Bunga melanjutkan jenjang kariernya di Jakarta, meski begitu aku sangat jarang menemuinya, aku sibuk diapun demikian.
Meski berdomisili di Jakarta, aku malah lebih sering bepergian ke kantor cabang, aku merasa lelah, jenuh dan semua membebaniku. Ini sudah lebih setahun, aku tidak menyangka jika aku akan lebih lama bertunangan dengannya daripada menikah dengannya dulu.
Tapi kami masih sangat muda, sulit sekali untuk menjadi dewasa dan baik-baik saja, masih banyak pembelajaran, dan karier yang harus dikejar.
***
Aku baru saja pulang dari Bali, jam sepuluh malam lewat. Mobil kuparkirkan di halaman depan rumah, boro-boro masuk, aku memilih duduk di trotoar depan untuk menghilangkan penat, jalan sudah sepi, apa karena lingkungannya atau mungkin memang karena sudah cukup malam.
Tanpa sadar, aku mengeluarkan rokok dari saku depan, menghidupkannya dan menghisapnya perlahan, apa aku ingin mencari udara segar? Kurasa aku tidak butuh itu, jadi aku mengotorinya saja.
Sepasang tangan memeluk lengan kananku, lalu menyenderkan kepalanya di bahu milikku, aku mengopor rokok ke tangan kiri kemudian mematikannya dengan menekan ke trotoar.
“Bunga?”
“Hmm?” kurasa dia tengah memejamkan mata “Kupikir kau berhenti merokok?” lanjutnya sambil mendongakkan kepala
Aku tersenyum “Entahlah,”
Bunga kembali menyenderkan kepalanya ke bahuku
“Kamu darimana? Kenapa ada di sekitar sini?" Tanyaku
“Tadi pulang kerja mampir ke rumah tetanggamu ini, Bobby sedang tidak di rumah, istrinya sedang tidak enak badan, ngobrol-ngobrol taunya udah malam”
“Oh.. kamu suka ngurusin banyak orang”
“Nggak, aku juga kelelahan, kurasa ini cuman karena dia tetanggamu” Bunga mengangkat kepalanya dan melepaskan lenganku “Kurasa aku berharap bisa bertemu denganmu” lanjutnya sambil menatap mataku
Aku mengelus kepalanya “Aku sangat merindukanmu, Bunga”
“Aku tau”
“Mau masuk? kerumah?”
“Hahaha.... apa yang kau bicarakan sih? Untuk apa janda ini masuk ke rumah duda? Sinting kau nih yo?”
“Ayolah..” bujukku “Katanya lelah,”
Bunga berdiri lalu berjalan mundur “Gila kau nih,”
“Nggak kuapa-apain nggak, kamu kunikahin aja nggak kuapa-apain apalagi nggak kunikahin” godaku mengikutinya
Bunga berlari, aku mengejarnya, dia berlari sangat kencang, akupun tidak mau kalah.
Apa benar dia kelelahan? Apa aku juga lelah? Lari kami sangat kompetitif. Kurasa kami hanya saling merindu, hahaha menyebalkan.
“BUNGAA” teriakku
“Jangan ikutin aku,”
Aku berhenti “AKU MENCINTAIMU BUNGAA”
Bunga menoleh, lalu berlari putar arah ke arahku, Bunga memelukku erat.
“Ayo kuantar pulang, besok kamu kerja,” kataku
Malam itu, aku langsung mengantar Bungaku pulang ke kosan-nya. Aku merasa seolah semua beban hilang, dunia kosong dan ini menyenangkan. Rasanya seperti selalu hanya kami yang ada di Bumi, itu luar biasa.
***
Besoknya kami makan siang bersama, Bunga sangat cantik di siang hari, aku sampai terus tersenyum.
“Kenapa sih? Aku cantek yoo? Bajukupun hitam putih” kata Bunga melihat seragam magang-nya
“Emang kenapa kalo hitam putih?”
“Lusi banget ini, dia selalu hitam putih, cantik menurutnya”
“Kalo kamu? Cantik menurutmu apa?”
Bunga memerhatikan sekitar lalu mendekatkan wajahnya, dengan suara pelan “Pink fanta” lalu mengacungkan jempol
“Hahaha.. Pink fanta? Kamu? Nggak cocok deh”
“Kau aja belum lihat, cantik,”
“Mana mungkin”
“Seriusan, percaya deh”
“Nggak ah”
“Percaya!”
“Nggak yakin akuuu”
“Ih.. nggak bisa diomongin”
“Hahaha”
Bunga tetap nggak mau kalah, imut sekali, Bunga sangat manis, aku ingin menyimpannya di sisiku, tapi tidak bisa. Dia harus kembali kerja sesudah makan siang. Iiiihhhhh sebel...
***
Hari itu setelah Bunga kembali kerja, aku pergi ke kantor pusat, ada beberapa masalah soal stok.
Langkahku membeku, di tangga depan, Airin duduk gelisah, wajahnya pucat, sangat berbeda dari dia yang kukenal.
“Indra..” suara Airin sayu, langkahnya pelan lalu memelukku
“Ada apa, Rin?”
Airin menangis seduh
“Kamu kenapa? kapan sampai di Jakarta? Hmm?” kataku melepas pelukkan dan memegang bahunya,
“Aku....”
Sudah hitungan tahun, aku tidak menyangka itu adalah waktu yang sangat lama, Airin menceritakan semuanya, apa yang dia alami dalam hitungan tahun ini. Dia mencoba sembuh dengan menemui psikiater, penyakit mentalnya mengalami banyak penurunan, Airin juga sudah tidak diharuskan meminum obat penenang lagi, dia menemui seorang pria di sana, pria itu mencampakkannya, Airin hamil.
“Indra bagaimana ini? a-aku.. tidak... bagaiman....” Airin pingsan
Aku membawanya ke rumah sakit terdekat, Airin bertahanlah.
***
Tidak banyak yang kuingat dari omongan dokter, hanya ‘kandungannya lemah’ yang terus terngiang dipikiranku. Setelah mengambil resep aku kembali ke kamar Airin, dia sudah bangun dan nampak gelisah, ketika melihatku dia kembali menangis.
“Jangan beri tahu orangtuaku, Ndra” lirihnya
Akupun menangis, menutupi wajahku dengan satu tangan. Kenapa ini harus terjadi pada temanku?