Seoul, 2010
Riuh dan padat, itulah dua kata yang tepat untuk menggambarkan suasana kantin Sekolah Menengah Hangyeong setiap istirahat. Siswa siswi mulai tingkat satu hingga tingkat tiga sibuk mengambil tempat di barisan sambil membawa nampan, bersiap mengambil makan siang.
Antrian yang rapi dan hirup pikuk obrolan santai di meja, adalah rutinitas yang terjadi di kantin sehabis bel tanda istirahat berdering sebanyak tiga kali. Di salah satu meja, terlihat seorang siswa dan siswi asyik mengobrol sesekali di sela dengan menyuap makan siang masing-masing. Hingga obrolan santai itu berubah karena tingkah si pemuda yang mengambil susu kotak milik si gadis.
Tingkah si pemuda sontak membuat gadis dengan nametag Kim Hyori, melirik tajam pemuda yang kini memasang ekspresi tak bersalah di romannya.
"Lee Yul! Itu milikku!" geram Kim Hyori pada sahabatnya yang sedang nyengir kuda, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi.
"Lho? Bukannya kau tak suka minum susu kotak ya? Sejak kapan kau menyukai susu kotak seperti ini,Hyori~ya? Bukankah kau benci sekali dengan susu kotak rasa pisang?" tanya Yul yang terkejut dengan ucapan Hyori.
"Jangan berpura - pura bodoh, Lee Yul! Itu susu pisang kesukaanku!"
"Oh," Yul berhenti meminum susu kotak, mendorong kotak susu itu pada Hyori. Kini, Yul memasang ekspresi pura - pura bersalah di romannya. "Maaf, Hyori-ya. Aku lupa kalau kau suka susu kotak rasa pisang," lanjutnya yang diiringi kekehan jahil.
Hyori mendengus seraya menggoyangkan kotak susu yang diletakkan Yul. Lagi, Hyori memberikan tatapan mautnya pada Yul, menyadari susu kotak miliknya habis di minum pemuda jahil di depannya.
"Ya~ kau menghabiskannya!" Hyori melempar kotak susu kosong pada wajah Yul yang sedang tertawa terbahak.
Yul tak bisa menyembunyikan rasa senangnya karena menjahili Kim Hyori, sahabatnya. Sungguh, tak seharipun Yul lewatkan tanpa menjahili Hyori. Entah itu di sekolah ataupun di rumah. Dimana pun jika ada kesempatan, Yul pasti akan menjahili gadis berambut sebahu itu.
"Astaga tidak kusangka Nona Hyori sangat marah padaku. Bagaimana aku harus menghiburnya?" gumam Yul seraya menopang wajahnya di atas meja. Ekspresi jenaka masih mendominasi roman tampan Yul.
Hyori memutar manik matanya. Hyori kesal. Tapi, sekesal apapun Hyori, ia tak bisa marah pada Yul. Ya, semua itu karena Kim Hyori sudah sangat menolerir sikap jahil Yul padanya. Alih-alih marah, Hyori hanya menghela napas panjang seraya menggelengkan kepalanya.
"Hh terserah kau saja. Ngomong - ngomong, kau sudah menyerahkan form pada Guru Song?"
"Form pilihan kuliah nanti, bukan?" tanya Yul memastikan.
"Mm. Kau jadi mau pilih jurusan musik, Yul?"
Yul menggelengkan kepalanya dan memasang ekspresi misterius. "Tidak. Aku sepertinya lebih tertarik dengan desain interior. Aku akan bosan jika melanjutkan sekolah di bidang musik."
Dahi Hyori mengerut mendengar jawaban Yul. Ada sedikit rasa kecewa yang menyusup di hati Hyori. Biasanya Yul akan memberitahunya lebih dulu atas keputusan yang diambilnya. Wajar, jika sekarang Kim Hyori merasa kecewa karna Yul tak memberitahu apapun tentang keputusannya.
"Ya~ kenapa kau tak memberitahuku kalau kau tak jadi sekolah musik? Kau sudah tak menganggapku sebagai teman seperjuanganmu, oh?"
"Bukan begitu Hyori-ya, kemarin malam aku mendiskusikan hal ini dengan ibu dan ayah. Mereka lebih setuju kalau aku ambil—"
"Yul Sunbae...."
Penjelasan Yul terpotong oleh sapaan selembut kapas yang menginterupsi obrolan Yul dan Hyori. Keduanya bersamaan menoleh dan menemukan seorang gadis—sepertinya adik kelas mereka terlebih tadi memanggil Yul dengan awalan Sunbae- menunduk malu yang sesekali melirik Yul.
Kim Hyori memutar kedua bola matanya melihat sikap malu - malu adik tingkatnya. Tanpa perlu bertanya, Hyori tahu adik kelasnya ini pasti salah satu pengagum pemuda jangkung yang duduk di depannya, Lee Yul.
"Ya?" balas Yul dengan nada suara menggantung.
"Boleh aku mengganggumu sebentar, Yul Sunbae? Ada sesuatu yang ingin kukatakan pada Sunbae. Jika tidak keberatan, aku ingin membicarakannya empat mata saja."
"Kau tak melihat Yul sedang berbicara denganku?" sela Hyori sambil memandang tajam gadis itu.
Sungguh, satu - satunya hal yang tak disukai Hyori saat istirahat atau waktu kosong di sekolah adalah gangguan dari fans Yul seperti sekarang. Entahlah, Hyori tak tahu apa ia perlu merasa senang atau sedih memiliki sahabat sepopuler Lee Yul.
"Hyori-ya, kau tak boleh seperti itu," tegur Yul yang kini mengalihkan atensi pada adik kelasnya. Lesung tercetak jelas di pipinya. "Baiklah. Kau mau berbicara apa, hm? Katakan saja, aku akan mendengarnya."
Bodoh! batin Hyori.
Demi apa pun!
Hyori benci sekali dengan Yul yang selalu bersikap ramah pada siapapun. Salah satu sikap itulah yang membuat nama Yul melambung tinggi, menempati urutan pertama sebagai senior paling di incar sebagai calon pacar.
"Lebih baik kau selesaikan dulu urusanmu dengan gadis ini, Yul~a. Aku akan kembali ke kelas lebih dulu. Dan kau masih berhutang penjelasan padaku. Mengerti?"
Hyori segera beranjak dari kantin. Gadis berambut sebahu itu paling tak suka berurusan dengan para gadis yang menamai diri mereka sebagai Lee Yul fansclub. Demi apapun, Yul bukan selebriti atau personel boyband. Tapi, pemuda jangkung itu memiliki fansclub sendiri di sekolah. Hal itu sebenarnya membuat Kim Hyori menjadi jengah.
Jelas, Kim Hyori selalu menjadi orang yang dimintai tolong oleh para penggemar Yul. Entah itu dititipi surat, hadiah, dan sebagainya. Itu sebabnya, Kim Hyori selalu memasang sikap menyebalkan jika ada salah satu adik atau kakak kelas yang meminta bantuannya untuk mendekatkan mereka dengan Yul.
"Ya! Kim Hyori! Aku belum selesai bicara denganmu! Hyori-ya, pulang sekolah nanti kita tetap belajar ujian masuk universitas, bersama 'kan?"
Hyori terus melangkah pergi dari kantin. Telinganya bukan tak mendengar panggilan Yul. Hyori hanya tak suka melihat Yul yang selalu bersikap baik dan meladeni para gadis ganjen itu. Hyori hanya melambaikan tangannya ke belakang untuk membalas ucapan Yul.
~🌛🌜~
Perkenalkan, namaku Hyori, atau lengkapnya adalah Kim Hyori. Saat ini aku berusia tujuh belas tahun di umur internasional dan delapan belas tahun jika kau bertanya umur Korea-ku.
Aku tidak sepenuhnya berdarah Korea. Kenapa? Baik, akan kujelaskan sedikit.
Ayahku—Kim Woojin— adalah seorang pegawai bank, yang kini menempati posisi sebagai senior manager funding and raising di salah satu bank nasional.
Iya,betul. Ayahku seratus persen berdarah Korea. Jadi, darimana alasanku yang bisa mengatakan jika aku tidak sepenuhnya berdarah Korea?
Jawaban untuk rasa heran kalian adalah ibuku. Ibuku bernama Katrina Sawajiri. Yap, ibuku berdarah campuran—Jepang Inggris.. Bagaimana ayahku bisa berakhir menikah dengan ibuku yang berdarah campuran seperti itu?
Mereka teman satu kampus. Semasa muda, Ayahku mendapat kesempatan bersekolah di Jepang, dimana ia akhirnya bertemu dengan Ibuku, yang kelak menjadi istrinya.
Oh? Kalian tidak peduli siapa aku? Kalian lebih penasaran dengan pemuda jangkung tadi ? Well, baiklah aku akan memperkenalkannya juga.
Ini, Lee Yul. Dia teman seperjuanganku sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Apa? Kalian bertanya bagaimana aku bisa kenal dan akhirnya bersahabat?
Kami tinggal di lingkungan yang sama. Lebih tepatnya bertetangga. Rumahku dan rumah Yul hanya berjarak tiga rumah saja.
Dulu, aku tak pernah menyangka jika bocah gendut, berkacamata tebal seperti Harry Potter, yang selalu membawa ferret— peliharaannya, akan menjadi sahabatku.
Aku bertemu Yul tak sengaja. Pertemuan pertama kami terjadi saat aku lewat depan rumahnya dan dia sedang bermain—ya, dia membawa serta ferretnya—di halaman rumah dan mengacungkan tongkat sihir mainan ke arahku sambil berkata wingardium leviosa.
Aku—yang saat itu juga terkena demam film Harry Potter— tentu saja paham maksud ucapan Yul. Jadi, aku balas saja dengan mantra yang sama—wingardium leviosa. Sejak saat itu, aku pun mengenalnya dan hingga kini Yul masih menjadi sahabatku.
Entahlah, aku masih tak percaya jika bocah gendut itu sekarang berubah menjadi pemuda jangkung dengan senyum manis yang memikat. Dan entah mulai sejak kapan, aku merasa pandanganku terhadap Lee Yul mulai berubah. Perlahan aku menyadari jika kini aku tak lagi memandang Lee Yul sebatas sahabatku.
Aku merasa ada suatu perasaan aneh setiap kali aku melihat Lee Yul. Dan satu hal yang pasti, aku tahu sepertinya itu bukanlah perasaan terhadap seorang sahabat.
~🌛🌜~