“Dari mana lo tahu kalau Marcus ayah gue?” tanya Aura penasaran. Dia selalu mengosongkan bagian nama ayah setiap mengisi data diri di sekolah. Juga ketika mendaftarkan dirinya ketik SMA, hanya menggunakan nama ibunya. Dia yakin, pihak sekolah tidak tahu-menahu tentang hal tersebut.
“Lo dan Reza berbincang hal itu di perpustakaan, nggak lama setelah Bapak Marcus datang ke sekolah.” Jila menjawab enteng, mengayunkan kaki di ayunan taman bermain yang tak sengaja mereka lewati.
Aura mengingat-ingat kembali percakapan yang dimaksud Jila. Kala itu, lepas tiga hari ayahnya diperkenalkan sebagai guru honor baru saat upacara hari Senin. Bidang yang diajarnya Teknologi Ilmu Komputer. Kebetulan, guru sebelumnya mengundurkan diri usai menikah.
“Kok dia bisa tiba-tiba jadi guru? Setelah lebih dari sebulan menghilang dari kita?” bisik Aura dengan nada tak suka.
Reza menggeleng, tidak punya ide. “Dia mengajar TIK di kelasku, untung saja nggak ada perilaku yang menunjukkan keanehan. Hanya beberapa kali dia melirikku.”
Aura mendengus.
“Positive thinking saja, ayahmu mungkin memang sudah tobat dan ingin mencari nafkah di jalan yang benar,” lanjut Reza.
Jila tersenyum memandang Aura yang tengah mengingat-ingat.
“Terus, lo ngasih tahu Kepala Sekolah?” tanya Aura.
Jila menggeleng, masih sambil tersenyum manis. “Kenapa gue harus? Jujur gue senang melihat interaksi kalian berdua. Menyimak kedekatan kalian, Reza pasti orang yang berharga buat lo, ya? Iri deh. Selama ini, gue nggak punya teman dekat yang benar-benar sayang sama gue.”
Aura balas menatap Jila, diam-diam menyelidik apakah yang dikatakannya tulus atau tidak.
“Mungkin lo curiga gue pura-pura baik, Aura. Tapi gue benar-benar berharap kita bisa tahu keberadaan Reza dan lo bisa kembali bertemu dengannya lagi.”
“Kenapa lo peduli? Jawab yang sebenarnya, gue tahu lo nggak setulus itu berharap gue bertemu kembali dengan Reza. Lo juga mau menginterogasinya, bukan?” ketus Aura.
Jila sedikit manyun, “Lo benar-benar nggak percaya sama gue.”
“Berhenti bersikap sok manis.” Tatapan Aura berubah.
“Keluarga Marcus—yang meminta kasus ini ditinjau kembali—memberi biaya besar dalam penyelidikan. Juga menjanjikan bayaran tambahan jika pembunuhnya benar-benar ditemukan. Reza bakal membantu penyelidikan ini, dengan begitu Ayah bisa membawa pulang banyak uang. Lo pikir gue nggak senang?” Jila mengangkat bahu.
Aura menyeringai jijik, “Naif sekali.”
“Peduli amat.” Jila berdecak. “Kita punya tujuan yang sama, menemukan Reza. Jadi kenapa nggak bekerja sama saja? Toh kita berdua sama-sama mendapat keuntungan.”
“Siapa keluarga yang menghubungi ayah lo? Dia cuma punya gue dan Ibu sebagai keluarganya, nggak ada kerabat yang gue kenal dekat dengan pria itu.” Aura balik bertanya. “Ibu juga nggak mungkin melakukannya, dia bahkan nggak tahu kabar Marcus sejak lama.”
“Bagaimana gue bisa tahu, heh? Mungkin orang itu pura-pura menjadi keluarganya, entah kenapa alasannya gue nggak tahu—dan nggak peduli juga. Satu hal yang pasti, dia membiayai kasus ini, jadi kenapa Ayah harus menolaknya?” Jila beranjak dari ayunannya.
Siapa orang yang mencoba mencari tahu pembunuh Marcus dengan berpura-pura jadi keluarganya? Aura berpikir dalam hati.
“Tahu nggak? Funfact, Ayah suka baca buku novel misteri, itu salah satu yang membuat dia tertarik menyelidiki kasus ini lagi.” Jila tersenyum lebar.
♦♦♦
Tim detektif berkumpul di sebuah rumah makan beberapa jam kemudian. Pukul 7 malam, rumah makan itu ramai oleh para pengunjung dengan berbagai macam kriteria. Gerombolan anak muda, satu-dua keluarga yang menghabiskan waktu bersama, bahkan sampai kakek-nenek yang menemani cucunya pun terlihat di meja paling ujung. Rumah makan ini selalu ramai, seringkali pengunjung yang datang telat kehabisan tempat dan harus mencari tempat lain untuk makan.
Gaya minimalis timbul dari desain rumah makan dengan tempat duduk beralas karpet lembut. Penerangannya yang cukup dihiasi dengan bola lampu kecil berwarna-warni mengitari dinding rumah makan. Di sudut kiri dinding, tempat berfoto yang suka digunakan pengunjung sebagai spot yang aesthetic untuk diunggah ke berbagai media sosial.
Lumayan banyak macam makanan dan minuman yang disediakan, mulai dari makanan lokal hingga dari mancanegara. Mereka punya menu spesial setiap harinya. Meskipun tim mereka tertarik dan ingin mencoba menu spesial hari ini, creamy truffle pasta, Bapak Obay memutuskan memesan makanan biasa. Sebelas piring nasi goreng disajikan pelayan.
“Setengah hari keliling tanpa hasil, menyantap nasi goreng ini jadi nikmat juga.” Salah satu detektif berkomentar.
“Makanan di rumah makan ini memang lezat, makanya banyak yang berkunjung ke sini. Temanku bilang, dia sudah tiga kali harus pindah ke restoran lain karena rumah makan ini penuh.” Detektif lain menanggapi.
Mereka larut dalam perbincangan.
Aura menyuap nasinya tanpa suara. Reza tinggal di kota ini, apakah dia juga pernah mencoba makan di tempat ini? Mencicipi nasi goreng yang tengah Aura lahap. Dalam hati gadis itu bergumam, dia akan mengajak Reza makan di sini nanti—kalau mereka sudah bertemu.
Tiga puluh menit mereka berada di rumah makan. Bapak Obay menawari mereka untuk kembali ke penginapan, sementara tim detektif akan kembali berkeliling mencari hingga pukul sembilan. Jila memilih pulang, tidak lama pilihannya itu diikuti oleh Aura.
“Gue kira lo bersungguh-sungguh mencari Reza, tapi baru setengah hari sudah menyerah, ya?” tanya Jila ketika baru saja mengempaskan diri di atas kasur. Gadis itu bahkan belum membuka kaos kakinya, langsung membuka ponselnya.
Aura tidak memusingkan kalimat perempuan di kasur sebelahnya. Mau bagaimanapun usaha keras mereka, tanpa petunjuk sama sekali, Reza tetap tidak akan dapat ditemukan dengan mudah di kota besar ini. Target pencarian mereka hanya berlangsung tiga hari, jelas waktu yang amat kurang untuk mencari tanpa tahu arah. Dia harus mencoba menguak informasi dari lelaki itu sendiri, di mana dia sekarang. Kembali ke penginapan mungkin hal yang baik untuknya.
“Ngeselin, nggak ada yang chat gue!” Jila melempar ponselnya ke kasur. Lalu beranjak ke toilet seusai membuka kaos kakinya.
Aura melirik sekilas ponsel tersebut. Tidak peduli.
Dipikir-pikir lagi, Aura juga tidak punya teman dekat di sekolahnya kecuali Reza. Karena sekarang lelaki itu entah sedang di mana, Aura benar-benar tidak punya teman. Ia masih sering berinteraksi dengan Lucy, tetapi tidak sesering itu karena sekolah mereka juga berbeda dua tahun terakhir. Hanya ada satu pesan singkat yang ia terima setelah hampir seharian tidak membuka ponselnya. Dari Ibu.
“Kabarmu baik-baik saja, kan, Nak?” tanya ibunya saat Aura memutuskan menghubungi via panggilan suara.
“Baik, Bu. Maaf meninggalkan Ibu sendirian, aku nggak akan lama, kok,” jawab Aura.
Ibu tersenyum di rumah. “Bukan masalah, Aura. Apapun yang kamu lakukan di luar kota, Ibu hanya titip pesan agar kamu selalu menjaga diri. Oke?”
“Iya Bu,” Aura menganguk. “Janji, Ibu nggak perlu khawatir.”
“Anak yang baik. Oh ya, bulan depan ulang tahunmu. Hadiah apa yang kamu inginkan?”
“Apa ya? Apapun yang Ibu berikan selalu membuatku senang,” timpal Aura. Ah, dia tidak ingat kapan terakhir kali ibunya menawari hadiah untuk ulang tahunnya. Seringnya dulu, Ibu meminta maaf tiap kali ulang tahun Aura tiba tanpa Ibu punya uang untuk membeli sesuatu sebagai hadiah.
Aura tidak pernah memusingkan hadiah. Apalagi jika itu membebani ibunya, lebih baik tidak perlu. Namun rasanya senang menyadari kehidupan mereka yang jauh lebih baik sekarang. Keluarga kecil mereka yang hidup lebih dari berkecukupan.
Mereka bercakap-cakap beberapa saat. Kemudian Ibu mematikan sambungan telepon sehabis berujar sampai jumpa. Aneh juga. Biasanya, Ibu akan mencemaskan Aura berlebihan, bertanya detail jika gadis itu tidak sedang bersamanya. Mengapa kali ini nampaknya Ibu tidak terlalu penasaran apa yang dilakukan Aura di luar sana?
Meski begitu, hal yang baik Ibu tidak banyak tanya. Aura bingung jawaban apa yang akan dia berikan nantinya. Membantu pencarian Reza demi menemukan pembunuh Marcus? Aduh, itu hanya akan membuat kenangan menyakitkan tentang ayahnya kembali. Ibu tidak perlu tersakiti lagi dengan mengingat berapa banyak pukulan yang ia rasakan dulu.
♦♦♦