Kinara beranjak membersihkan di kamar mandi. Membasahi badannya dengan air mengalir di shower yang menyala. Memandangi kalung yang digenggamkannya kini. Kejadian-kejadian yang dialaminya berlangsung begitu cepat. Melihat setiap kematian yang ada. Cavan dan Orion. Dua orang pemuda tewas secara tragis... Tak terbayangkan jika semua dari itu adalah dirinya
diincar... Ada perasaan bersalah menyergapinya...
"Ini salahku. Semua salahku... Kalau aku menawarkan diri kepada Albert, mungkin enggak bakal seperti ini..." Di sisi lain, Bradja, pemuda itu yang sebenarnya musuh, ternyata berbaik hati padanya dan bakal berjanji untuk melindunginya."Ah, sudahlah. Semua sudah terlanjur... Sebisa mungkin aku harus ke markasnya dan menyelesaikan tujuanku..." Mematikan keran dengan memutarnya. Meraih handuk bersih di sampiran, mengusap-usap lalu melilitkannya ke tubuhnya yang basah. Keluar dari kamar mandi. Masuk ke dalam kamar,"Ngapain kamu masuk?"
Bradja menutup novel yang dibacanya."Kamu suka baca?"
"Banget. Tapi, aku enggak sempat membaca buku dari awal semenjak Srikandhi datang."
Bradja mengembalikan novel itu kembali ke rak lemari semula."Kamu suka romance ya?"
"Random," kata Kinara."Eh, eh, jangan duduk dulu! Cepat keluar!"
"Memangnya kenapa?"
Pipi Kinara memerah.
"A-aku... Mau ganti baju..."
Bradja tertawa."Hahaha. Bukannya aku sudah melihatmu kemarin malam?"
"Po-pokoknya kamu harus keluar!" Pipinya tambah memerah hebat seperti lobster yang baru saja di rebus di panci besar.
"Ah," Bradja masih dalam posisinya. Mengurungkannya."Baiklah, baiklah. Aku akan keluar." Beranjak keluar dari dalam kamar.
Kinara segera menutup pintu. Bergegas mengganti pakaian. Di luar kamar, Bradja dengan setia menunggu. Tangannya terlipat di depan dada."Kinara."
"Ya?" sahut Kinara dari dalam kamar.
"Apakah tidak terburu-buru kita pergi ke markas Vandhala?"
Kinara terdiam sejenak, memperbaiki bajunya berwarna biru tua agar tidak kusut."Kenapa kamu tanya seperti itu?"
"Kamu yakin?"
"Yakin."
"Sebelum kita berangkat ke sana, ada yang kuomongin ke kamu."
"Ngomong saja," giliran ia mengenakan celana katun berwarna hitam.
"Soal anak Tuan Albert. Kita akan ke sana melewati suatu ruangan di mana anak itu disembunyikan."
"Terus, kamu ingin menolongnya, begitu?"
"Tidak."
"Buat apa kamu memberitahuku!"
"Yang aku omongin itu jalan bagi kita masuk ke markas itu. Persiapkanlah dirimu."
"Tapi aneh."
"Apanya?"
"Si Tuan Albert memiliki anak, tapi disembunyikan. Tujuannya buat apa?"
"Entah. Aku juga tidak tahu."
Kinara membuka pintu. Di punggungnya terlilit sebuah pedang yang pedang itu sudah ditutupi oleh sarung pedangnya.
"Pakailah jaketmu sekarang," pinta Bradja.
Mereka bersiap di ruang tengah.
"Kita jadi pergi? Kenapa enggak langsung pergi?"
"Kita akan pergi, kok. Dengan menggunakan ini," mengulurkan tangannya pada Kinara."Ulurkan tanganmu."
Sekelebat muncul semacam portal sihir di bawah kaki mereka berwarna ungu terang. Cahayanya menyinari tubuh keduanya—terisap ke dalamnya dan berpindah dengan cepat di atas sebuah bangunan layaknya ber-Aparate. Bradja melepaskan genggaman tangannya.
"Buka matamu," katanya.
"Apakah kita sudah sampai?"
"Sudah."
Kinara membuka kedua matanya. Mereka sekarang berada di atas gedung. Langit hari ini tampak tidak mendukung. Warna langit yang berubah menjadi abu-abu gelap disertai angin bersepoi menerpa rambut dan jaketnya. Dingin menambah suasana. Ia mengikuti pemuda itu dengan mengendap-ngendap. Bradja di depannya mengawasinya. Mereka menuruni tangga yang membentuk spiral. Suasana di dalam gedung juga sama mendungnya. Hanya sedikit cahaya dan tampak remang-remang dari atas. Bradja yang sudah hapal dengan jalan masuk ke dalamnya. Mereka berhenti di anak tangga terakhir.
"Kina, kenapa gadis imut itu tidak kamu ajak sekalian?"
"Aku enggak kepikiran soal itu. Mungkin saja dia bakal menyusulku kemari... Aku tahu dia punya kemampuan perasa yang lebih baik. Tapi, untungnya, ada kamu di sini untuk menemaniku."
Mereka memasuki lebih dalam lagi. Melewati lorong yang cahayanya juga remang-remang. Ada pintu yang tertutup. Dengan bayangannya, dengan mudah membuka pintu yang tertutup, terbuka lebar.
"Lewat sini," ajak Bradja."Jangan menjauh dariku."
Mereka memasuki sebuah ruangan. Ruangan itu besar dan gelap. Hanya ada cahaya biru gelap meneranginya. Ruangan itu tampak sedingin es. Bila seseorang yang memasukinya, mungkin saja dia bakal pindah dan tidak mau memasuki ruangan itu. Untung saja, Kinara mengenakan jaket sesuai perkataan Bradja. Kinara menghentikan langkah, membuka sarung yang menutupi pedang dan menyarungkannya di belakang punggung. Ia mendongak, memandangi di antara banyaknya kaca dan tabung kaca di situ. Salah satu dari tabung-tabung itu ada yang berisi sesuatu seperti manusia—seorang bocah laki-laki tampak menutup kedua matanya, mulut dan hidungnya terdapat selang untuk bernapas dan di dalam tabung terisi air yang mengelilinginya.
"Ini..."
Bradja yang berjalan agak jauh, berbalik."Apa?" Kembali lagi ke arah Kinara, berdiri di dekatnya. Ikut memandang apa yang sedang dipandang Kinara."Ya, itu anak dari Tuan Albert," ucapnya.
"Anak Tuan Albert?"
"Ya, tetapi dia hanyalah anak dari hasil exprimennya. Sama sepertiku, anak ini juga diberikan kekuatan padanya. Agar dia ikut setia
padanya."
"Tapi tujuannya selain setia padanya, untuk tujuan lain?"
"Soal itu, aku tidak tahu. Beliau tidak mau memberitahukan rencana yang sebenarnya. Termasuk kepada kami."
"Apa tujuannya untuk menjadikan dia menjadi experimen? Itu... Itu sungguh enggak adil! Jangan kan kamu yang menjadi korban dan pengikut setia, bila anak laki-laki ini ikut menjadi korban juga, maka dunia ikut menjadi korban!"
Ada suara langkah kaki terdengar mulai mendekat."Kenapa berteriak seperti itu?" Muncul siluet seseorang pemuda berdiri di hadapannya. Bicaranya kalem."Bradja?"
Bradja waspada.
"Ya, Tuan."
Pria itu tersenyum dan mempelihatkan dirinya.
"Kamu membawanya seperti yang aku suruh."
"Bukan, Tuan," kata Bradja segera.
"Kamu tidak akan menghianatiku, bukan?"
"Maaf," Bradja bersiap,"kali ini saya telah menghianati Anda!" Muncul bayang—Jiwa miliknya di telapak kakinya. Menyerang pria itu.
Albert seketika menyadari, melompat bersalto. Mendaratkan kaki di antara pinggiran penyanggang tangga dengan sekali loncat."Ternyata kamu sudah menghianatiku rupanya."
Kinara di belakangnya meraih pedangnya, bersiap.
"Apa yang telah Anda lakukan kepada anak laki-laki ini!"
"Anak laki-laki? Ah, ya, dia... Dia anakku... Dia satu-satunya yang kuselamatkan dari razia. Bukan aku yang menyelamatkannya, tetapi oleh Kirana."
"Kakak? Jadi, dia yang menyelamatkannya?"
"Dia yang menyelamatkannya setelah yah, aku yang melakukan penyerangan karena aku membutuhkan anak itu menjadi penerusku."
Penerus apaan? Anda adalah orangtua jahat!" Kinara mulai geram."Untuk apa anak laki-laki ini Anda bawa?!"
"Kina..."
"Aku sudah muak! Pasti ada hubungannya pria brengsek itu dengan kakakku!"
Albert tersenyum. Memamerkan senyum menawannya."Memang aku mempunyai hubungan, melainkan hubungan khusus dengannya. Tapi, itu dulu... Sewaktu kalian lebih tepat jatuh dan tidak punya tempat tinggal. Dia telah memberikan apa yang aku butuhkan selama ini. Selain itu, dia sangat pintar dan dia menyanggupi menjadi seorang asisten bagiku untuk menciptakan sebuah inti sihir."
"Maksud Anda, kakak dulu pernah ikut ekspedisi?"
"Seperti itu. Semakin lama aku tahu, bahwa dirinya telah menghianatiku dan dia bahkan rela menjadikan dirinya untuk experimen," kata Kinara kecewa.
"Yah, tetapi kamu juga, kan?"
Kinara mendongak.
"Apa maksud Anda?" katanya, tidak percaya.
"Kamu sebenarnya juga dijadikan sebuah experimen," kata Albert kalem.
Kinara dan Bradja terkejut.
"Anda menjadikan Kinara sebuah experimen?"
Albert tersenyum. Bukan senyuman menyeringai namun senyuman seperti biasa, dan dia merasakan tidak apa-apa."Betul sekali. Karena..." lanjutnya yang kali ini membuat Kinara tambah terkejut sekaligus geram.