"Bagus!" katanya, melompat dari atas. Dengan secepat mungkin berlari, merentangkan belatinya yang bersembunyi di balik lengannya.
Pemuda itu menoleh cepat. Bayangannya muncul dari bawah kaki menyerang Kinara. Kinara urung menyerangnya, tangannya terikat beserta badannya erat dengan bayangan.
"Akh!!"
"Kakak!" Baru melesat maju. Merentangkan tangannya memerintahkan tombaknya sekali lagi untuk menyerang. Tombaknya kembali ke wujud semula, berputar ke atas.
Pemuda yang ada di depannya langsung menyadari, bayangannya melindunginya cepat. Namun, alih-alih melindungi, dirinya merasa seperti kesakitan. Dia bersimpuh jatuh ke karpet. Kinara yang menyadarinya.
Ada apa dengannya? Batinnya.
Dia memegang salah satu lengannya. Mengerang kesakitan. Bayangannya seketika menyusut, Kinara yang terikat diturunkan. Bayangannya menyusut masuk balik telapak kakinya. Tombak milik Baru berhenti melayang, ikut menghilang karena pemiliknya.
"Apa yang terjadi?"
Pemuda itu tampak mengerang kesakitan. Kinara di belakangnya, menyembunyikan belatinya, mendekatinya.
"Sepertinya kamu kesakitan?"
Pemuda itu mendongak memegang lengannya yang kesakitan. Kinara menatap di jemari pemuda itu tampak ada tanda berupa bunga mawar hitam. Sepertinya tanda itu adalah tanda kutukan. Diraihnya tangan itu namun ditepisnya.
"Jangan lihat!"
"Aku hanya ingin memastikan. Sepertinya tanda yang ada di tanganmu itu semacam tanda kutukan..."
"Kubilang, jangan lihat!" serunya lagi."Kalau kamu memegangnya, kamu bakal ikut terkutuk juga!"
Kinara tidak peduli. Ia meraih tangan itu, menyibakkan lengan baju panjang milik pemuda itu dengan kasar.
"Apa yang kamu la—" peringatnya, menatap gadis di hadapan kini menatap lengannya yang penuh dengan tanda mawar hitam.
"Ini tanda kutukan," kata Kinara, tangannya memegang tangan pemuda itu."Aku enggak tahu. Apakah ini berhasil atau enggak. Biasanya, seorang penyihir enggak bisa menyembuhkan atau menghilangkan tadi semacam ini. Aku baru pertama melihatnya. Tapi, aku akan mencobanya menyalurkan daya sihirku." Menutup kedua matanya, mencoba menyalurkan daya sihir miliknya untuk meringankan rasa sakit akibat tanda mawar hitam.
Pemuda itu terdiam. Memerhatikan apa yang dilakukan Kinara terhadapnya. Baru yang tidak jauh dari mereka, ikut memerhatikan.
"Kakak..."
Sihir yang disalurkan Kinara padanya pelan-pelan merasuki tangan hingga ke dalam tubuhnya. Saat Kinara memegang erat tangannya. Pemuda itu merasakan kehangatan. Sakit yang dirasakannya perlahan ikut menghilang.
Hangat... Tangannya hangat... batinnya.
Kinara tidak sadar sudah berapa lama ia menyalurkan sihirnya. Ia pun menghentikan sihirnya.
"Eh?" sadarnya, melepas pegangannya."Maaf..."
Pemuda itu juga tidak sadar berapa lama menatapnya. Buru-buru menunduk."Te-terima kasih..." ucapnya pelan.
"Ya. Em, siapa nama Anda Tuan?"
"Tuan?" katanya, tidak berani menatapnya."Jangan memanggilku tuan. Nama saya... Bradja..."
"Kinara," ucapnya.
"Kinara?"
"Namaku Kinara. Jadi setelah ini kamu enggak akan membawaku pergi?"
Dia berdiri. Menatap tangannya. Memang masih ada tanda itu namun rasa sakitnya telah menghilang. Rasanya menjadi sangat ringan.
"Aku enggak akan membawamu," jawabnya."Aku berterima kasih untuk ini, Kinara." Menatap Kinara sekali lagi."Akan kuingat kamu." Lantas bayangannya berkumpul menjadi satu dan menutup dirinya, terisap langsung menghilang dalam sekejap.
"Dia terisap menghilang?!" Kinara berdiri.
Baru menghampirinya.
"Kakak baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja."
Baru mengajaknya pergi dari hotel. Beranjak dari sana, Kinara dan Baru berjalan kaki. Setiba di markas pusat, teman-teman pada mencari mereka. Terutama Ofelia.
"Kalian ke mana saja sih?!" kata Ofelia."Ini sudah hampir mahgrib! Dan, apa kenapa kalian keluar?! Bukannya sekarang ini masih keadaan gawat!" Dia terus saja menyerocos tanpa henti. Seperti belum puas menceramahi mereka berdua. Mereka berdua antara diam dan meringis.
"Kakak," kata Baru.
"Apa?!" Ofelia berhenti menyerocos. Belum selesai dirinya menceramahinya.
"Aku menyusul Kak Kinara saat dia keluar."
"Terus?"
"Dia hampir diincar," lanjut Baru.
"Iya. Aku yang keluar tadi. Cuma memastikan saja keadaan di hotel tadi..."
"Berbahaya Kinara! Tunggu, kamu bilang hotel? Jangan katakan padaku kalau kalian ini habis dari sana," Ofelia menatap bergantian Kinara dan Baru.
"Memang kami baru saja ke sana," aku Baru jujur."Sudah kubilang, Kak Kinara itu diincar."
"Ya, ya. Kinara diincar. Tetapi kalian harus berhati-hati dan waspada," tambah Arimbi.
Kinara tidak menceritakan bahwa ia habis menolong Bradja. Bradja... Pemuda manis, bertubuh gagah dan tinggi. Mirip dengan Orion. Namun saat berhadapan dengannya dadanya berdesir hebat.
"Ya sudah, kalau begitu kalian cepat mandi!" perintah Ofelia mirip seperti ibu mereka."Hari ini kalian kumaafkan. Tapi, ingat, jangan ada yang keluar dari markas hari ini."
Mereka berdua menurut. Srikandhi di samping Orion pun diam. Dia tidak berani menyela kalau Ofelia sudah cerewet.
"Ternyata ada yang lebih cerewet daripada kamu, ya," bisik Orion.
"Apa kamu bilang?"
"Tapi memang benar, kan?"
**
Selesai makan malam dan perut pada kenyang, Kinara kembali ke kamarnya. Memikirkan Bradja membuat dadanya berdesir kembali. Malahan, wajah pemuda manis itu terbayang. Ah, apakah ini dibilang suka? Dibilang lagi jatuh hati? Yang pastinya, dada berdesir hebat. Soal lengan dan tangan dipenuhi tanda kutukan, apakah dia termasuk Kelompok Kaia? Atau pemuda itu dijadikan sebagai manusia eksperimen? Mengingat dia mengerang kesakitan seperti itu, membuat hatinya bergejolak ingin menolongnya. Padahal dia mengincarnya dan apa sebelum dia datang mengincarnya, siapakah pemuda yang bertemu dengannya itu? Cara bicaranya kalem. Apakah pemuda itu juga mengincarnya? Termasuk dalam kelompok itu?
Sudah lama sekali, ya.
Sudah lama?
Siapa?
Kamu lupa padaku, Kinara?
"Siapa orang itu, ya? Kenapa dia kenal denganku?" Membalikkan badannya ke samping kanan."Rasanya, aku seperti mengenalnya... Entah di
mana..."
Terdengar pintu diketuk.
"Masuk saja," katanya.
Pintu terbuka, memerlihatkan Srikandhi masuk, lalu menutup pintunya.
"Kamu beneran baik-baik saja?" tanyanya.
Kinara menoleh."Kamu lihat sendiri."
"Kamu kata Baru diincar sama siapa—anggota Kelompok Kaia lagi?"
"Ng," jawan Kinara malas.
"Kenapa kamu pergi sendirian? Sudah tahu itu berbahaya, Kinara." Srikandhi menghampiri ranjang. Duduk di tepi ranjang."Siapa orang yang mengincarmu hari ini?"
"Bradja," ungkap Kinara."Tapi, dia enggak jadi menangkapku."
"Kenapa enggak jadi?"
"Enggak tahu. Mungkin dia sudah malas kali melawan denganku..."
"Malas melawan? Kamu kan enggak bersamaku keluar! Kamu tadi keluarnya sama Baru. Mungkin Baru yang melawannya."
"Aku memang melawannya tapi enggak jadi tahu! Aku keburu ditangkap!" kelit Kinara.
"Kamu bilang, cowok yang menangkapmu bernama Bradja?"
"Bradja, namanya." Kinara menatap ke arah dinding."Aku harap, aku bisa menemukan petunjuk, tapi... Aku enggak mendapatkan apa-apa... Kalau aku mendapatkan petunjuk kenapa aku diincar, mungkin kasus kematian kakakku bisa dapat titik terang..."
"Kakakmu bukannya meninggal karena kecelakaan, toh?"
"Iya. Tapi, rasanya enggak. Lain. Ada yang mengganjal dipikiranku... Aku tadi sempat bertemu orang yang dia bilang aku enggak ingat padanya. Padahal, aku enggak tahu apa-apa tentang dia..."
Srikandhi menyimak.
"Lalu?"
"Dia kenal sama aku," kata Kinara, berbalik badan. Tiba-tiba ada sesuatu terlintas."Jangan-jangan... Dia yang selama ini mengawasi dan memgincarku selama ini!"
"Kalau itu beneran orang itu, lebih baik kita temui si Bradja itu. Siapa tahu dengan menanyakannya, kita dapat petunjuk lebih."
"Benar katamu. Tapi, bagaimana aku bisa bertemu dengannya lagi? Mana tahu kita tahu markas Kelompok Vadhala?"
"Kita lihat perkembangannya," kata Srikandhi,"ada berita yang menurut kita penasaran, mungkin saja itu kelompok mereka."
"Setuju. Jangan bilang siapa-siapa. Kita lakukan ini bersama. Aku paling enggak suka menunggu."
"Aku sama."
Terdengar suara gemuruh petir di balik jendela.
"Mau hujan lagi, ya?" kata Kinara.