Suara dering ponsel membangunkan Max dari tidurnya. Dia melihat layar ponselnya, dan ternyata banyak panggilan tak terjawab dari Ilonna.
Ilonna : Max sayang kamu sudah tidur ya?
Max hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Dia juga mematikan ponselnya agar Ilonna tak kembali menghubunginya. Sepertinya Max mulai bosan dengan hubungan monoton yang terjalin antara dirinya dengan Ilonna. Dia ingin mencoba hal baru yang lebih menantang, yaitu menjalin hubungan dengan Elea.
Max bangkit dari sofa tempatnya berbaring, lalu beranjak ke samping ranjang yang ditempati Elea. Dia menempelkan punggung tanganku di dahi Elea ntuk mengecek suhu tubuh Elea yang sempat mengalami demam tinggi.
"Syukurlah, suhu badannya sudah normal."
Max membenarkan selimut yang menutupi tubuh Elea. Lalu dengan lembut dia membelai wajah Elea yang begitu natural tanpa riasan apa pun. Max terus membelai inci demi inci wajah Elea hingga jemarinya mulai menyentuh bibir Elea yang tipis. Seketika Max kembali ingat dengan ciuman kala itu, dan dia ingin mengulangnya kembali.
Max mencodongkan wajahnya dia membidik bibir Elea. Namun, sebelum keinginannya terjadi tiba-tiba Elea membuka matanya dan dia sontak menjerit saat melihat Max ada di hadapan wajahnya.
“Kyaaa!”
"Max! Lo mau apa?" Elea berteriak lalu refleks menutup mulutnya.
Elea melihat sekelilingnya. "Gue kenapa bisa ada di sini? Lo apain gue Max?"
Elea mengamati dirinya yang sudah berganti baju dan dia semakin histeris saat menyadari hal itu. “Lo apain gue, Max?”
Max mencoba menenangkan Elea. "Lo tenang aja gue enggak ngapa-ngapain lo kok. Gue tadi enggak sengaja lewat pas lo pingsan di jalan. Karena keadaan Lo pingsan dan basah kuyup jadi gue bawa lo ke apartemen.”
Elea menepis lengan Max yang hendak menyentuhnya, dia bangkit dan mendudukkan tubuhnya. "Lalu baju gue kenapa bisa ganti gini? Siapa yang gantiin baju gue Max?"
Max menggaruk tengkuknya. "Gue nyuruh Bibik yang suka beresin apartemen gue. Lo tenang aja gue enggak macam-macam kok."
Elea menyibak selimut yang menutupi dirinya lalu beranjak dari atas ranjang. Namun, karena kondisinya masih lemah tubuhnya pun oleng ke depan dan tak disangka jatuh ke pelukan Max.
Elea mendongak dan kedua mata mereka pun bertemu. Max tersenyum ke arah Elea, tetapi Elea sebaliknya dia langsung berteriak sekencang mungkin.
"Lepasin gue Maxim!" Dia berteriak seraya meronta.
Max tak melepaskan Elea. "Kondisi lo tuh masih lemah El. Lebih baik lo istirahat dulu sampai benar-benar pulih."
"Enggak Max, gue mau awww." Elea kembali mengerang kesakitan.
Max dengan sigap memegangi tubuh Elea dan menuntun perempuan itu untuk kembali duduk di atas ranjang. "Tuh kan lo sakit lagi. Sebentar gue ambilin obat."
Max gegas menuju lemari obat dan mengambil salah satu obat pereda nyeri yang sering dia konsumsi jika sakit di kaki pasca kecelakaan yang pernah menimpanya dulu terasa kembali.
"Nih lo coba minum dulu obat pereda nyeri. Siapa tahu bisa ngurangin sakit di kepala lo." Max menyodorkan segelas air putih dan obat kepada Elea, dan untunglah kali ini Elea mau menerimanya.
Elea meminum obat yang Max beri, lalu terdiam untuk sesaat.
Matanya terlihat tertuju kepada jam dinding yang menempel di tembok. "Udah jam dua subuh. Mami sama Papi pasti khawatir sama gue."
Elea melihat sekelilingnya seperti mencari sesuatu.
"Lo nyari apa El?"
"Ponsel gue mana? Gue mau hubungin nyokap, dia pasti khawatir banget."
Max mengambil ponsel Elea yang dia simpan dan menyerahkannya kepada Elea. "Nih ponsel lo kayaknya rusak deh kena air hujan."
"Ya ampun iya bener mati.” Elea menunjuk kecewa.
“Udah jangan sedih bawa aja ke tukang servis, atau beli ponsel baru.”
Elea menggeleng. “Hm, semoga bisa di servis. Soalnya di dalamnya ada kenangan berharga gue sama Kenzie dan Naresh ...."
Saat mengucapkan nama Naresh nada bicaranya berubah menjadi sendu. Lalu raut wajah Elea kembali muram.
Max sebenarnya tahu apa yang terjadi kepada Elea karena sesungguhnya laki-laki itu memang sedang membuntuti Elea secara diam-diam, dan setelah melihat apa yang menimpa Elea semakin membuat Max ingin memiliki Elea.
"Lo tuh kenapa sih mesti suka sama cowok playboy gitu. Mending sama gue aja."
Elea mendongak menatap Max lalu tertawa dengan nada mengejek. "Max lo enggak salah ngomong? Lo juga kan punya Ilonna. Lo tuh sama aja playboy kayak Naresh tahu enggak."
Elea mengamati Max lalu tak lama dia mengarahkan telunjuknya ke arah Max. "Jangan-jangan lo ya yang celakain gue sama Naresh waktu itu?"
Sontak Max menggeleng menampik tuduhan itu. "Bukanlah, gue memang pengen hancurin Naresh, tapi enggak sampai nyelakain juga."
"Lo serius, bukan lo pelakunya?"
"Bukan Elea ... gue juga kaget dan khawatir banget pas tahu lo kecelakaan." Max mencoba meyakinkan Elea.
Melihat raut wajah Max yang nampak tak menutupi apa pun membuat Elea percaya. "Ok, gue percaya sama lo."
Elea kembali termenung, lalu tak lama mulutnya menguap, sepertinya dia mulai merasa ngantuk karena pengaruh obat penghilang nyeri yang Max beri.
"Lo lebih baik tidur, nanti pagi gue anterin lo pulang."
Elea menghela nafasnya, dan kini dia mengangguk tak menolak lagi tawaran yang Max berikan.
Elea kembali berbaring di atas ranjang milik Max. Max hendak membenarkan selimut untuk menutupi tubuh Elea, tetapi Elea mencegahnya dan memberi Max tatapan yang tajam. "Enggak usah bantuin gue. Gue bisa sendiri kok Max."
Elea mengangkat kepalan tangannya. "Selama gue tidur lo enggak boleh macam-macam."
"Ok baiklah, gua akan jaga jarak sama lo." Sahut Max lalu beralih duduk ke kursi sofa
Max membaringkan kembali tubuhnya ke atas sofa hingga tak lama tak terdengar suara apa pun dari Elea. Max menoleh ke arah Elea dan ternyata perempuan itu sudah terlelap. Melihat Elea terlelap Max bangkit kembali seraya membawa ponselnya.
Dia mengambil foto selfie dirinya bersama Elea yang sedang terlelap dan menyimpannya. “Elea lo harus jadi milik gue bagaimana pun caranya.”
.......
Pukul 04.00 WIB
Naresh kembali ke rumahnya setelah mengantarkan Shaera ke apartemen milik Shaera. Bukan hanya mengantarkan saja Naresh bahkan sempat berlama-lama di apartemen Shaera. Mereka berdua menghabiskan satu malam untuk saling berterus terang dengan perasaan keduanya, dan mereka kini sudah berjanji tidak akan pernah meninggalkan satu sama lain.
Naresh begitu bahagia menghabiskan waktu bersama Shaera hingga rasanya dia enggan untuk pulang. Namun, sebelum waktu matahari terbit dan suasana ramai dia memutuskan untuk pulang. Dia tak ingin Shaera jadi bahan gosip oleh awak media.
Cklek!
Naresh membuka pintu rumahnya yang tak terkunci. Naresh pikir orang-orang rumah sudah terlelap, tetapi ternyata dugaannya salah. Kedatangannya disambut oleh Kenzie yang langsung mencengkram bajunya. “Naresh lo sebenarnya dari mana? Di mana Elea? Om Ian dari tadi nyariin Elea?”
“Elea? Memang dia belum balik?”
Naresh benar-benar melupakan Elea akibat fokusnya kepada Shaera. Dia baru sadar kalau kemarin dia membiarkan Elea pergi begitu saja saat di parkiran mall.
“Lo jadi enggak sama Elea dari kemarin? Lo bukannya kemarin sore pergi kencan sama Elea?”
Naresh mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Kenzie terlebih dahulu. “Lo bisa enggak sih ngomongnya baik-baik. Enggak usah kasar begini!”
“Jawab pertanyaan gue Naresh! Dimana Elea?”
Naresh menghela nafas dan sedikit menunduk. “Gue kemarin ketemu Shaera ... dan seingat gue Elea pergi begitu aja.”
“Apa!” Mata Kenzie yang sipit terlihat membulat. Dengan penuh amarah dia menghempaskan tubuh Naresh hingga membentur lantai.
“Keterlaluan lo! Lo malah jalan sama Shaera dan lo biarin Elea pergi!”
“Elea belum balik sampai sekarang Resh!”
Kenzie begitu kesal, dia mengepalkan kedua tangannya dan sudah siap menghadiahkan kepalan tersebut kepada Naresh. Namun, itu semua tak terjadi karena tiba-tiba seseorang muncul dan berteriak dengan suara baritonnya. “Hentikan kalian berdua!”