Sepuluh bulan atau lebih atau kurang. Entahlah aku tak ingin mengingat kejadian itu lagi. beberapa bulan yang lalu aku menemui Airin dan kedua orangtuanya di Bandara. Sambil dirangkul ayahnya, dia menangis tertunduk di depanku.
“Maaf Indra, maaf, maaf, maaf Indra, maaaaff” kata Airin yang paling kuhapal
Tentu saja aku memafkannya, jika tidak kenapa aku repot-repot ke Bandara.
Aku bisa merasakan penyesalan mendalam dari matanya yang basah dan wajah tak enak hatinya Om Darma. Tapi sudah, aku tak menyimpan dendam sedikitpun. Kadang orang-orang baik seperti mereka ada fase khilaf juga, jadi ya sudah, tidak papa.
Kata-kata yang terakhir dari Airin sebelum benar-benar pergi adalah “Sampaikan permintaan maafku ke Dea ya?”
Dan aku belum menyampaikannya juga.
Tentu karena setelah Bunga keluar dari RS, dia langsung pulang. Dan aku tidak tahu lagi bagaimana keadaannya saat ini.
Malam ini, aku baru habis jalan-jalan di trotoar depan rumah. Sudah beberapa bulan begini, terutama ketika aku kepikiran Bunga.
Membahas Bunga, tiba-tiba aku terpikir dengan kata-katanya dulu ketika kuceraikan ‘aku tidak merasa baik-baik saja meski ada kau disini, kurasa kau bukan jodohku’. Bagaimana jika aku memang bukan jodohnya Bunga? Karena seingatku aku hanya menemui dia atau tanpa sengaja bisa bertemu dengannya setiap dia terlibat dalam pertengkaran. Tak pernah dalam keadaan dia baik-baik saja!
Aku jadi merasa kesal jika memang begitu.
“HEYY...”
Aku melirik sekelilingku yang sepi, tak ada siapa-siapa.
“Ay.. sialan, apa aku begitu hitam sampai kau tidak menemukanku?”
Ini Bunga, pasti, dimana dia? oh di seberang rumahku di trotoar.
Kami bersebrangan.
“Lusi sudah ngasih undangan wisudanya ke Paman dan Bibi, undangan wisudaku kosong, mau nggak?”
“Enggakk” tungkasku berjalan menjauh
“Eh, kok? Aku traktir makanlah..” Bunga berjalan mendekat
“Enggakk”
“Aku bayarinlah ongkosnya”
“Enggakk”
“Ka-kau, perasaanmu sudah berubah ya?” kata Bunga yang sudah berdiri di depanku
Aku diam
“MAU KAU APASIHH!” teriak Bunga Dan bergegas ingin pergi ketika aku masih diam
“Menikah denganku” suaraku sangat pelan tapi mampu membuat Bunga bungkam dan berbalik
“Kumohon, menikahlah denganku lagi Bunga” aku berlutut dan menunduk pasrah “Aku akan cerita denganmu semua hal yang kutahu, aku tidak akan senang disentuh wanita lain selain kamu, aku...”
“Aku kan sudah janji hanya akan menyukaimu selamanya” kata Bunga pelan ikut berlutut “Jadi kau tak perlu memohon meminta diriku karena hatiku selalu hanya bersamamu”
Aku menangis dan terduduk, malu, gembira juga haru.
“Izin dulu ke Paman sebagai waliku” kata Bunga ikut terduduk
“Iya” kataku menyeka air di sudut mataku
“Jangan nangis nanti orang kira aku ngapa-ngapai kau lagi, hahaha” colek Bunga
“Mau dong di apa-apain” kataku garing dengan suara masih sesenggukan
“Hahaha... kalo mau nangis, nangis aja dulu deh, jangan ngomong, geli...”
“Bunga, Airin bilang minta maaf”
“ Eh tapi aku udah enggak gadis lagi. aku janda gimana nih?” aku tahu Bunga mencoba mengalihkan pembicaraan tapi tetap saja merasa tergelitik
“Hahaha..”
“Kau bilang dulu, sukanya sama gadis tapi malah mau nikahin janda”
“Hahaha”
Besok harinya, sebelum pergi ke salah satu kota di Sumatera. Aku mengajak Bunga ke penjara, untuk mengenalkannya dengan Om Rian, satu-satunya keluargaku.
Bunga tampak antusias dan gugup, dia juga jadi menggedor-gedor rumah Bobby alias Ce’tia pagi-pagi sekali untuk didandani.
Dengan gaun berwarna lavender selutut dengan renda putih di masing-masing ujung bahu sampai pinggang dan rambut tergerai tanpa perhiasan serta make up ringan di wajahnya. Bunga tidak cantik sama sekali, terutama karena saat ini dia sedang ingin terlihat cantik untuk Om Rian bukannya untukku.
Sampai di kantor polisi, semua laki-laki di sana terperangah melihat Bunga. Aku jadi harus merangkul Bunga berjaga-jaga. Dulu Bunga bilang ingin menikah dengan polisi, aku tidak ingin Bunga punya kesempatan untuk memikirkan keinginannya dulu itu karena dia akan menikahnya denganku, seorang pujangga.
Ketika Om Rian melihat Bunga, raut wajahnya tercenung. Hampir tidak bergerak sampai polisi jaga menyenggolnya dan membuat dia kembali berjalan mendekat.
“Om, ini, Bunga Dea” kataku
Bunga langsung mencium tangan Om Rian dan tersenyum.
“Ooh.. ini, manis kok, mirip ibunya Indra waktu muda” kata Om Rian membuat Bunga tersipu
Aku langsung membisikkan ke kuping Bunga ‘Hati-hati Om Rian duda lhoo...’
“Om dengar, Ndra, kamu juga duda..”
Kami berbincang tak lama karena terbentur jam besuk. Tapi aku sempat meminta restu dari Om Rian untuk menikahi Bunga. Dari penjara, aku dan Bunga berangkat ke salah satu kota di Sumatera dengan pesawat.
Aku sempat mengirim pesan ke Bobby untuk mencopot kaca pembatas hitam, pemisah kamarku dan Bunga karena aku kan ingin sekamar juga dengan Bunga. Hahaha.. tapi nanti ketika kami sudah jadi suami istri lagi.
Menemui Paman, Bibi juga Lusi. Tentu tidak semudah itu mendapatkan restu mereka lagi, ada banyak nasehat juga wejangan yang sangat kudengarkan dengan fasih. Tapi semua keputusan tetap di tangan Bunga dan dia menerima lamaranku. Tapi ini bukan pernikahan yang terburu-buru. Bisa dibilang kami hanya tunangan dulu.
Bunga diwisuda sebulan kemudian,
Ketika sedang asik mengambil foto berdua, aku dan mungkin semua orang bisa mendengar ada yang menggunjing Bunga, banyak sekali
“Ihhh... dia mengundang mantan suaminya?”
“Benarkan? Apa dia di pelet?”
“Dia harusnya bersyukurkan? Toh pria itu masih mau dengannya? kudengar dia yatim piatu”
Aku hampir marah dan menghampiri mereka jika saja Bunga tida memegang tanganku dan bilang “Biarin aja, fokus ke aku” katanya
Benar juga kata Bunga, aku seharusnya menjadikan ini moment bahagia baginya, mulai membuat kenangan indah ketika bersama, bukannya masalah.
“Nggak nggakk, aku tahu mereka pasti Cuma setting-an”
Aku dan Bunga hanya saling pandang lalu tertawa. Lalu Bunga izin mendekati beberapa temannya yang mengajak berfoto bersama.
Mungkin kebanyakan semua orang di dunia ini termasuk aku pernah mendengar kisah cinta sejati; Romeo dan juliet, Bonnie dan Clyde, Habibie dan Ainun.
Tapi bukan hanya mendengar, aku sedang merasakannya sekarang. Dan terasa manis sekali.. lalu aku bisa bilang Bunga adalah jodohku di detik ini. Tidak, dia adalah jodohku yang sudah ditetapkan pencipta dari sebelum aku lahir, tapi hanya bisa bertemu di waktu yang tepat yaitu detik ini.
Kemudian aku akan selalu merasa bersyukur melihatnya yang menatapku sambil tersenyum manis dan tak mengerti bagaimana menjelaskannya supaya kalian merasa apa yang kurasa.
Jika ini cerita dongeng, maka ayo kita akhiri dengan kalimat ‘ Indra dan Bunga hidup bahagia selama-lamanya’.
Dan beberapa tahun kedepan, jika kalian melihat anak balita dengan ikatan rambut melebihi anak MOS menggayuh sepeda merah muda dengan singlet dan celana pendek meninggalkan taman bermain yang sudah dipenuhi bocah lelaki yang menangis.
Percayalah itu adalah generasi baru penerus Bunga Dea. Yang berarti juga anakku, menuruni sifat ibunya. Hahahaha...
Aamiin
Seandainya begitu.....