"...Kamu juga bisa menampung sihir yang aku ciptakan."
"Menampung sihir?" kata Kinara bingung."Jadi, Anda melakukan pada saya hanya untuk menampung Sihir Anda ke tubuh saya... Berarti... Berarti itu sihir yang saya miliki ini berarti setengahnya adalah milik Anda?" Matanya membulat seakan tidak percaya akan perkataan yang dilontarkannya sendiri.
"Tepat sekali, Kinara," Albert tersenyum."Kamu cepat paham rupanya."
"Berarti itu artinya kakak saya juga?!"
"Betul sekali. Naasnya, sejak kamu dijadikan eksperimen saya, alih-alih ditinggalkan malah dia membawamu pergi."
Kinara menggenggam pedangnya erat menahan emosi. Di sisi lain tangan kirinya mengepal geram. Dadanya bergemuruh. Diayunkannya pedangnya ke arah tabung kaca di hadapannya dengan sekali tebas, tabung kaca itu perlahan pecah dan air di dalam tabung ambrol keluar bersamaan dengan pecahan kaca. Albert melihatnya melotot marah dengan segera melompat turun berlari menghampiri tabung. Bradja masih terbujur tidak sadar diri. Air merembes ke lantai membasahi semuanya.
"TIDAK!!" pekiknya saat bocah laki-laki tersipuh terjatuh dipelukan Kinara. Ia berusaha menolongnya dan melepas selang oksigen di hidungnya. Tubuh anak itu basah kuyup. Kinara melepas jaketnya, memakaikannya ke tubuhnya agar tidak kedinginan walau badanya sudah lama dingin seperti mayat.
"Kubilang hentikan Kinara! HENTIKAN!" pekik Albert, sesuatu muncul di balik punggungnya secara tak kasat mata—tampak seperti mesin berbentuk beberapa kotak dimensi du tengahnya terdapat sebuah mata berkelopak biru. Memancarkan serangan ke arah gadis itu—Kinara segera menghindar, menggendong bocah laki-laki itu. Serangan dilancarkan Albert. Serangannya menghancurkan pintu dan sekitar bangunan yang ada. Bradja yang pingsan terempas menjauh dari bangunan. Ledakan secara mendadak, membuat warga sekitar yang lain terkejut.
"Ledakan apa itu?!"
"Arahnya dari sana!"
Semua orang heboh. Bahkan ada yang memanggil bala bantuan. Di Markas pusat, Srikandhi yang hendak makan, membawa piring, kakinya terantuk sesuatu. Menimbulkan suara pecah. Ofelia berlari menghampiri dapur.
"Srikandhi?"
Srikandhi mengaduh. Pecahan piring berserakan di mana-mana. Terbangun perlahan seraya menahan sakit nyut pada kakinya.
"Kamu enggak apa-apa, kan?" Ofelia menghampirinya dengan sihir, pecahan piring tersebut melayang ke arah tong sampah di dekat westafel.
"Aduh, aduh... Iya, Kak..." Srikadhi mencoba berdiri. Ada perasaan sesuatu yang membuatnya sangat tak mengenakan.
"Ada apa?"
Srikandhi menggeleng."Aku ambil piring lain saja. Oh, ya, Kak Arimbi sama Kak Larasati sudah berangkat ya?"
"Sudah tadi pagi. Kamu dibangunin susah, sih."
"Hahaha. Maaf."
"Kamu enggak ingin menyusulnya?"
"Menyusul si Kinara? Enggak tahulah, Kak. Dia memang butuh sendiri katanya... Tapi, aku mau melarang bagaimana? Mungkin, dia berpikir, bahwa dialah yang menjadi semua penyebab ini."
"Itu tidak benar," kata Ofelia."Dia memang diincar, tetapi dia membuat semua kemungkinan apa yang selama ini bisa berakhir... Soal Kirana, dia rela membawanya pergi dari pemimpin itu. Apa kamu masih mengingatnya?"
Srikandhi menggeleng.
"Aku enggak ingat," kata Srikandhi, menggeser kursi duduk.
"Kamu sama sekali tidak ingat?" Ofelia tampak bingung."Aneh. Semenjak kematian Kirana, kamu apa masih di sampingnya."
"Aku enggak tahu, Kak. Tapi, yang kuingat sedikit, dia memberitahuku seperti bergumam dan alih-alih muncul semacam sihir... Entah sihir apa itu... Lalu, aku mendengar gumamannya dia menyuruhku untuk pergi."
Ofelia berpikir sebentar."Mungkin saja, dia memberikanmu Mantra Pelupa agar sebagian ingatanmu hilang tentangnya. Dan, anehnya, kenapa kamu malah pergi meninggalkannya?"
"Apa mungkin aku disuruh pergi mencari Kinara? Tapi, sejak itu aku terus mencarinya."
Suara tampak seperti berlari memasuki dapur. Baru muncul dengan raut khawatir."Kakak, bahaya!" Dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di luar dari Kota Tersembunyi. Mereka bertiga segera bergegas pergi. Benar, seperti firasat yang dirasakan Srikandhi barusan. Mereka keluar dari markas pusat. Alih-alih keluar, mereka dilarang, tepatnya akses keluar-masuk ditutup sementara. Srikandhi menghampiri salah satu Polisi Sihir."Maaf, Pak, biarkan saya keluar!"
"Maaf, Nona, dilarang keluar dari area kota ini untuk sementara karena keadaan berbahaya," ucap Polisi Sihir itu.
"Tapi, di sana ada teman saya! Saya harus menolongnya!"
"Teman Anda Manusia!"
"Dia seorang penyihir! Namun dia tinggal di kota Manusia!"
"Tidak bisa, Nona. Portal sihir keluar-masuk sudah ditutup. Silakan Anda," menatap ke Baru dan Ofelia yang tidak jauh dari mereka."Baiklah, Anda semua silakan kembali pulang. Untuk sementara jangan ada yang keluar."
Srikandhi tidak percaya. Nyeri sekali hatinya karena tidak bisa menolong Kinara. Mau tidak mau, dia menurut dan kembali pulang.
"Kita dilarang keluar, ya?" Baru menatap sedih Srikandhi yang lebih duluan pergi. Langit berubah kelabu suram, menurunkan bergelinang air dalam bentuk gerimis lambat laun berubah turun menjadi hujan. Tidak deras.
"Hujan..." Ofelia menatap tangannya yang basah. Rambut dan seluruh badannya sedikit demi sedikit basah kuyup.
Srikandhi murung dengan mirisnya memikirkan Kinara seorang. Bagaimana nasib gadis itu sekarang? Jika seperti ini, di manakah juga pemuda yang tiba-tiba muncul—Bradja. Ya, Bradja. Dia teringat oleh pemuda itu... Pemuda yang awalnya ingin menangkap Kinara, namun berbalik baik kepada mereka... Berharap pemuda itu menyusulnya atau bersamanya dapat menolong Kinara jika gadis itu dalam kesulitan. Berharap Kinara tidak tertangkap.
"Aku harap dia bersama dengan Kinara saat ini." Meneruskan langkahnya tidak peduli dirinya basah kuyup.
Harapan memang sudah Srikandhi terkabul. Kinara memang sejak awal bersama Bradja. Bradja masih dalam keadaan tidak sadar diri dan tidak tahu kejadian berikutnya. Kinara berlari seraya menggendong bocah laki-laki digendongannya. Hujan kian deras turun sedaritadi. Berlari sebisa mungkin menyelamatkan diri. Di sisi lain, ia mengkhawatirkan Bradja. Ruangan tadi ternyata masih ada ruangan yang menghubngkan dengan ruangan lain—bahkan tidak terjamah oleh siapapun. Ruangan-ruangan itu terdapat cahaya nan terang dengan dinding didominasi warna putih layaknya dimensi. Ia sengaja keluar dari ruangan itu masuk ke dalam ruangan lain. Jejak kakinya basah. Bunyi derit sepatunya terdengar. Ia harus keluar dari markas sebelum dirinya dan bocah laki-laki digendongannya ditangkap. Refleks, bocah laki-laki itu menggeliat pelan. Albert terbang dengan Lakon Mata-nya melesat cepat mengejar keduanya. Kaki Kinara sudah pada batasnya. Ia benar-benar kelelahan. Berjongkok menurunkan tubuh kecil itu ke lantai. Menyibakkan poni yang basah dari pandangannya.
"Sepertinya aman di sini," kata Kinara lirih, menatap bocah laki-laki itu. Duduk bersandar di dinding."Aku enggak tahu harus ke mana lagi." Menghela napas. Meletakkan pedangnya di sisinya. Terdengar seperti dengungan aneh mendekat ke arah mereka. Kinara mendongak, meraih pedangnya. Dengan pandangan waspada, mendekati bocah laki-laki di sampingnya. Suara berdengung itu kian mendekat, dengan mendadak, tembok di depannya jebol disertai suara retakan hebat. Kinara menyambar bocah laki-laki itu dalam gendongannya menghindar. Dikerumuni asap menyeruak, sosok Albert mendekat.
"Jangan kabur dariku," ungkapnya.
Kinara berjalan mundur merentangkan pedang.
"Berikan dia padaku."
"Tidak akan," katanya dengan napas menderu."Tidak akan kuberikan dia padamu!"
"Kamu mirip sekali dengannya Kinara. Ah, jadi teringat saat dia ngotot tidak mau memberikanmu padaku hingga dia rela menyembunyikanmu."
Tangan Kinara bergetar.
"Kalau kamu memberikannya padaku, kalian akan kubiarkan hidup. Jika tidak..."
"Aku tidak akan memberikannya pada Anda. Aku lebih baik memilih mati," kata Kinara bersikukuh.
Albert mendekat, turun. Kinara kembali melangkah mundur. Mata-nya menurunkannya. Mata itu mengubah bentuknya semakin besar.