar Rania, meletakkan secangkir kopi di dekat rak.
Dhisti menoleh, menemui seorang wanita yang mengenakan celemek cokelat muda bertuliskan 'Teman Ngopimu' itu.
“Semalam gue nggak bisa tidur, Ran. Oh ya, siang nanti lo tolong jaga di dalam, ya. Biar Pak Bos nggak perlu bantuin kayak kemarin. Kayaknya dia harus nambah karyawan satu lagi, deh.”
Rania mengulas senyum pada sahabatnya itu. “Siap, Dhis. Tapi tolong buatin teh ya, buat si Bos. Terus, lo kasih dia soalnya ada yang mau dibicarakan sama lo. Penting, katanya.”
“Tumben. Mau bahas apa, ya?”
Rania mengangkat bahunya saat pandangannya tertuju pada Dhisiti yang wajahnya merona merah.
“Awas nanti salah nuang, Dhis. Bisa nggak jadi dinikahin kamu nanti,” jawab Rania, mengulas senyum sebelum tawanya membahana.
Dhisti membulatkan mata mendengar pernyataan sahabatnya sambil berkacak pinggang. Dhisti baru berbicara ketika tawa sahabatnya berujung senyum lebar. “Ih, apaan deh. Gue nggak mau bermimpi terlalu tinggi, Ran. Belum lagi status di antara gue dan Pak Bos yang bagai bumi dan langit itu.”
“Iya, ngerti. Udah ya, gue tinggal. Yang bener buat tehnya.”
Dhisti mendengkus tapi tak lama ia mengiakan juga perkataan Rania.
Sementara itu, di ruangan lain dengan jendela yang terbuka lebar, Damian menggerakkan tetikus pada layar komputer yang menampilkan sebuah laman. Dengan mayoritas warna peach dan sedikit informasi mengenai A Latte, Damian yakin ini akan membantunya untuk mempromosikan kafenya. Pengunjung websitenya belum banyak karena Damian belum punya cukup waktu untuk mengurusnya. Melihat potensi salah satu karyawannya yang pernah memenangkan kompetisi menulis membuat Damian yakin ini jalan terbaik untuk mewujudkan niatnya.
Lelaki itu segera sibuk dengan pekerjaan lain ketika ketukan di pintu terdengar. Dhisti mengangguk hormat dan berjalan pelan menuju Damian yang masih asyik menatap laptop.
“Tehnya, Pak,” ujar Dhisti lembut.
Damian mengiakan sebelum mengamati tabel di hadapannya. Dhisti memilin jarinya sambil sesekali menatap wajah Damian yang memukau. Dengan sepasang mata bak elang dan alis tebal, Damian seperti menunjukkan pada dunia tentang arti ketampanan yang sebenarnya. Semua itu makin keren di mata Dhisti, apalagi ditambah kemeja putih dengan strip biru langit yang Damian kenakan, kontras dengan kulit gelapnya. Sepertinya lelaki itu belum bercukur, tapi justru itu hal yang membuat penampilannya makin memikat hati Dhisti.
Wanita itu mengulas senyum menetralkan detak jantungnya yang bertalu dua kali lebih cepat seiring rasa nyaman di hatinya. Selalu begini tiap kali ada Damian di depannya.
“Mau sampai kapan kamu berdiri di situ, Dhis?”
Dhisti terkesiap menyadari tatapan Damian yang tajam padanya. “Eh, maaf, Pak. Saya cuma nunggu instruksi.”
Damian menggeleng pelan. “Kamu udah lama kenal saya, Dhis. Ngapain juga harus sok formal gitu? Duduk,” ujar Damian tegas.
“Ya kalau kayak gitu kenapa kamu nggak tahu perasaanku sih, Dam?” batin Dhisti sedikit kesal.
“Jadi, ada apa ya, Pak?” tanya Dhisti, memasang wajah serius, mengabaikan jeritan hatinya.
Damian mengalihkan pandangan dari layar komputer dan memandang wanita itu lekat. Dhisti menarik napas sebelum menghembuskannya, menghalau rasa gugupnya.
“Kamu sudah dua setengah tahun menjadi kepala pelayan di A Latte dan saya tahu betul gimana cara kerjamu. Saya mengapresiasi apa yang sudah kamu lakukan.”
Dhisti mengulas senyum simpul sebagai jawaban.
“Nah, saya ada rencana untuk membuat blog yang isinya tentang A Latte dan hal unik tentangnya. Saya melihat background kamu barusan dan saya yakin kamu bisa mengurus blog ini. Gimana menurutmu?”
Dhisti tercengang tak percaya dengan tawaran Damian yang di luar dugaan. Semua itu ditambah kharisma lelaki itu ketika sedang berbicara dengannya. “I-iya Pak, saya setuju. Hm, tapi gimana sama pekerjaan utama saya, Pak?”
“Tetap DIkerjain, dong. Ini kan bisa dikerjakan pas kamu lagi senggang. Saya akan kasih topik dan garis besarnya nanti kamu jabarkan. Pokoknya tulisanmu harus bisa menarik pembaca dan mereka nggak ragu buat datang kemari. Soal gaji saya akan kasih tambahan. Ngerti?”
Wanita bermata almond itu terdiam mencerna perkataan Damian sebelum mengangguk mantap. Tawaran ini sangat menjanjikan dan Dhisti tidak mungkin menolaknya. Ditambah ia akan punya banyak kesempatan bertemu lelaki itu. Walau hanya lewat pesan atau telepon, itu sudah cukup buat Dhisti.
“Oke. Saya tunggu tulisanmu dua minggu lagi. Cukup, kan?”
Dhisti mengiakan dan tersenyum hangat.
“Motormu nggak kempis lagi, kan? Inget, ya. Saya nggak mau lagi direpotkan."
Dhisti terkesiap menyadari Damian masih mengingat kejadian itu. Wanita itu mengiakan sebelum kembali beraktivitas.
Baru aja senang. Sekarang kamu malah buat aku kesal. Ah, tapi aku tetap suka kamu, Pak Bos.
**
Hari sedang cerah saat Laras tiba di A Latte kafe. Ia melangkah memasuki bangunan itu, tak sabar bertemu Auriga. Kursi dan meja bundar disusun rapi di teras, lengkap dengan payung besar yang melindungi mereka dari teriknya mentari. Harum kopi yang berpadu dengan asap rokok memenuhi udara, membuat wanita itu mengibaskan tangan. Laras mendesah menyadari area ini bukan tipenya. Laras segera membuka pintu kaca, membiarkan udara sejuk mengenai kulitnya. Laras mengulas senyum seraya kedua matanya mencari tempat kosong. Di sudut sana, sudah ada sekumpulan ibu yang asyik mengobrol sambil tertawa. Di hadapannya beberapa meja sudah terisi.
"Mbak Laras?"
Laras menoleh dan menemui seorang lelaki yang tersenyum ramah padanya. Dari wajah dan penampilannya yang terlihat cukup meyakinkan, Laras tahu dia pasti orang yang memegang jabatan cukup tinggi di sini.
"Sorry, kamu siapa, ya?"
Damian mengulas senyum lebar dan memperkenalkan diri. “Auriga barusan mengirim pesan dan fotomu. Dia meminta saya buat menyambutmu.”
Laras menganggukkan kepala. “Tapi ini lagi penuh banget ya?”
Damian menggeleng sebelum meminta wanita itu untuk mengikutinya. Laras menurut saat Damian membawanya ke ruangan terpisah dengan dinding kaca. Ada bangku taman dan kolam ikan yang airnya bergemericik, membuat hati seketika tenang. Barisan palma dan tanaman lain di sekitar kolam menambah suasana jadi syahdu.
“Suka kopi?” tanya Damian.
“Ya, cappuccino.”
Damian mengiakan dengan mantap sebelum meminta Rania untuk menyiapkan pesanan. “Saya juga pesankan croissant. Itu snack favorit kami.”
Laras tidak menyahut, sibuk mengetik pesan.
To: My Auriga
Hon, cepat kemari. Kenapa kamu minta orang lain buat ketemu aku, sih? Kita kan udah lama nggak ketemuan. I miss you like crazy, you know.
Laras menyimpan gawainya di tas dan memperhatikan beberapa ikan yang berseliweran.
“Sayang banget tempat ini nggak dibuka buat publik. Mereka pasti mau membayar lebih demi view yang sekeren ini,” ujar Laras setelah keheningan menyelimuti keduanya.
Damian mengangguk. “Well, ini ruangan pribadi saya, sebenarnya.”
Laras menoleh sejenak, memberi sedikit waktu buat lelaki itu mengagumi mata almond cokelat muda miliknya. Damian sanggup memandanginya dan tenggelam dalam keindahannya.
“Oh, kupikir nggak seharusnya kamu bawa aku kemari.”
“Pengecualian. Lagian, kamu masih ada hubungan sama sahabatku,” jawab Damian, tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi.
Tak lama, pesanan mereka datang. Rania menyusunnya dengan rapi di atas meja sebelum pamit pergi.
“Silakan dicoba, Ra. Kamu pasti suka.”
Laras menurut. Lelah dengan urusan di kantor dan bertempur dengan jalan macet, ini adalah pelepas penat yang cocok. Kehangatan cappuccino menyergap tenggorokan Laras, memberi sedikit ketenangan yang memunculkan senyum.
“Pantas saja kafemu ramai. Rasanya oke.”
Damian mengangguk dengan hati dipenuhi bunga. Sebuah pujian yang membuat harinya berwarna. “Thanks. Perlu banyak uji coba buat mendapatkan rasa yang pas. “
“Apa kamu nggak mau buka cabang? Biar makin banyak orang yang cobain.”
Damian tertawa.” Mungkin dimulai dari kamu dulu. Promosikan ke teman sekantormu, dong.”
“Oh, kamu lagi cari tim marketing nih ceritanya?” jawab Laras sambil tersenyum.
Damian menanggapi dengan candaan lain yang membuat Laras ikut tertawa. Di luar, Auriga urung masuk. Dia belum siap untuk bertemu lagi dengan kekasihnya.
"Thanks udah bisa buat Laras ketawa, Dam. Gue jadi bisa memantapkan hati sama Tania. Ah, Laras, maafin aku, ya," batin Auriga pedih.
Laras memeriksa gawainya saat kopinya sudah habis setengah. “Auriga belum balas juga. Dia bilang sesuatu nggak ke kamu?”
Damian mengambil gawainya dan menggeleng. “Mungkin sebentar lagi, Ra. Kalau kamu bosan, kita bisa ke balkon. Di sana viewnya lebih bagus.”
Laras menggeleng. Sudah cukup ia menunggu Auriga bersama lelaki yang baru dikenalnya. Mungkin Auriga tidak kemari karena urusan lain yang lebih penting. Tapi sampai kapan Auriga memprioritaskan pekerjaannya?
Laras mengambil tasnya dan berdiri. “Aku nggak bisa nungguin Auriga. Aku ada meeting sebentar lagi. Tolong kasih tahu Auriga kalau dia datang, ya. Thanks.”
Damian hanya mengangguk, menatap punggung Laras yang menjauh darinya, membawa secercah kebahagiaannya.
**